It's Just Me Talking to the Mirror

Every (wo)man is for him(her)self.

Nyet…

Ya?

Gue mau cerita…

Ya udah. Cerita aja. Emang pernah gue larang?

Dan gue nggak mau pake kaidah kebahasaan yang baik dan benar.

So?

Dan gue juga nggak peduli peraturan kerahasiaan, ketelanjangan transaksi informasi di internet, UU ITE, freedom of speech, demokrasi, dan semacamnya.

Going bareback?

Definitely. And highly politically incorrect.

Ok. Shoot.

Jadi ceritanya gue supercapek.

Udah tau. Siklus kan?

Iya. Tapi yang ini beda.

Mungkin karena elu menua. Lantas?

Ya… nggak lantas-lantas. Gue mau maki-maki.

Elu tuh kebanyakan pembukaan. Jadi cerita nggak sih?! Kalo nggak jadi mendingan gue boker nih!

Ya jadi. Tapi gue bingung mulai dari mana.

Yang gampang, yang paling mengatur kemaslahatan dan mobilitas elu: duit.

Oh, iya. Gue sebel tuh. Berbulan-bulan invoice gue nggak cair-cair. I can barely living. Dan email dari si bos ke orang yang ngasih kerjaan juga nggak dibales-bales. Tapi terus si bos bisa jawab dong kalo invoice nyangkut itu emang lagi diurusin.

Terus? Maksud lu apa? Lu curiga?

Iya.

 Lalu?

Ya… gimana ya? Sayangnya gue masih percaya kebaikan manusia sih. Apalagi Si Bos kan temen gue sendiri. Kami sama-sama pegang kartu. Dan generally, mau manusia bisa sejahat monster-monster di Cabin in the Woods, gue selalu yakin ada seicrit kebaikan di setiap orang yang bikin dia nggak "melakukan itu". Kalaupun dia sampe menyeberang "ke arah situ", dia pasti punya alasan kuat sampe harus ngorbanin temennya. Pasti urusannya do-or-die. Kalo nggak dilakukan maka dia bakalan mati.

Tapi itu kan potensi. Setiap orang yang berpotensi baik akan selalu ada bayangannya: potensi jahat. Kan elu yang bilang sendiri, kalo semua hal di dunia akan selalu ada "lawan"nya untuk menegasikan biar nggak ada yang superior. Biar imbang. Chaos/order; tinggi/rendah; miskin/kaya; kanan/kiri; benar/salah; atas/bawah; sedikit/banyak. Lu yang bilang sendiri kalau ini bukan masalah adil. Tapi imbang. Keadaan di tengah.

Iya. Gue tau. Ya mungkin dia sedang mencari keseimbangan. Biasanya kan dia baik. Sekarang mungkin sedang ingin jahat. Dan apesnya mungkin pas kejadiannya di gue.

Bagus lah kalo lu nyadar. Kemudian?

Ya gue liat sisi bagusnya. Ternyata Masé masih bisa gue repotin. Hihi.

Sampe kapan?

Ya nggak tau. Mungkin selama dia masih mampu bantuin gue. Kalo nggak bisa kan dia juga bilang.

Tapi lu jadi bergantung sama dia, lho.

Ya nggak papa juga kan? Sekali lagi gue bilang: selama dia masih bisa. Selama dia nggak merasa direpotkan.

Kalo misalnya saat itu datang? Saat dia udah nggak bisa dan nggak mau bantuin elu lagi karena sudah merasa repot?

Ya… mungkin gue akan mati jomblo.

Lhaaa… kok urusannya ke jomblo?! Nggak ada hubungannya!

Lho, justru ada banget! Masé kan tau gue gimana. Udah gue tembak berkali-kali juga dia nggak pergi karena merasa kami adalah teman. Dia yang nyediain kunci sampe gue bisa nyari sendiri jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan gue. Dia juga yang buka akses lebar-lebar untuk gue wadul, nanya dan diskusi nyolot, kecuali kalo dia lagi nyetir dan tidur. Salah gue di mana kalo gue merasa found the one?

Ya nggak salah juga sih, selama elu nggak shattered into pieces aja kalo ternyata he's not.

Well… gue juga nggak tau kapan he's not-nya. Tapi selama ini Masé adalah partner yang baik dan berkepala dingin untuk bisa gue ajak ngobrol, dari yang paling absurd sampe yang paling common; yang paling high-end, paling medioker, dan paling cabul sekalipun. Rasanya baru dia doang yang bisa kayak gitu. Yet being friendzoned has never felt this comforting.

Lu pikir deh. Ini planet Bumi manusianya ada berapa milyar? Dan yang namanya homo sapiens kan nggak di Indonesia doang. Mungkin lu belum nemu aja yang setipe sama Masé. Lu belum menjejakkan kaki ke London, Skotlandia, Yunani, Belanda, Jepang, DAS-nya Yang-Tse. Ke Kalimantan aja lu belum pernah. Siapa tau di pelosok pedalaman Papua sana malah ada orang kayak dia. Lagian, emang lu mau ampe mati di sini?

Ya gue kan nggak kenal sama orang-orang dari daerah yang lu sebutin tadi. Yang gue kenal kayak Masé ya baru Masé doang. Dan mati di sini? Secanggih-canggihnya gue, gue belum tau lah daur hidup gue ampe kapan. Jadi, mau mati di sini, di sono, di situ, kayaknya mah nggak masalah selama gue nggak menentukan kapan dan di mana gue mati. Kecuali emang gue yang bisa switch off kapan lifespan gue berenti, baru deh… gue mau mati di meja operasi, siap organ harvest, abis gue ziarah ke tempat-tempat yang ada di video dokumenter arsitekturnya Mbak Titik.

Lalu? Alasan apa lagi yang bikin you hang on too fucking tight to Masé?

He never failed me.

Misalnya?

Ya… sebelum ngapa-ngapain, dia akan kasih gw pro's dan cons's dan dia biarin gue milih. Bahkan ketika pilihan gue salah, he's there, listening and flooding me with silenced I-told-you's. Dia nggak pernah meledak-ledak melakukan apapun. He never matches my energy tiap akan garap sesuatu bareng. He keeps it low. Dia bumper gue kalo gue kejedug-jedug di tengah jalan. Kadang gue suka kesel, berasa gue doang yang hype kalo ngapa-ngapain sementara dia santai kayak di pantai. Tapi ternyata it worked for me all the time, tanpa gue sadar.

And?

Gue nyaman dengan itu. Mungkin karena masing-masing dari kami juga nggak ada tuntutan apapun. Ketemu, sukur. Nggak ketemu, ya udah. Nggak maksa. Gue banyak belajar dari dia tentang ketidakmelekatan, tentang melepas tanpa harus terbebani emotional baggage yang harus digeret-geret kemana-mana, tentang berbagi yang seringkali sebangun dengan coli kemudian ejakulasi. Ya jalan aja, nggak usah melankolor, nggak usah nyolot. Lu tau lah segimananya gue usaha buat ketemu orang baru tapi nggak ngoyo, buat actively involved tanpa harus repot. Gue niru Masé dengan gaya gue. But it always comes down to him. Rasanya gue pengen kabur aja. Pergi ke mana kek kayak yang lu bilang. Buka Google Map, taro cursor di satu wilayah yang bukan Indonesia, dan cari cara gimana bisa ke sana.

Haha! Seriously?  

Ya… belom sampe segitunya sih. Tapi ini sebenernya ekses karena ada beberapa hal yang gue kecewa di orang lain dan selalu Masé comes to the rescue. Lu tau lah starmaker syndrome gue. Berapa kali kan, ada orang yang dengan semena-mena nunjuk gue untuk bantuin bertanggungjawab atas sebagian pencapaian di hidupnya. Kesannya udah serius, udah ngobrol bareng, udah bikin mapping sama strategi. Eeeh… ndilalahnya dia sendiri yang nggak kuat maju. Padahal ya hasil akhirnya bukan buat gue. Wong gue kecepretan duit aja nggak! Atau gue jadi wrong person at the wrong time. Saat orang lagi jatoh dan nggak sengaja gue yang bangunin, gue temenin pas dia recuperate, gue yakinin dia bisa lebih dari sekedar sembuh. Terus orangnya nggak mau. Padahal gue tau dia mampu. Terus gue kecewa karena menganggap orang lain akan sama klotokannya sama gue yang nggak puas cuma di satu titik dengan apa yang gue liat di orang itu, dengan potensi yang gue yakin dia punya. Gue kecewa karena gue expecting too much. Padahal kan gue nggak suka baca kalimat-kalimat motivasinya Mario Teguh. Padahal kan gue selalu mikir pake "don't hope, don't expect, and have fun".

Kali aja ada masa-masa elu lupa. Atau emang elu pengen jadiin itu semacam pilot project, ngebuktiin ke diri lu sendiri kalo lu bisa lho bikin yang kayak gitu.

Mungkin. PR gue juga masih berkutat di situ sih. Masih belum puas kalo belum jadi sesuatu.

Udah?

Belum. Gue masih mau cerita tentang orang-orang bertopeng.

Kamen Rider yang dari Jepang?

Bukan. Orang-orang yang nggak jadi dirinya sendiri.

Lha urusannya apa sama elu?

Soalnya kadang gue percaya. Karena gue pikir orang nggak ada kepentingannya untuk berbohong and make up stories hanya untuk ngobrol ama gue yang suka sotoy, yang nggak keliatan muka, yang masih limited sama layar atau bahkan terhambat batas 140 karakter.

Sekali lagi gue tanya: terus urusannya apa sama elu?

Gue sering kaget aja hari gini masih nemu orang kayak gitu.

Mungkin mereka nggak puas dengan pencapaian mereka tapi nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Mungkin mereka perlu pelarian dari keseharian, dari hidup, dari kekecewaan-kekecewaan yang nggak mampu dihadapi, dari diri mereka sendiri...

Tapi bukankah itu pathetic jadinya?

You're not standing in their shoes, missy.

Rasanya gue pengen kayak mbak-mbak bule chasers yang ketemu di tempat Lea kemaren aja…

Yakin? Maintenance-nya mehel, lho. Mesti jaga badan, toket, perut, rambut, kulit. Belom perawatan memek. Emang bakal betah lu di salon? Potong rambut yang ga sampe setengah jam aja bawaannya udah pengen pulang gara-gara mbak kapsternya bilang lu tambah gendut. Belom kalo kena penyakit seksual atau sekalian HIV. And you've got to buy your own booze! Emang bakal punya duit buat begitu-begituan? Lagian, semua yang gue sebutin itu takes time, effort and energy banget. Lu nggak bakal punya daya lagi untuk nulis-nulis dan garap personal project lu suka-suka. Nggak bisa tidur sembarang jam lu ngantuk. Harus tahan dugem. Harus pasang senyum palsu biar selalu menarik. Dan harus berupaya keras ngikutin selera si bule biar dia mau tidur ama elu dan elu bisa porotin duitnya. Emang bisa lu tega sama diri sendiri sampe ke titik itu?

Hehe… Tapi sepertinya hidup mereka lebih sederhana. Lebih membahagiakan. Pusingnya paling kalo salah satu dari bule-bule pacar mereka selingkuh. Oxymoron ya? Salah-satu-dari-bule-bule-pacar-mereka-selingkuh. Haha! 

Again, missy. You're not standing in their shoes.

I know. You need not to remind me that.

Ya udah, nggak usah macem-macem. Makes the best of what you have. Titik.

I will.

So?

Oh, well… just carry on. Nothing to see here.

Shall we?



Comments

  1. Anonymous1:09 PM

    HELL NO!!!! *tertunduk lalu beringsut ke pinggir*

    ReplyDelete

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women