Pada Suatu Masa
Lelaki menyusut butiran bening di sudut-sudut mata perempuannya yang duduk bersimpuh. Senyumnya mengembang hangat menguatkan, namun masih menyorotkan sedih tak tertahankan. Sebelah tangannya lembut merangkul bahu yang terguncang pelan akibat isak tertahan.
"Sudahlah. Tak perlu ditangisi lagi. Tak usah kita berlari. Mungkin harus begini cara semesta meminta kita untuk berhenti. Tak pernah ada kata selesai karena sejarah akan selalu berulang. Dan mungkin apa yang kita lakukan memang salah. Kita harus ikhlas, Dinda..."
Perempuan mengangguk lemah, terbatuk, lalu memeluk lelaki yang menjadi belahan jiwa dan sandaran hidupnya selama ini, yang mau melakukan apapun demi kepentingannya, demi penyakit yang menggerogoti tubuhnya dari dalam, bahkan menafikan hak orang lain hanya untuk dirinya.
---
Fajar bergulir lambat. Matahari mengintip malu-malu layaknya perawan memindai kekasih bertandang dari balik tirai. Dingin embun pagi tak mampu meredakan asap tipis membumbung dari rumah yang terbakar semalam. Diantara reruntuhan, terserak kain berwarna terang dengan tulisan yang masih jelas terbaca: GANTUNG KORUPTOR! LURAH PENGHISAP UANG RAKYAT! HANCURKAN ANTEK-ANTEK KORUPTOR!
Seiring semburat sinar keemasan menembus centang-perenang puing bangunan, terdapat sepasang bangkai manusia, menghitam, berangkulan rapat. Rakyat yang marah tak pernah peduli pada nasib orang-orang yang berani mengambil apa yang bukan haknya, apapun alasannya.
Seperti hampir selalu, marah manusia, mesti memakan tumbal, manusia sekali pun. Padahal, apa pun salahnya, manusia, masih punya kesempatan untuk berbuat baik, meski tidak pernah mendapatkan maaf.
ReplyDeleteah, manusia...
ReplyDeletehey, Iqbal! gak kangen Kakak, Bal? =P