For Better and for Worse...

Gambar diambil dari sini.

A wedding is a funeral where you smell your own flower.
- Eddie Cantor  


Satu hal yang kalau bisa saya nggak usah ngomongin (apalagi ngejalanin), adalah pernikahan. Tapi entah kenapa sepertinya dunia dan seisinya membenci perempuan yang (hampir) memasuki kepala tiga dan nyaman-nyaman saja sendirian tanpa pasangan. Karena itulah diciptakan Budhe, Pakdhe, Om, Tante, Tetangga, Kenalan, Tukang Taksi, dan Mamang Mie Ayam usil untuk mengingatkan para lajang agar berhenti bersenang-senang dan mengikuti jejak langkah martir mereka menuju kekangan penderitaan.  

Iya. Saya memang selalu berpikir sebegitu negatifnya tentang pernikahan. Ya… gimana ya? Saya nggak bisa bayangin betapa membosankannya tiap bangun dan mau tidur selalu liat muka yang itu-itu saja di sebelahnya. Jangan salah. Teman tidur saya banyak. Kadang guling, kadang bantal, kadang cushion dan kadang adik saya. Sesekali anjing. Yang beneran anjing, berkaki empat. Bukan “anjing” berkaki dua. Itu saja sering bosan. Apalagi kalau cuma itu-itu saja. Argh! 

Lalu masalah kompromi. 

Ada beberapa hal sepele yang saya nggak bisa terima. Misalnya mencet tabung pasta gigi dari tengah. Atau lupa mematikan keran air dan lampu kamar mandi. Atau gelantungan jins dan kemeja di kapstok. Atau lupa menjemur handuk lembab sehabis dipakai. Serius, saya bisa senewen. Dan saya nggak mau ketambahan variabel remeh semacam itu untuk memperpanjang daftar kesenewenan sehari-hari yang diakibatkan oleh supir Metromini pemabuk ugal-ugalan dan tukang bajay yang sembarangan ngasih kembalian.  

Belum lagi kalau misalnya ternyata pasangan saya masih oldskool, menganggap lelaki terlalu mulia mengerjakan tugas domestik dan ogah manjat atap karena rela menunggu tukang yang akan dia bayar. Gimana ya? Saya manusia pelit yang berlindung dibalik paham swadaya. Sebisa mungkin, kalau saya bisa, saya akan lakukan sendiri. Nggak usah keluar uang untuk bayar orang. 

Belum lagi masalah keyakinan. Man… Seringkali orang batal nikah karena beda keyakinan. Misalnya, yang perempuan yakin mau kawin sementara yang laki-laki nggak. Parahnya, kalau ternyata perbedaan keyakinan itu baru kelihatan ketika mereka telah menikah. Yang perempuan yakin dunianya akan bersemu merah jambu tiap waktu, sementara pasangannya mikir, “njis, ini macem gue ngekos, bayar orang buat laundry dan bersih-bersih, bebas ngéwé, tapi bayarnya kemahalan dan nggak bisa sembarangan pindah.” Yang perempuan yakin pasangannya bisa jadi imam sholat yang baik, sementara yang lelaki yakin dia menikahi perawan. Yang perempuan yakin Tuhan itu ilusi, sementara lelakinya yakin Tuhan Maha Kuasa. 

Tapi itu kan dari otak picik saya, jomblo menahun yang ketakutan disuruh-suruh berpasangan. Untuk yang sudah menemukan tambatan jiwa dan belahan nyawa mungkin ya nggak gitu mikirnya.  

Suatu hari saya pernah “dibantai” sama abang ganteng gila Beatles yang—betapa mengecewakannya—anaknya sudah dua. Dia cerita betapa jobless tidak menghentikan rencananya untuk menikahi pacar yang sudah dikenalnya lama. Betapa tekad—bukan nekad—mengalahkan segala akal sehat. Tapi visi mereka sama: hidup bersama. Itu saja. 

Namun kesederhanaan visi tidak lantas mengejewantahkan praktek kebersamaan itu secara sederhana. Katanya, setiap tahun akan selalu ada kejenuhan sampai di titik masing-masing akan berpikiran “cerai aja kali ya…” Iya, penyesuaiannya nggak sebentar. Selama empat tahun—and counting—ada berbagai hal-hal asing yang ternyata mereka baru tahu setelah tinggal serumah. Mendengarnya, saya berhasil bengong. Bayangkan. Pacar yang dulunya kita puja sebagai mahluk terindah ternyata tidurnya ngorok dan kalau ngiler bisa sebantal basahnya, misalnya. Terus, udah dapet pasangan apes kayak gitu, karena udah dinikah, ya nggak mungkin juga kan mak bedunduk ujug-ujug minta cerai. 

Tapi sih saya yakin ada beberapa kesamaan yang akan memudahkan semuanya. Misalnya, sama-sama suka traveling, suka fotografi, suka nanam-nanam. Buat saya pribadi sih akan menyenangkan melakukan satu hal bersama, berpasangan atau tidak. dari cara saja kita bisa ngintip lho ketahanan seseorang melakukan hal berulang. Mulai dari ngepak, bersihin alat, nyiangin tanah. Apalagi sama pasangan. Kan romantis tuh, nanem bibit tomat bareng terus ada-adain alasan, “Ay, muka kamu ada cacingnya tuh…” Terus pura-pura jijik sambil ngambil, padahal ngebelepotin muka pake tanah. Terus lempar-lemparan. Terus kejar-kejaran. Kalau sudah tertangkap terus dipeluk. Terus cipokan. Terus… 

Owkey. Sudah terlalu ngelantur. Daripada berlanjut sampai masing-masing menggelinjang, lebih baik percaya sama saya: buat yang kuat sendirian, nggak ada salahnya melajang. Bagi yang sudah punya pasangan, mending buruan dilamar. Saya nggak menjanjikan dunia kalian akan lebih baik. Tapi sepertinya menarik hidup bareng orang yang kita sayang. Come what may, nggak usah kebanyakan mikir. Hajar aja. 

Dan berjuta good luck saya kirimkan ke kalian yang percaya dua frase terakhir di paragraf teratas. Hihi.

Dedicated to Firman the Kakilangit. Ini semacam kado pernikahan. Selamat berbagi setiap hari!




Comments

  1. Keren, seperti biasa. You rock, Girl!

    Paragraf pertama adalah satir terhebat yang pernah kubaca about pernikahan. Serius!

    ReplyDelete
  2. Makanya, banyak baca2 dalam Bahasa Inggris =P

    ReplyDelete
  3. Visi sama itu juga yang akhirnya bikin saya mau nikah sama Papa Bakso.. Visinya adalah 'kau adalah kau, saya adalah saya' kau beragama Islam, saya.. Belum mau punya agama. Do what u want, like, love. Tp inget bertanggung jawablah. Bertanggung jawab sama diri sendiri lah dulu. Kalo udah jago manage diri sendiri. Hal lain akan mengikuti kok..

    Nikah buat kami artinya hidup dengan sahabat sampe nanti siapa duluan yg mati. Ga perlu dibawa ribet. Santai aja. Toh yg jalanin kami-yang-tak-pernah-luput-dari-kesalahan. Jadi belajar terus. Salah2 ya wajar.

    Karena KOMPROMI diawal udah kek gini, jadi sepakat juga; Bakso ga akan jadi 'anak' kita lg kalo dia udah 18 taun. Jadi kelak Bakso mau punya agama ato ga, mau nikah apa ga, jadi lesbi sekalipun ya bebaaaasss..

    *panjang bet ternyata*

    ReplyDelete
  4. *menjura pada Kak Titut*
    Ngemengemeng, tato udah nambah lagi? Apa kabarnya program bikin adek buat Bakso? ((=

    ReplyDelete
  5. Anonymous10:53 AM

    nyengir ajahhhh......deh

    ReplyDelete
  6. Kenape, Nyuuu? Diblogkan itu pengalaman menikah dan hamilnya nggak papa lho. Serius.

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women