Tentang Jakarta
Kata orang desa, Jakarta itu kota harapan dan impian. Semua bisa diraih asal bisa menaklukkan Necropolis, Ibukota, dimana semua raga berkeliaran tanpa jiwa. Tidak moksa, tidak sirna.
Lihat itu, bangunan serupa falus menjulang setinggi 128.7 meter, lengkap dengan skrotum penyangga di bawahnya. Perlambang kemakmuran kah seperti representasi lingga-yoni pada pura Hindu? Atau gagah-gagahan orangutan pejantan memamerkan genital demi betina terbaik dan pengakuan kelompok?
Saya tidak mengerti bagaimana wilayah seluas 661 kilometer persegi mampu menampung delapan juta empat ratus sembilan puluh ribu manusia dengan jarak begitu jauh. Dalam satu kelurahan ada penduduknya yang mampu membeli lima mobil mewah dalam sehari sementara tetangganya bahkan tak punya atap, apalagi nasi.
Dan bantu saya untuk memahami sepasang kakak-beradik mungil dan lusuh memanggul karung besar berisi gelas plastik bekas lepas tengah malam, menyeruak diantara kakak-kakak remaja wangi-trendi duduk-duduk menunggu datangnya roti. Atau cempreng suara banci berdandan ala Krisdayanti menggotong audio sistem murahan, meliuk berharap birahi datang namun dapat tatapan sebal dari tangan yang mengangsur seribuan kumal.
Saya tak habis pikir betapa jembar jalan-jalan Jakarta dan seberapa banyak kendaraan berjejal diam bergeming. Gedung-gedung dibangun tinggi mencakar langit tapi lupa tanah yang dipijak. Perempatan adalah danau dadakan setiap hujan besar datang. Dan kendaraan lebih banyak berjejal diam bergeming--namun suara tak berhenti berebut kuping.
Orang-orang (yang katanya) terbaik, (yang katanya) mewakili kepentingan seluruh anak negeri, terkantuk-kantuk di atas kursi empuk, menggugat gaji naik untuk kinerja yang turun, lalu curhat dan ngambek di media. Jumawa menjambret hak dan waktu sesama pengguna jalan agar lekas sampai tujuan. Ada hukum di sana? Hah! Kamu bercanda, ya?!
Duhai, Jakarta yang angkuh dengan penghuni menyimpan amarah membadai mengguruh...
Mengapa tak sedikit pun kau malu?
Gambar nyomot dari sini, data dari The Holy Trinity: Google, Wiki, and Torrent. Ga mungkin lah gwa apal!!!
Lihat itu, bangunan serupa falus menjulang setinggi 128.7 meter, lengkap dengan skrotum penyangga di bawahnya. Perlambang kemakmuran kah seperti representasi lingga-yoni pada pura Hindu? Atau gagah-gagahan orangutan pejantan memamerkan genital demi betina terbaik dan pengakuan kelompok?
Saya tidak mengerti bagaimana wilayah seluas 661 kilometer persegi mampu menampung delapan juta empat ratus sembilan puluh ribu manusia dengan jarak begitu jauh. Dalam satu kelurahan ada penduduknya yang mampu membeli lima mobil mewah dalam sehari sementara tetangganya bahkan tak punya atap, apalagi nasi.
Dan bantu saya untuk memahami sepasang kakak-beradik mungil dan lusuh memanggul karung besar berisi gelas plastik bekas lepas tengah malam, menyeruak diantara kakak-kakak remaja wangi-trendi duduk-duduk menunggu datangnya roti. Atau cempreng suara banci berdandan ala Krisdayanti menggotong audio sistem murahan, meliuk berharap birahi datang namun dapat tatapan sebal dari tangan yang mengangsur seribuan kumal.
Saya tak habis pikir betapa jembar jalan-jalan Jakarta dan seberapa banyak kendaraan berjejal diam bergeming. Gedung-gedung dibangun tinggi mencakar langit tapi lupa tanah yang dipijak. Perempatan adalah danau dadakan setiap hujan besar datang. Dan kendaraan lebih banyak berjejal diam bergeming--namun suara tak berhenti berebut kuping.
Orang-orang (yang katanya) terbaik, (yang katanya) mewakili kepentingan seluruh anak negeri, terkantuk-kantuk di atas kursi empuk, menggugat gaji naik untuk kinerja yang turun, lalu curhat dan ngambek di media. Jumawa menjambret hak dan waktu sesama pengguna jalan agar lekas sampai tujuan. Ada hukum di sana? Hah! Kamu bercanda, ya?!
Duhai, Jakarta yang angkuh dengan penghuni menyimpan amarah membadai mengguruh...
Mengapa tak sedikit pun kau malu?
Gambar nyomot dari sini, data dari The Holy Trinity: Google, Wiki, and Torrent. Ga mungkin lah gwa apal!!!
dan kau tahan saja bernafas di rimbanya?,
ReplyDelete*ralat dikit, scrotum kan maksudnya itu di atas?
lha? saya mayat!
ReplyDeleteskrotum, iya. emang gwa nulisnya apa? =P
Lha ko kadingaren keren tulisanmu, pit. ?
ReplyDeleteah, lu aja yg baru nyadar kalo gwa keren
ReplyDelete*keplak*
Dan bentar lagi gw mesti pindah kesono setelah 3 tahun leyeh2 di pulo ini.
ReplyDelete*siap2 naikin level sabar tahan macet *
ciyeh......eru mo pindah jakarta...jadi ga jauh2an lagih....
ReplyDeleteeh ini postingan apa sih...?
Eru
ReplyDeletebe waiting for the day to come, beib. and to laugh hard before your very eyes. huahahahaha!
betewe, pindah ke jakarta ini ada hubungannya sama mbak2 yg sedang lu "in relationship"in ya?
*mukagosipngorekinfodarinarsum*
Nyunyu
NAH! EMANG ITU MAKSUD GWA, NYU!
dan karena saya ndak nemu jawaban dari pertanyaan2 itu..saya milih minggat dan minggir dari Jakarta. Memang sih di tempat baru ini bau2 munafik masih tercium tajam, tapi seendaknya, kota ini masih jauh dari kematian, yaaaaaaa ndak necropolis necropolis amat lah
ReplyDeletelagi2 masalah pilihan kan, nduk? (=
ReplyDeleteMasalah pilihan ya...
ReplyDeleteHmm....
Akhirnya yg berlaku emang 'gue-gue, elu-elu' utk kita yg bertahan di kota yg sakit parah ini *gue? Elu kali!*