Fairness My Ass!

Gambar dari sampul band Bleeding to the Truth


“When angry, count four. When very angry, swear.”
Mark Twain


Eh, eh. Saya mau ngomyang.

Ibu saya punya tetangga yang suka sekali belanja dan selalu cerita beli apa aja. Kalau masuk bagian dapurnya, kamu akan merasa berada di pasar swalayan super besar yang namanya suka ada hyper-hypernya itu. Tapi suatu hari tetangga yang suaminya suka dicatut jadi supir si tetangga hyper itu wadul ke ibu saya. Katanya kalau ngasih kerjaan suka nggak kira-kira. Jam 12 malam udah gedor-gedor pintu minta antar ke rumah sakit sampai jam 3 cuma dikasih dua puluh ribu. Oh, tetangga yang supir ini jobless sih. Dan istrinya cuma dagang es plastik di SD negeri.

Terus tetangga saya yang lain suka sekali buang-buang makanan. Padahal tiga rumah dari rumahnya yang besar itu ada keluarga tukang sayur yang suaminya juga cuma kerja serabutan. Anak mereka tiga, masih kecil-kecil dan cungkring-cungkring kurang makan.

Nah, kalau siang, rumah saya sering jadi tempat istirahat budhe-budhe tukang ikan. Setelah lelah sepagian keliling perumnas, dia akan berhenti di depan halaman rumah lalu masuk dan tiduran di teras. Kadang buka bekal makanan, kadang langsung semaput, kadang langsung ke dapur lewat pintu samping dan ngobrol sama Ibu. Usianya mungkin sudah enampuluhan. Suatu sore berhujanangin dia menyambangi kami. Katanya sudah dua hari ini dia nggak jualan. Modalnya habis. Sedari pagi dia keliling ke rumah-rumah debiturnya, menagih hutang ikan yang dijanjikan para pelanggan seperti yang dijanjikan. Tanpa hasil. Sementara rumahnya dua jam perjalanan dan dia nggak punya ongkos pulang. Hiks… )=

Terus saya punya teman super duper baik sekali yang mengidap leukemia. Dia cantik, sedikit jutek, tapi kalau kamu sudah kenal, saya berani bilang kalau kamu akan merasa ketemu malaikat tanpa sayap. Dia perhatian sekali sama teman-temannya.

Terus dulu tetangga kos saya sering sekali mengeluh paha dan lengannya besar dan hidungnya terlalu nongkrong. Padahal matanya besar dan bagus, bibirnya cemipok, pipinya selalu bersemu merah tanpa perona. Dia wadul seperti itu ke teman saya yang lain yang gendut dan jerawatan.

Terus suatu hari teman saya yang lain cerita kalau dia gastritis dan uangnya tinggal tujuh belas ribu dan gajiannya masih dua minggu lagi. Dia literally sebatangkara. Orangtua adopsi dan adiknya sudah nggak ada semua. Dia cerita itu di jendela google talk sambil cengar-cengir. Udah biasa, katanya. Saya yang saat itu lagi enak-enak makan malam jadi nggak bisa nelan. Padahal menunya dahsyat banget, ayam goreng laos dan sambal Bu Anggi yang terkenal itu.

Ini ceritanya nggak nyambung ya sepertinya. Tapi ada kok benang merahnya: semacam ketidakadilan hidup yang kita nggak bisa ngapa-ngapain. Ini sering bikin saya marah sekali. Terus saya bisanya cuma misuh.

Untuk cerita pertama sih sudah ada penyelesaiannya. Si tetangga itu pindah. Sebelumnya dia kena kasus dengan pihak RW. Sebagai bendahara koperasi ternyata dia nggak amanah.

Cerita kedua juga akhirnya usaha suaminya seret. Lalu si suami stroke. Nggak, saya nggak mau bersyukur terhadap penderitaan orang lain. Tapi setidaknya the bright side-nya adalah mereka jadi berhitung sekali masalah masak. Jadi, nggak ada lagi episode buang-buang makanan. Dan tukang sayur itu masih cungkring-cungkring anaknya.

Budhe tukang ikan? Well, keluarga kami berkecukupan. Tapi cuma cukup untuk kami. Titik. Maka, yang bisa ibu saya lakukan saat itu hanya memberinya ongkos pulang dan membekali beliau dengan makanan lebih hasil ngatering.

Mbak cantik pengeluh juga akhirnya misah sama saya. Dia akhirnya punya pacar yang suka menginap sementara di kos kami tamu lelaki hanya boleh sampai beranda. Lalu teman saya yang gastritis sepertinya sedang menjajal sampai sejauh mana tubuhnya bisa bertahan terhadap kondisi tanpa makanan beberapa hari. Semoga kami masih sempat bertemu sebelum organ-organ dalamnya menyerah kalah.

Nah, yang mbak-mbak leukemia ini yang sebenarnya bikin saya pengen teriak. Saya merasa semesta memperlakukannya jahat sekali. Untuk anak sebaik dia nggak semestinya punya penyakit seberat itu. Dia, yang semua tindak dan prilakunya sesuai dengan Pancasila, Dasa Dharma dan Tri Satya, yang selalu dapat nilai A dalam Kewarganegaraan, yang nggak pernah menaikkan suara, nggak pernah nagih juga kalau saya ngutang, kok ya lega-lila menerima semua tanpa sedikitpun mengeluh pada pemilik hidup yang masih diyakininya sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Ya saya picik sih. Saya mending berpaling ke arah lain dan tutup mata pada hal-hal yang memang nggak bisa saya koreksi. Lalu saya bisa apa? Ya ngomyang doang sih kayak gini.

Udah ah. Lebih baik saya mandi. NOT!



Comments

  1. temnmu itu, ah ilmu ikhlas memang tak pernah bisa ditakar dengan logika manusia :)

    ReplyDelete
  2. Sebenernya bisa aja sih. Tapi gw yg ga terima ((= it's just unfair buat anak sebaik dan semanis dan semenyenangkan dia untuk sakit sehebat itu. Kalo bisa milih mah mending koruptor atau Prabowo yg kek gitu.

    ReplyDelete
  3. yaahh,, itu mah juga banyak kali.... berhubung kamu dan aku ini cuma manusia yaa cukup aja berdoa buat temenmu itu dan bantu semampumu aja kalo dia lagi kesusahan,,, gitu, selesai deh... "

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women