Judging A(n Ex-)Friend

A friend will help you move. A good friend will help you move a dead body.

- Anonymous


Di suatu hari yang apes karena ditinggal (orang yang saya kira) sahabat, seorang bajingan lain bilang begini:
Nggak ada yang namanya teman baik, yang ada hanyalah orang yang punya kebutuhan atas eksistensimu.

Menyakitkan untuk didengar, sebagaimana semua kebenaran adalah menyakitkan.

Lebih menyakitkan lagi ketika suatu hari salah seorang ibu (yang saya tunjuk semena-mena sebagai Emak), orangtua tunggal yang sejak anaknya bayi babak bundas mengangkat harkat keluarga sendiri tanpa bantuan pasangan, jatuh bangun membagi 24 jam waktunya antara putri semata wayang, pekerjaan, dan kehidupan pribadi, menelepon saya, bercerita, dan menyimpulkan: “Gue udah nggak tau mesti percaya ke siapa lagi. Gue kirain dia temen gue…”

Saya juga mengira dia teman saya, yang ketika saya kenalkan pada si “emak” adalah anak rantau jauh dari pulau tempat ibu-bapaknya berada. Saya abai pada masa lalunya yang syahdan menurut konon menggelapkan uang kas komunitas. Menurut saya, itu nggak penting. Dia juga nggak akan ngapa-ngapain ke saya, wong saya nggak punya apa-apa.

Tapi saya lupa kalau saya punya banyak lingkaran kecil, orang-orang yang porosnya saya orbiti, yang keberadaannya menjadi pusat semestanya sendiri, dan beberapa semesta memang saling beririsan. Saya khilaf kalau saya punya beberapa orang yang saya anggap pasangan jiwa, yang keberadaannya saya anggap penting, sebagai manusia, bukan sebagai profesi. Beberapa memang orang berpunya. Tapi hanya karena saya nggak pernah menggunakan kesempatan untuk menikmati keberpunyaan mereka, saya pikir orang lain juga seperti saya. Iya, untuk satu hal itu saya memang naïf.

Saya nggak pernah ngonsep sama yang namanya penghianatan, perselingkuhan, kebohongan, dalam hubungan apapun. Pertemanan, bisnis, maupun roman-romanan. Ini seperti menikam punggung saat memeluk. Kepura-puraan yang menyakiti. Terlihat akrab, padahal khianat. Makanya saya nggak ngerti kenapa ada orang yang diberi tumpangan hidup selama sebulan, dikasih makan, dikasih tempat pulang, masih tega membobol tabungan anak “induk semang”nya sendiri. Tabungan yang dikumpulkan oleh bocah perempuan kecil yang sering bawel ngecipris keminggris namun pendiam di depan orang baru. Bocah yang saya bayangkan matanya berbinar-binar penuh harapan akan beli ina-inu-itu nanti saat ia dan ibunya nanti punya waktu luang untuk berlibur. Bocah yang sedari kecil hampir nggak pernah tahu rasanya dipeluk Ayah, yang ibunya secara harfiah mati-matian menghidupi dan memberi makan mimpi-mimpi putrinya agar nanti punya hidup yang jauh lebih baik dan bahagia. Semacam dikasih ati ngerogoh biji. Jauuuuh.

Iya, saya memang naïf sekali. Saya yang sering membual dan merasa diri pintar bahkan nggak pernah bisa ngerti kenapa orang mesti mencuri kalau meminta pun akan dikasih. Kalau nggak dikasih ya berarti minta lagi ke orang lain. Kalo nggak dikasih juga ya mamam dah tuh kepengenan. Gitu aja kok repot. 

Tapi mungkin ada keperluan yang bagi saya nggak penting-penting amat menjadi teramat sangat krusial untuk seseorang. Misalnya, makan enak dan mahal, nongkrong bareng teman-teman biar disebut eksis, beli baju dan sepatu baru yang hanya karena pengen atau suka warna ungunya, atau apa lah yang menurut saya terlalu wah. Saya sering lupa bahwa Jakarta lebih sering mengubah seseorang berada di salah satu dari dua kutub tanpa ada tengah diantaranya: jadi setan atau jadi malaikat; jadi cerdas atau jadi bodoh; jadi jahat atau jadi baik.

Mungkin kadang saya yang terlalu sentimental, terlalu berpihak tanpa mau mendengar sisi mata uang yang lain. Karena toh akan selalu ada dua versi dari dua orang yang berbeda meskipun hanya ada satu peristiwa.

But mark this one, girl… you are no longer a friend of mine.


Love all, trust a few, do wrong to none
- William Shakespeare




Comments

  1. Kayaknya gue tahu nih, siapa...
    Well kalo pun gue salah nebak, tetep aja... kok ya tega membobol tabungan anak orang. Gak ada satupun excuse yang bisa buat dirinya jadi benar. Apalagi kalo pake alesan "gue cuma minjem".

    ReplyDelete
  2. emang nggak ada yg bisa dibilang bener dari tindakan ngambil yg bukan haknya, Le. dan kemaren ternyata temen2 onlen udah pada aware. dia lagi kesusahan nyari tebengan sementara berita dia ngembat tabungan udah nyebar.
    dan baru kali ini gw ngerasa marah banget. kalo gw ketemu orangnya keknya langsung gw tendang deh mukanya yg sok cool itu ga pake nanya2. taebeut dah.

    ReplyDelete
  3. Anonymous2:03 PM

    Tsk!
    Pernah mengalami dulu banget, bantu teman (ga begitu kenal tapi kan gue percayaan aja sama orang :/ ) yang tau-tau besoknya dateng bawa orang, katanya pasangan/istrinya (lupa) yang lagi hamil lumayan udah gede, nggak ada tempat tinggal sementara di Jogja waktu itu.

    Besoknya pulang kerja buruh warnet, udah ngebawain makan siang untuk makan bumil kesian, eh di kamar kost udah nggak ada orang, barang berantakan, baju di lemari acak-acakan, celengan ayam gue udah jadi bakal materi tari piring. Duitnya dibawa semua :( udah tau gitu nggak meriksa yang laen deh ada yang ilang apa nggak, udah keburu nyesek.

    Yang disesalkan, di kamar 1x2 itu gue hidup sama teman yang senasib sepekerjaan sepenanggungan juga. Kesian dia uring-uringan, ngerasa nggak enak juga takut disangkain dia yang ngambil. Lucu setelah inget betapa lamanya gue lupa sama peristiwa ini, kesimpulan gue sekarang kalo ngeliat kondisi waktu itu mungkin tu orang kepepet berat, tapi apa yang dia lakukan tetap tidak menghargai apa pun dalam harkat martabat hidup sebagai seorang pribadi dan hubungan antar sesama manusia.

    Ada juga yang dititipin uang kuliah kiriman bapak, karena masih kurang dititipin ke teman yang sudah kuanggap mbak sendiri, takut kepake, bapak nyari segitu aja udah ngos-ngosan. Ya aampe sekarang juga gelap entah kemana, dan sampe terakhir kalau nggak sengaja ketemu (yang sering terjadi karena tiba-tiba ndese eksis di beberapa tempat nongkrong di Jogja) bisa semacam ada saklar otomatis yang keluar suara "Ada di rumah dek, nanti mbak transfer ya", padahal udah bermaksud ngelupain, she even still call me "Dek"... :( bahkan minta maaf pun nggak.

    Kesal-menyesal, nggak enak, marah, kecewa, dll campur jadi satu. Semoga gue nggak melakukan hal seperti itu ke orang lain, lebih baik bilang kalau perlu atau pinjam :(

    "Trust is like a paper, once it's crumpled it can't be perfect again", rite?

    #curcol

    ReplyDelete
  4. once it's crumpled could be straightened with iron and little sprinkles of water kok =P
    it's ok. we learned kan pokoknya. hihi.

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women