Chik!
Dicomot dari akun @chikadjati pas lagi pamer foto kecil dengan baju adat |
Hey, Chik!
Kamu tahu lah, aku nggak percaya hidup setelah mati dan surga dan neraka dan reinkarnasi. Semua susah dan senang terjadi karena semesta mencari imbang, ditimpakan ke manusia sesuai dengan keapesan dan keberuntungan masing-masing. Jadi, gimanapun, aku tahu kamu juga nggak akan bisa baca ini.
Tapi aku mendadak kangen kamu, Chik. Aku kangen malam-malam kita "berkelana" menjelajah Jakarta dan pulang naik Metromini. Kangen masa-masa ngobrol panjang tentang cowok insecure, ADHD, kenangan, dan jalan-jalan. Kangen menyesap Bailey's oleh-olehmu, atau ngobrol bareng Mas Aji sambil kita ngenyék-ngenyék OCD-nya Mas Marto. Kangen bantuin kamu wawancara anak-anak pesantren buat dapetin short course ke Amrik (dan pertanyaan konyolku di malam sebelum hari H, "gue nggak mesti pake jilbab, kan?"). Dan aku ngetik ini di tengah kesengganganku untuk sembuh sambil néthél koreng di dagu akibat jatuh dari motor tiga malam lalu. Rasanya najis, Chik. Aku nggak mau jatuh lagi. Masih ingat rasanya ketika tulang di sepanjang kaki seperti diregang paksa waktu badanku tertimpa motor dan telapak tersangkut step. Atau perih paripurna di hampir tengah malam saat kapas beralkohol diusap ke luka terbuka, meskipun mbak-mbak Bumi Sehat berulangkali meminta maaf sebelum membersihkan seluruh pasir yang menancap di daging. Dan aku diyakinkan bahwa di bawah kulit semua orang adalah putih. Jadi, nggak perlu lah krim pemutih yang digila-gilai perempuan yang merasa buruk rupa karena berkulit gelap dan iklannya sering kita tertawakan.
Chik,
Seminggu lalu teman seangkatanku meninggal karena lupus. Dan kamu juga akhirnya menjemput maut akibat kanker yang menggerogoti tubuh. Teman dekatku malah leukemia. Dan sakitnya jatuh dari motor mungkin nggak ada seupil-upilnya sakit karena kanker, tapi aku malah ingat kamu, Chik. Ingat temanku yg luluh karena lupus dan temanku yang tegar melawan leukemia. Buatku, kalian pemenang karena hidup tak sekadar menunggu mati.
Kegetolanmu itu lho, Chik... Bantuin Tante Ai untuk Akber dan waktu luang yang selalu kamu sempatkan untuk teman-teman di sekelilingmu, sampai kadang-kadang kamu hampir nggak punya waktu untuk dirimu sendiri. Dan sifatmu itu yang selalu ingin tahu, selalu penasaran, tapi nggak pernah lupa bersenang-senang. Kamu, yang suka backpacking, yang kepingin menelusuri pojokan Cina dan menabung mati-matian. Dan pilihanmu untuk akhirnya melepas kerudung. Aku suka gestur itu. Waktu kutanya alasanmu, kamu bilang, "pake atau nggak pake, ya semau-maunya gue aja. Kalo gue pengen juga ntar gue pake lagi". Dan kamu adalah salah satu dari sekian banyak pembuktian, bahwa semua perempuan yang akhirnya lepas kerudung terlihat lebih cantik dan orisinil, lebih asyik menjadi diri mereka sendiri, lebih nyaman dijadikan teman.
Kemudian kita sama-sama disibukkan dengan urusan masing-masing dan hampir nggak punya waktu lagi buat melakukan kekonyolan-kekonyolan lepas tengah malam. Kita juga nggak pernah lagi ketemuan nggak sengaja di keriaan-keriaan pekerja online yang sering kita sambangi (terutama di @obsat yang buatku tempat dinner gretongan dan buatmu tempat ngangsu kawruh sambil bertugas livetweet). Sampai aku mindahin pantat ke Bali pun aku nggak sempat pamitan sama kamu.
Aku kehilangan kamu, Chik. Lalu aku iseng kirim pesan di WhatsApp dan kamu balas lebih dari seminggu kemudian. Tadinya aku masih berprasangka baik. Kamu hanya sibuk, rempong dengan urusanmu dan teman-temanmu, dan masih baik-baik saja di Jakarta atau di Malang atau di mana pun kamu sedang melangkahkan kaki sambil menggendong ransel. Namun apa yang kamu ceritakan malah bikin pelupukku panas. Kamu cerita tentang penyakitmu, tentang perjuanganmu, tapi tetap positif sambil cengengesan.
Hey, Chik!
Aku udah nunggu lho. Kamu bilang kamu mau ke Ubud, minta dicarikan homestay untuk beristirahat bareng mamamu yang hebat itu, yang nggak pernah lelah mengurus dan menjagamu selama masa sakitmu. Padahal aku udah cariin, di Monkey Forest, dekat tempat kerjaku dulu. Kamu pasti suka. Tempatnya teduh, banyak pepohonan. Mirip Taman Langsat. Koneksinya kenceng mampus. Ya kamu tau lah, sebagai manusia-manusia digital, internet adalah detak jantung. Dan kamu juga tau I'll work for bandwidth. Di depan loket masuk hutan penuh monyet itu ada meja yang di atasnya bertumpuk pisang menggiurkan dengan papan penanda bertuliskan "OFFICIAL MONKEY FOREST BANANAS".
Ini lho, Chik, yang mau aku tunjukin ke kamu. Dipungut dari sini. |
Aku udah nggak sabar lho, Chik, mau nunjukin ke kamu. Mau cekikikan, mau nyinyirin betapa mindset Orba yang gila keseragaman dan serba resmi masih saja dipakai. Padahal kabinet berkali-kali ganti dan korupsi berkali-kali bermutasi.
Hey, Chik!
Ternyata kita nggak pernah ketemu lagi. Waktu aku lihat fotomu di sosmed dengan gaun rumah sakit dan tangan tertancap infus, nggak tau kenapa aku sudah ikhlas. Aku cuma komen, semoga yang terbaik yang terjadi buatmu, karena aku nggak berdoa. Karena seringnya, insting bertahan hidup kalah oleh insting mati, saat semua sel tubuh berada dalam titik nadir dan pejuang-pejuangnya harus tunduk pada hukum biologis setelah babak bundas mati-matian melawan. Dan mungkin itu yang terbaik.
Aku ngiri sama kamu dan Cobain dan Hendrix dan Lauper dan Morisson dan Buckley dan Winehouse. Kamu mati muda, di puncak pencapaianmu sebagai manusia. Dan kamu belum genap tiga puluh. Dan beberapa hari kemarin, ketika dagu dan jidatku sedang nyonyor-nyonyornya dan painkiller membuat mukaku bengkak, aku bertemu nenek Jerman usia enam tujuh yang bangga bercerita tentang petualangannya jadi backpacker sejak umur 30. Waktu aku bilang aku ngiri, nenek itu membalas, "No, you shouldn't! You have your life ahead of you! You have the right attitude and spirit. Just focus in what you want, and you'll get it in time. I have the feeling you will!" Omongannya kamu banget, Chik!
Aku banyak belajar dari kamu, Chik. Belajar tentang fokus, tentang semangat, tentang mencari akar masalah, tentang anger management, tentang mendengar, tentang pertemanan. Kamu itu guru, karena hidupmu yang sebentar adalah cermin buat sekelilingmu. Karena selelah apapun, kamu tetap senyum. Karena kamu nggak pernah menghakimi. Karena kamu selalu objektif. Dan karena kamu sahabat yang netral, bahkan saat bergosip sekalipun. Dan sejak kamu nggak ada, ketika aku iseng melihat langit Bali yang jernih bertabur bintang, aku tunjuk satu bintang paling terang dan teriak,
"Itu Chika!"
Your spirit carries on, dear friend...
*mewek*
ReplyDeleteAJEUNG! ke mana aja? nomerku masih yang lama lho, kalo mau wasapan =P
ReplyDeleteNganu.. sinyal kuatir.. kaya di pedalaman.. :|
Delete*cipok basah*
:')
ReplyDeletedamn gw masih sedih bacanya
ReplyDelete