About Affair

Hari ini saya mendapat dua berita gembira dari dua orang lelaki baik sekaligus sahabat baik: Pernikahan. Tiga tahun sejak terakhir kami bertemu, My Phoenix Brotha #1 menyusul My Phoenix Brotha #2—yang sekarang sudah dikaruniai seorang bayi lucu—ke pelaminan Juli nanti. Pacaran fucked-up dengan mbak pramugari (yang dengan bangga dia ceritakan sebagai ‘Mbakmu kui lho Nduk…’), berbuah rencana membentang layar untuk biduk rumahtangga mereka nanti setelah bertahun-tahun cinta dirajut. I couldn’t ask for more, Bro. Sooo damned happy for ya! (=

Yang kedua adalah Singa Berkeringat (karena mengaku seorang Leon padahal aslinya Aquarian) yang akan mengucap janji suci bulan Mei nanti. Saya baru mengenalnya sebulan ini setelah ‘permainan’ akhirnya berujung. Dan dia mengundang saya sebagai penghormatan terhadap seorang teman yang senang hati ikut ‘bermain’. Isn’t he sweet?

Saya pribadi nggak ngurus masalah pernikahan karena hidup saya adalah hari ini. Saya nggak mau punya anak karena mereka akan selalu lucu dan menyenangkan selama saya nggak mbayarin sekolah dan nggak perlu repot ngurusin ketika sakit. And I prefer to keep them that way. Saya enggan bersuami karena lelaki bagi saya hanyalah dildo berkuping yang bisa kentut dengan biaya maintenance tinggi, terutama bab menjaga hati dan emosi. Saya masih ingin keliling Indonesia tanpa harus terbebani dengan orang posesif yang ketakutan saya ketemu cowok lain. Dan dengan prinsip hidup saya yang don’t hope, don’t expect, and have fun, rasanya menikah adalah a big no-no karena hanya akan membuat saya berharap pada masa depan.

Namun saya teramat sangat menghargai komitmen. Mereka yang saya stempel jidatnya sebagai belahan jiwa punya komitmen sepihak dari saya: bahwa saya akan selalu ada ketika mereka perlu. Permintaan paling gila pun saya turuti, ketika salah satunya meminta saya untuk berperan sebagai Tuhan melalui teks SMS panjang saat dia tersandung masalah. Karena ini adalah sepihak, mereka tidak pernah tau hingga mereka membaca entri ini.

Komitmen yang saya buat memang tidak pernah memberatkan. Hanya perlu percaya dan berpegang pada hati. Selama empat taun lebih saya pernah seperti itu, dan akhirnya harus saya sudahi ketika masa depan sudah mulai terpikir.

Namun ketika sepasang kekasih akhirnya mengucap sumpah setia atas nama Tuhan dan diresmikan oleh hukum, itu bagi saya adalah momen terindah sekaligus terberat. Pada mereka yang menikah, biasanya saya ucapkan bahwa “Wedding is the time when you can smell the flowers of your own funeral”. Sebab pernikahan membawa seseorang ke tahap ‘serius’, ke jenjang pendewasaan dimana semua selalu menuntut pertimbangan dua belah pihak dan kompromi yang tidak sedikit; dimana bermain tidak lagi bisa memilih pemain; ketika logika matematika terbalik-balik; saat hati hanya ditetapkan untuk satu target saja; dan kanak-kanak dalam diri masing-masing harus di‘mati’kan.

Dan saya tersentak mengetahui seorang suami dari perempuan berjilbab yang ramah dan baik, dengan dua putra-putri pintar dan lucu, bercerita dengan ringan tentang perselingkuhannya selama empat tahun. Dengan alasan istri tidak bisa mengimbangi libido suami dan tidak ingin dipoligami, dia mengontrakkan sebuah rumah pada perempuan yang menurutnya memiliki kadar sayang berlebih ketimbang istrinya. Dia bahkan tidak terpikir bagaimana jika suatu hari nanti anak perempuannya ada di posisi yang sama dengan sang istri atau si selingkuhan. Satu hal yang ada di benak saya: Bahwa egonya amat sangat besar demi menutupi daging tumbuh yang imut seperti baut jam tangan di sela selangkangannya.

Beberapa orang juga pernah bercerita tentang affair yang mereka punya dengan perempuan sekantor. Witing tresno jalaran seko kulino? Bukan. Tapi godaan 'mencicip' kehangatan dan gelinjang tubuh perempuan lain membuat mereka berani menodai sumpah setia. Termasuk menaklukkan pikiran seorang perempuan jalang yang mereka pikir pintar dan membuat mereka berkehendak untuk 'bersenyawa' dengannya. Padahal belum tentu mereka mampu.

Saya pernah menginginkan lelaki milik perempuan lain dan kami pernah hampir menabrak batas demarkasi. Hingga saya kenal dekat dengan istrinya, saya hanya berharap agar bumi merekah dan menelan saya bulat-bulat. Saya hanya sampah yang bahkan tidak pantas didaurulang. Saya merasa jadi renik karena kekuatan dan ketabahan perempuan itu amat sangat membuatnya agung mirip Santa.

Saya sempat berpikir ribuan kali tentang justifikasi selingkuh yang ada di kepala perempuan dan laki-laki. Mereka punya alasan sendiri dan saya bukan hakim yang berhak memutuskan salah-benar jalan yang mereka pilih. Yet, being on emotional roller-coaster ride is surely fun!

Comments

  1. Anonymous2:00 AM

    kawin tuh masalah menjawap nyali bu
    B-) (sok bernyali...)

    Hingga saya kenal dekat dengan istrinya, saya hanya berharap agar bumi merekah dan menelan saya bulat-bulat.
    saat kamu masih suka lawan jenis, dunia nggak perlu repot menelanmu bulat2 (titip propaganda)

    ReplyDelete
  2. maksudnya propaganda, mbut?
    *pilin2 pecut*

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?