Karena Klien adalah TUHAN!

Screenshot dari sini


None are more hopelessly enslaved than those who falsely believe they are free
Johann Wolfgang von Goethe

Berita hari ini bikin saya relapse, mengenang lagi masa-masa jadi Supporting PR khusus media monitoring di sebuah agensi kecil di pojokan Jakarta Selatan. Lembur? Oh, everyday is lembur day. Seminggu pertama saya bekerja, saya sudah harus pulang jam 4 pagi karena approval klien untuk launching besok pagi baru masuk pukul 8 malam. Lalu berlembar-lembar media kit yang harus saya terjemahkan (karena klien adalah perusahaan IT multinasional), dan berbaris-baris kolom excel menyusul sebagai laporan post-event. Belum lagi berbagai report berkala dan tematik. Dan jangan tanya berapa rim kertas kami habiskan dalam setahun untuk monthly report bagi 3 divisi berbeda. Bagus lah semua didigitalkan dalam keping cakram data.

Peraturan kantor bagi saya agak dilonggarkan, sih. Karena nggak ketemu klien, saya boleh bercelana pendek, kaos oblong dan sandal jepit. Itu surga banget, karena teman saya yang Junior PR harus berpakaian rapi dan siap sedia ditenteng meeting. Tenggat saya jam 10 untuk daily report ke klien dan biasanya sedikit, kecuali kalau ada event. Makanya saya bisa datang pukul 9.30. TAPI, saya nggak punya tandem karena saya dedicated buat klien. Saya nggak boleh sakit, nggak boleh cuti. Pernah suatu kali perut saya bermasalah, dan OB kantor datang ke kos, membawakan materi yang harus saya report. Dan saya mengetik report tentang klien sambil kabur ke toilet setiap 15 menit. Blah!

Suatu hari saya tertegun memandangi berlembar-lembar peraturan tentang HPH yang harus saya terjemahkan dalam bahasa Inggris. Saya datangi Account Manager, karena saya nggak suka mem-backing perusak hutan. Dengan nada disabar-sabarkan, AM saya bilang, "Pito, pekerjaan PR itu seperti pengacara. Nggak semua tertuduh ternyata bersalah. Kita cuma kasih hak bicara kepada klien karena pemberitaan media sudah membuat opini publik. Jadi, ini cara klien menyuarakan kebenaran." Macam saya bisa diyakinkan dengan omongannya itu. Tapi untung saja kantor saya nggak menang pitching. Tangan dan pikiran saya batal kotor.

Saking seringnya saya lembur, saya sudah jadi doktor--mondok di kantor. Kantor yang menempati salah satu rumah mewah ini sering saya manfaatkan untuk mandi air hangat dengan shower sehabis begadang garap laporan. Saya punya loker pribadi di laci meja kerja yang lumayan besar. Isinya pakaian dan baju dalam bersih serta perabotan mandi. Saya bahkan dibelikan bunkbed sendiri kalau bosan tidur di sofa yang lumayan bikin punggung pegal. Managing Director saya super baik, dan ternyata tantenya dosen saya dulu. Saya sering dipanggil makan siang alih-alih dimarahi karena report yang berantakan atau tenggat yang luput. Tapi jangan tanya Account Manager saya. Silsilahnya yang sebagai keponakan Ibu MD membuatnya nyaris suci. Jika ada kesalahan, itu adalah kesalahan bawahan. Padahal saya sering melakukan pekerjaannya karena saya nggak sabar nunggu dia selesai mendengar curhat personal klien kami, pukul dua pagi.

Apakah kami digaji besar? Nggak juga. Standar. Tapi karena saya nggak punya ijazah maka bekerja di kantor PR seperti membalikkan omongan keluarga besar bahwa saya nggak akan jadi apa-apa. Tapi pembuktian ini teramat sangat berdarah-darah.

Rekan seruangan saya sempat menutupi dirinya mengidap leukemia. Kami nggak pernah sadar bahwa setiap event besar yang biasanya Jumat sore, dia harus menghabiskan akhir pekan di rumah sakit karena kelelahan. Saya pikir adalah hal biasa kalau dia nggak balik ke kantor dan langsung pulang. Ternyata dia harus bergegas cari taksi ke RS langganan sambil menahan darah mengucur dari hidung. Dan ketika akhirnya dia mengaku sakit pun beban pekerjaannya tidak berkurang. 

Tapi selama berada di "padepokan" itu, kami banyak dapat pelajaran. Buat teman saya yang leukemia, ini adalah pembuktian bahwa dia mampu mengaplikasikan ilmu yang dia dapat dari kampus Jaket Kuning, pembuktian bahwa penyakit is nothing, pengisi waktu luang dengan sesuatu yang menyenangkan (sekaligus melelahkan) karena toh gaji yang dia dapat tidak seberapa dibandingkan uang tunjangan dari bunga deposito keluarganya. Buat saya, ini adalah tiket untuk merdeka. Bisa jalan, nongkrong, bela-beli pakai uang sendiri, untuk nggak diomongin sebagai beban keluarga, untuk mendiamkan mulut-mulut nyinyir bahwa saya yang jomblo kronis tanpa ijazah ini masih bisa nyetor uang ke rumah, bisa kerja di kantor PR tanpa harus dandan cantik dan tanpa harus jadi kurus, dan bisa nyicilin motor untuk Babab. 

Kami merasa senasib menghadapi klien dan tumpukan permintaannya dengan budget yang tiap tahun makin berkurang, AM dan AE sengak, dan bahkan finance yang seringkali nggak ngerti jalur duit klien.         

Lalu ketika saya dan rekan kerja saya itu sudah merasa cukup, kami resign namun masih sering nongkrong bareng. Dia sudah sibuk dengan sekolah fashion-nya, dan saya sibuk jadi copywriter freelance di agensi imut, dekat dengan kantor lama. Saya malah merasa agak dimanusiakan di sini. Kalau ngerjain tenggat di kantor malam-malam, minimal ada nasi goreng atau pecel ayam terhidang. Teman-teman freelance saya juga lucu-lucu. 

Sampai kami dapat kerjaan annual report untuk salah satu bank terkemuka. Saya dan tim berbagi bab demi bab yang harus diulas dalam laporan. Kalau skill kami timpang, ya tinggal editornya aja yang bakalan jambak-jambak rambut kepusingan. Namun saya kerja dalam tim, dan beban kami rata. Kerjaan yang bikin kami stress membuat kami ngelawak melulu. Prambanan Project sih sudah terlalu sering. Membangun 1000 candi semalaman itu nggak ada seupil-upilnya sama apa yang kami kerjakan. Merombak layout dalam waktu kurang dari 2 jam atau menerjemahkan 100+ pages dalam 2 hari... Ah, kami sudah biasa!

Tapi kadang ada yang temen makan temen juga. Pernah suatu tengah malam Mbak Account Executive menelepon, minta slot waktu untuk kerja terjemahan yang harus selesai besok pagi jam 8. Padahal baru beberapa menit yang lalu saya pulang, habis kejar setoran dan 3 hari tidak tidur. "Sedikit kok, Pit. Cuma 35 halaman doang," ujarnya. Saya nggak pakai mikir. Setenang mungkin saya jawab, "Ya kalo dikit mah lu aja yang kerjain, Mbak. Gue mau bayar tidur." Lalu ponsel saya matikan. Benar-benar mati.          

Sejak saya ngantor sampai saya jadi freelancer yang namanya nggak tidur berhari-hari sih sudah hal wajar. Tapi sejarah paman saya yang meninggal karena gagal ginjal akibat kelainan bawaan yang luput ditangani serta kebiasaannya nenggak booster membuat saya nggak pernah menyentuh minuman semacam itu. Paling banter ya cuma kopi tanpa gula. Itu pun disandingkan dengan air bening yang jumlahnya harus lebih banyak dari kopinya. Tapi ya seringnya bablas sih, seharian di kantor bisa sampai 10 mug kopi. Minimal. 

Waktu saya mergokin AM saya telponan sama klien jam 2 pagi sementara saya berkutat dengan pekerjaannya itu, dia sama sekali nggak merasa bersalah. Seselesainya, dia bilang, "ini salah satu tugas jadi PR. Kadang-kadang suka cair antara personal dan professional. Tapi ya namanya servis, harus all in, biar klien nggak lari." Begitu katanya. Dan saya nggak setuju.

Di tempat freelance, pertama kali saya harus menggantikan meeting salah satu copywriter karena dia berhalangan, saya diwanti-wanti oleh Om Boss. "Tugas lu cuma revisi doang. Ini klien kakap, Korean. Lu mesti ati-ati, tapi mesti tegas. Kalo nggak ntar dia minta macem-macem." Lalu saya berangkat dengan moda ke medan perang. 

Sampai di kantor minyak punya Mr. Korean, kami harus langsung kerja. Well, saya doang sih yang kerja. AE saya cuma harus sit there and being pretty karena semua komunikasi dalam bahasa Inggris cuma bisa melalui saya. Ternyata dia nggak hanya minta revisi konten, tapi juga layout. Dia nggak cuma perlu copywriter, tapi graphic designer. Karena miskom ini lah saya harus rela merevisi lewat notes PDF, mencarikan tagline dan catchphrase yang tepat, dan semua dilakukan dalam suasana eksekusi. Bahkan pekerja lokalnya pun seringkali meminta maaf karena bos mereka sering kasar dan memaki dalam bahasa Korea. 

Saya harus tinggal sampai hampir jam 1 malam, sampai graphic designer dan copywriter senior pengganti datang. Mr. Korean heran karena saya beres-beres perabotan lenong. Dia nggak mau saya pulang. Katanya, ini tanggungjawab saya. Padahal saya sudah delegasikan kerjaan, dan saya beritahu kalau pengganti saya lebih senior, dan AE yang nggak ngapa-ngapain tapi dia lirikin terus itu punya anak kecil yang perlu mamanya. Waktu dia marah-marah sambil menahan ransel saya saat saya bangkit mau pulang, saya muntap. Dengan marah saya teriak, "FUCK YOU! We're going home!" Untung saja Om Boss saya baik. Balik ke kantor saya malah mendapat tepukan di pundak karena bertindak tepat.

Dulu saya malas mengaku kerja di agensi PR. Saya selalu bilang "memburuh di pabrik topeng" atau "jadi ronin" untuk menyebut kerja freelance, karena ya memang seperti itulah pekerjaan saya sesungguhnya. Memproduksi citra, menjalankan marketing strategi, padahal beberapa produk yang launching seminggu kemudian terbukti sebagai produk gagal dengan banyaknya keluhan di surat pembaca. Namun saya banyak belajar tentang busuknya korporasi. Tentang bagaimana sistemasi tekanan dari klien ke MD turun ke AM dan berakhir ke Junior dan Supporting PR yang ditekan paling gila. Atau dari klien ke AE dan turun ke freelancer tanpa sang AE tahu seberapa kemampuan para freelancer kebebanan kerjaan. 

Itu semua sedikit cerita-cerita saya bekerja di industri begituan. Mungkin saya ketiban apes aja, ngantor di tempat yang manajemennya kekeluargaan (atau berantakan, bahasa jujurnya). Ada juga kok perusahaan PR yang manusiawi, yang jam kerjanya pas 8 jam sehari, yang kalau lembur tertib dapat kompensasi, dapat bonus, dan jalan-jalan ke luar negeri. Ada juga kok anak PR yang masih bisa bikin project pribadi semacam Coin A Chance yang digawangi Hanny dan Mbak Nyai. Tapi ya itu. Pintar-pintar saja memilih tempat kerja. Cerdas lah mau jadi bawahan orang yang seperti apa.   
        
Namun satu hal yang dipegang teguh sebagian besar atasan: bahwa klien adalah Tuhan. Dia Maha Pemberi Project, Maha Pengasih Budget, dan Maha Memperbaiki Portfolio. Untuk Sang Maha Klien-lah kita harus memuja, menjilat, dan membuat segalanya jadi mungkin. Kita bebas jadi diri kita sendiri, merdeka mau ngapa-ngapain pun sampe njengking-njengking. Tapi ketika Sang Maha Klien memanggil, kita harus patuh dan tunduk memenuhi panggilanNya. Bahkan ketika harus kehilangan diri sendiri, ketika harus kehilangan kemampuan berpikir sendiri, ketika harus mempercayai kebohongan yang tiap hari didengungkan di telinga kita oleh teman-teman kerja sendiri. 

Saya nggak suka seperti itu. Dan saya bukan robot yang bisa diperintah-perintah. Jadinya ya... Saya cabut lagi. Karena saya memang sudah tidak bertuhan sejak dalam pikiran.


  


Comments

  1. Ah, nice piece from first hand story teller..

    ReplyDelete
  2. keknya dulu kalo ngeliat pekerja2 kreatif yg laen yg paling blangsak gw doang, Mbak. haha!

    ReplyDelete
  3. untung org2 di kantor gw dateng jam 10 pulang jam 4 sore hahahaha

    ReplyDelete
  4. If your previous bosses didn't call you to react to this post, he/she must be damned crazy.

    ReplyDelete
  5. Anonymous6:20 PM

    Wah..ane kira kayak di film Madmen, minum, roko, seks, ternyata berat kerjaannya...wkwk

    ReplyDelete
  6. Mas Didut
    kantormu lak isine bos kabeh =P

    Tania
    First, this is a kinda anonymous me. Second, I even unfollow them on Twitter & unfriend them on Facebook. Third, I change my number & email. Haha!

    ReplyDelete
  7. Anonymous7:54 PM

    Well done Mas, semoga pekerjaannya nanti makin masuk akal.. Families love us much than bosses :)

    ReplyDelete
  8. Thanks for the first-hand story. I never knew it's very bad out there. Saya pikir semestinya itu melanggar hukum kerja Internasional, kalau bukan hak-hak manusia. Atau mungkin saya terlalu idealis. Untung di luar-negeri nggak mungkin bisa seperti itu, sudah di-sue sama pekejanya dari kapan tau.

    ReplyDelete
  9. Anon 1
    nyeh. pilem lu percaya...

    Anon 2
    aku perempuan. ergh. but thanks, anyway. i love my life so much more than i love that kinda shitty job. but seriously, it was fun (=

    Chris
    the funny thing is... somehow, we knew that those things are bound to happen. it's like sharpening our instinct to survive in the so-called office. ya you know lah, kalo udah kepepet kan manusia bisa ngapain aja--ADRENALINHUAKBAR! =P
    pengen sih protes. tapi ya.. kek ga tau di Indonesia aja. protes dikit, pecat. honestly, what made me stay adalah cicilan motor bokap. ngoahahaha! oh, well... masa2 gw melacur demi motor bokap itu...
    but don't get me wrong. you know your true friends at your darkest times, and those friends i made there are the truest ones up to now. udah bareng2 berasa pait2nya diinjek2 AM yg bersekutu sama klien soalnya. ngoahaha!
    owmen. gw kek survivor holocaust gini rasanya...

    ReplyDelete
  10. Pit, kamu nyawanya berapa sih jadinya?

    Udah kerja begitu, gak mati-mati juga. Malah ke Ubud lagi sekarang.

    Asem tenan.

    ReplyDelete
  11. konon korea memang gitu... wong anak2 Korea aja harus belajar sampai jam 10 malam di sekolah :D

    Ya, pekerjaan di advertensi memang tidak kenal waktu. Aku sering melihat kantor hakuhodo tidak pernah padam lampunya, dan ditegaskan juga oleh supir taxi yang pasti mangkal di situ krn masih byk karyawan yang pulang pada jam-jam aneh.

    Karoushi sudah biasa di Jepang, tidak hanya di kantor advertensi saja, tapi jangan sampai anggota keluargaku ada yang karoushi, akan aku tuntut di pengadilan. Klien memang tuhan tapi sayangnya dia bukan satu-satunya pemberi hidup. Kita kan bisa memilih agama eh tuhan yang kita mau ;) termasuk tidak bertuhan

    ReplyDelete
  12. Anonymous12:33 PM

    ah mirip mirip kerjaan gue walau beda jauh

    gue kerja di kontraktor BUMN, yang jam kerja nya juga gila2an. tanggalan item semua. gak ada cerita jatah cuti (walau di peraturan perusahaan kami berhak). dan walaupun akhirnya nekad ambil jatah cuti, yang namanya email, laporan, bbm, dan segala komunikasi harus selalu ON.

    saya pernah kena "amukan" bos, gara2 telat angkat telpon karna saya emang lagi mandi. (dia nelpon jam 7 pagi). bahkan telpon jam 4 subuh harus segera diangkat. gak peduli saya udah lembur berhari hari

    sekarang saya masih bertahan disana, dengan alasan sangat dangkal "gue gak mau nganggur"

    what should i do

    ReplyDelete
  13. Nte Em
    jaman kantor masih di bawah salah satu perusahaan guwedhe, Emak MD nggak mau ngantor di building dengan alasan peraturan building yg cuma boleh nyalain lampu & AC maksimal sampe jam 22, layout kantor yg kaku, dan macem2 peraturan yg nggak fleksibel. point taken, though. tapi sebenernya semua bisa diatur kalo emang manajemen kerjaannya bagus dan klien nggak merasa diri kek Tuhan yg apa2 harus keturutan kalo nggak ga bakal dipake lagi buat dapetin project. tapi to be brutally honest, 3.5 taun gw di PR Agency kecil itu adalah masa2 terbaik gw, karena gw dipaksa sampe lewat batas kemampuan gw. karena gw jadi tau endurance gw sendiri, dan it's quite building up my characters. i never regret it. but i learned it in a hard way (=

    Anon BUMN
    my sympathy for you, but you can read this:
    http://www.brainpickings.org/wp-content/uploads/2012/10/holsteemanifesto.jpg

    just remember (quoting Catharina Burns) : Work on what you love. You are responsible for the talent that has been entrusted to you

    take your dreams SERIOUSLY.

    ReplyDelete
  14. sahat farida4:38 AM

    turut berduka cita, pengalamannya luar biasa...

    Dari judul caption berita menurutku sudah sangat berpihak, berpihak pada Tuhan yang mewujud klien % uang...

    Gimana kabarnya Ubud mba Pito?...

    ReplyDelete
  15. Anonymous9:44 AM

    Kadang aku suka pengen marah atau ngakak klo ada yg manggil elo mas. Tapi kelamaan jadi mikir apa karena berani ungkapkan pikiran makanya disangka laki mulu ya. Ini yg jadi bikin aku mikir..apa emang selalu perempuan itu dianggap mahluk yang harus duduk manis dan tutup mulut ya. Dem.

    ReplyDelete
  16. Sahat
    Ubud baek, Kakak. ujan mulu. dan gw lagi nggak anti aer gara2 koreng masih nyonyor. men, di dengkul! ini mah sembuhnya sampe abis 1 peradaban dulu!

    Anon lagi
    ya antara itu atau emang karena bekgron item dan tengkorak unyuk di pojokan =P
    DIANGGAP is not who you are. what you are is what you work on doing, not what people assumed you to behave.


    ReplyDelete
  17. mengerikan sekali pengalaman dalam postingan ini, dan saya sedih euy membaca tugasmu terkait peraturan HPH itu, tentang hak menyuarakan kebenaran katanya? beh..

    ReplyDelete
  18. nyunyu7:41 PM

    jadi inget bapak suami.... untungnya punya anak bikin dia lebih pinter bagi waktu...buat anaknya...hehehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?