Tentang Indonesia
Mencintai Indonesia adalah dengan bekerja dan menjadi yang terbaik.
- Biografi Emil Salim
Saya punya seorang "keluarga sambung" yang saya hormati benar. Mereka--Pakdhe, Budhe, Mas dan Adek--ramah pada siapa saja. Wajah-wajah mereka seperti selalu tersenyum. Dalam beberapa kesempatan saya menginap, rumah mereka selalu dipenuhi tawa berselimut kasih. Tanpa asap (dan saya sadar diri untuk selalu merokok di luar). Di rumah itu "harta" mereka adalah obrolan hangat, pelukan sayang, buku selemari, koneksi internet yang di-LAN ke dua laptop dan saluran edutainment semacam National Geographic atau Animal Planet. Hiburan saya adalah keisengan dan pertanyaan Adek yang ajaib serta selera musik gubrak-gubrak si Mas yang pendiam dan seperti selalu tersipu malu. Mereka juga tidak memandang saya aneh ketika saya sendirian menikmati lembaran komik Fisika ketimbang nonton acara bongkar restoran. Dan selalu menyuruh saya makan (dan tak pernah saya tolak. Haha!).
Suatu malam saya menukar film Sicko dengan Russel Peters-nya Pakdhe. Selesai kami menonton pada layar laptop masing-masing, saya bertanya pengalamannya di Inggris--atau tempat dia dulu sempat sekolah sambil nendang-nendang kaleng--dan Jepang.
"Ya betul itu. Di Inggris dan Jepang memang semua serba teratur. Pemerintahannya juga teratur. Tapi aku nggak begitu suka tinggal di sana. Selain jauh dari keluarga, semua yang serba teratur itu membosankan. Bayangkan. Hidup seperti sudah ada jadwalnya hingga ke hitungan detik. Untuk sebulan-dua memang menarik dijalani, karena jauh berbeda dari apa yang kita alami di Indonesia apalagi Jakarta. Tapi tiap hari seperti itu... tidak ada kejutan. Apa nikmatnya hidup tanpa kejutan?"
Karena itu dia kembali. Bekerja untuk Indonesia, untuk negerinya, karena ini tempat dia dilahirkan.
Sempat juga Pakdhe bercerita bagaimana kisahnya dulu semasa masih mahasiswa, meneliti jauh ke dalam hutan Sumatra yang saat itu bahkan tidak diketahui manusia. Ia berkisah tentang flora dan fauna yang mungkin sekarang sudah tiada, yang mungkin tak akan dilihat oleh anak-cucu Mas dan Adek beberapa puluh tahun mendatang.
Entah kenapa rentetan hantu di sudut pikir itu kembali membuncah ke dalam benak, suatu malam. Saat itu seorang belahan jiwa bercerita tentang partai lokalnya yang "kiri", berbendera mirip RRC dan sering dijadikan bulan-bulanan oleh ayahnya yang anggota partai berlambang mirip gambar di karung tepung terigu. Baginya, salah satu perubahan yang bisa diusahakan adalah dengan ikut tercebur ke lumpur busuk politik. Tak usah banyak cerita, tak usah banyak teriak. Mengusahakan perubahan tak cukup hanya berharap atau berdoa, tapi bertindak. Dan jalan yang dia ambil adalah satu-satunya cara.
"Aku tak ingin cuma jadi aktivis jempol, memaki dan keminter di ranah jejaring media sosial semacam Twitter maupun Facebook. Aku tak bisa ikut kumpulan yang nyaman mencela dan menghujat carut-marut yang dialami Indonesia dari layar mungil Blackberry maupun notebook sambil menyesap kopi di kafe Starfuck dan menghirup kebebasan yang teradopsi dari American Dream. Kimak lah itu," sengitnya dalam berlembar-lembar SMS dinihari--cara kami melepas rindu.
Orang bijak bilang bahwa perubahan harus berawal dari diri sendiri, karena itu tak patut kita menunjuk kesalahan orang lain. Namun jika proses perubahan bisa bersinergis antara diri sendiri dan sekitar, mengapa tidak kita lakukan? Tak perlu lah membalik ucapan orang dengan kata-kata semacam "elu minta orang begini-begitu-begindang, diri lu sendiri udah bener belom?!" Toh kenyataannya yang--katanya--mewakili rakyat Indonesia adalah putra-putra terbaik bangsa (dalam hal korupsi?) Saya terharu melihat bagaimana diantara segelintir pemimpin bijak, Sultan Jogja didukung rakyat di belakangnya, menyokong pemerintahan yang dituduh "monarki" hingga apapun yang terjadi pada tanahnya, rakyat memprotes dengan cara mereka: santun berbudaya tanpa kekerasan. Sementara "raja kecil" dengan rakyat senoktah yang terpilih dengan berpura-pura demokratis merajuk akibat kedaulatan monarkinya hampir dinafikan.
Lalu ada "raja kecil" lainnya yang menjadikan gelanggang olah raga sebagai tanah kekuasaan. Layaknya "The Smiling General" yang sempat mendiktatori tanah Indonesia selama tiga puluh dua tahun, ia bungkam suara rakyat yang diteriakkan dalam spanduk.
Tanah ini sebagai negara memang busuk sebusuk-busuknya busuk. Tak perlu banyak baca tulisan, tak perlu lebar membuka mata. Kita rasakan sendiri tiap hari jalanan macet, transportasi umum berpelayanan jelek, listrik yang byar-pet, banjir akibat drainase buruk, rancangan undang-undang dan peraturan yang saling menabrak dan menegasi tapi tak pernah direvisi. Namun sekali-sekali lihatlah dari kejauhan, seperti apa orang-orangnya, karya-karyanya. Itu tak perlu diteriakkan, tak perlu banyak dibicarakan.
Saya setuju dengan Pak Emil. Untuk mencintai bangsa ini, tidak bisa tidak, kita hanya harus bekerja sebagai yang terbaik demi perubahan yang lebih baik. Sebagai langkah awal, kita bisa mulai dengan tidak berburuk sangka, tidak mengkotak-kotakkan manusia berdasar suku dan agama atau apapun pemikirannya, dengan melihat segala sesuatu secara proporsional dan objektif, dan melepaskan ego. Bukan hal yang mudah, memang. Tapi bisa dimulai dengan saling mendengar. Bukan hanya mengeluh, tidak hanya teriak. Karena teriakan yang terlalu kencang ke telinga orang lain akan membuat tuli hati sendiri.
Sebegitu banyak rakyat miskin di perut, tapi saya percaya kami tidak miskin di pikiran. Kita bukan orang-orang bodoh. Kita tidak pantas dibodoh-bodohi oleh apapun dan siapapun. Jadi, mari berpikir dan bertindak alih-alih mengeluh dan teriak.
Happy belated birthday, saya. Sekian puluh tahun berlalu, apa saja yang sudah saya kerjakan demi cinta ini?
gambar diambil dari foto salah satu teman saya di sini.
Happy belated birthday, dudette.... :D
ReplyDeleteThanks, bro Id, dude! gokil, jawabnya telat berhari-hari ((=
ReplyDeletejadi udah nggak kepengen mati muda lagi kan pit ?? klo kburu mati ntar ga sempet pacaran lagi, lho... *dikeplak*
ReplyDelete