Movie Time!
Di sela kesibukan saya yang sedang ikut menyepi di kamar, berteman mesin tik kelurahan nan butut bernama Dino, saya nikmati alunan nada klasik dari film Jerman berjudul Vitus: seorang anak luar biasa jenius yang jago piano, licik on good purpose, encer menjungkirbalikkan bursa saham, jatuh cinta pada babysitternya yang jauh lebih tua, namun berusaha keras jadi bocah normal.
Ibunya, Hellen, mencium bakat nggak umum yang dipunyai putranya ketika dia berulang tahun ke lima. Dalam hitungan detik, dimainkannya lagu 'Happy Birthday'--tanpa cela--pada piano mainan hadiah dari seseorang. Usia enam, setelah setengah tahun belajar pada guru piano biasa, Vitus ngéngér pada seorang profesor konservatorium yang berkata bahwa semua pianis kampiun yang terdeteksi di usia dini disebut wunderkind (or wonderkid in English). Usia dua belas Vitus mempermalukan guru-guru SMA di sekolahnya karena intelejensinya jauh di atas mereka. Gurunya menawarkan agar Vitus ke sekolah anak-anak berbakat alih-alih bergabung di SMA. Ayahnya yang insinyur menyarankan langsung ikut UMPTN dan pada usia tiga belas nanti dia sudah jadi mahasiswa fakultas teknik. Kedekatannya dengan sang kakek, Dr. Wolf, membuat kegalauannya tercurah karena Vitus lelah jadi luarbiasa. Visualisasi yang sangat indah ketika bapak sepuh yang doyan bikin macem-macem dari kayu itu berjalan beriringan bersama cucu semata wayang berlatar belakang pepohonan agak meranggas. Di bawah payung hitam dan langit kelabu, disela gerimis halus, beliau melempar topi kesayangannya jauh ke seberang danau. Vitus keheranan. Setelah itu, menurut subtitle berbahasa Inggris yang saya baca, si kakek berkata, "If you can't decide, you have to part with things you like".
Jadilah. Vitus menerjemahkannya menjadi playing dumb. Dibuatnya sandiwara terbang di satu malam berhujan menggunakan sayap kelelawar yang dulu dibuat kakeknya ketika dia masih umur lima. Sang ibu, yang menemukan Vitus telentang di bawah jendela kamarnya di lantai sekian, jadi teramat sedih dan gagal karena wunderkind-nya jadi normal. Padahal Vitus menipu semua orang, bahkan kakeknya sendiri, hanya agar dia dianggap normal. Harapan jadi kenyataan. Vitus kembali bersekolah di SD dimana dia berkumpul bersama anak seusianya. Bersepeda, berkalung tutup bir, dan belajar dimana letak Sungai Nil. Normal.
Sifat pendiam namun sangat ngeh pada sekitar membuatnya paham bahwa Leo, ayahnya, akan dipecat akibat nepotisme yang kental. Alih-alih mewariskan tahta kepemimpinan pada ayah Vitus, orang yang pernah mengangkat perusahaan itu dari kebangkrutan, Pak Direktur melengserkannya pada putra mahkota. Disini otak licik Vitus bekerja. Meminjam nama, tabungan dan semua harta kakeknya, Vitus bermain di bursa online. Dan... berhasil, dengan keuntungan 1000%. Tidak hanya untuk membantu orangtuanya, tapi uang itu juga membuat hasrat terbang sang kakek terlaksana dengan membeli simulator, lalu memiliki PC-6 sendiri. Vitus pun menyewa ruang kantor untuk Dr. Wolf Holding yang dia bayar penuh setahun sebagai sanctuary tempat sebuah piano grandmaster, satu set audio system, gantungan pakaian dan CD musik klasik berumah--beralas karpet empuk seperlunya. Disini sisi wunderkind Vitus berlabuh, menuangkan segala bakatnya dalam memainkan kepingan ebony and ivory sembari bekerja guna membeli perusahaan ayahnya sendiri. You know what? Vitus bahkan menggunakan mesin tik kelurahan yang sama dengan saya!
Akhirnya Vitus memang jadi bintang di sebuah konser diiringi violist, conductor, dan pemain instrumen lainnya yang rata-rata sudah beruban. Orangtuanya menangis haru. Mantan babysitter yang pernah menolak cincin berlian darinya memberi buket bunga pada Vitus sang Maestro. Akhir yang indah, teriring standing ovation para penonton konser dan para pemain instrumen untuk Vitus seorang, lalu kamera zoomed-out dengan tulisan 'Ende' di tengah layar monitor saya.
Sungguh, cerita indah dengan akhir yang indah dan sangat update ironinya hingga ke Indonesia--negara yang tidak tecantum dalam daftar pasar bursa yang dipegang Vitus (hanya ada Malaysia di korannya). Hellen sangat khawatir ketika putranya ikut bekerja bersama kakeknya menggergaji kayu, takut tangannya kenapa-kenapa dan tidak bisa main piano lagi. Hellen juga kecewa demi mengetahui tingkat intelejensi putranya jadi senormal anak biasa. Sebangun, sebentuk, dan paralel dengan para ibu-ibu di Jakarta yang membuat waktu bermain anak-anak mereka sangat berkurang dengan les piano, les balet, dan les-les lainnya. Namun Vitus masih bersyukur memiliki kecerdasan ngakali orangtuanya.
Dari dulu, ketika teman sebaya saya berjuang mati-matian ikut kelas sepulang sekolah, saya hanya membaca komik atau mengasuh adik, bersepeda di luar atau main petak umpet dengan anak-anak yang tidak ikut les. Akhir pekan saya selalu plesir bareng Babab atau Ibu, meskipun hanya ke Stasiun Gambir melihat kereta datang dan pergi atau berlarian di lapangan rumput Monas. Usia lima, saya dilepas sendiri ketika ibu berbelanja atau kami berkunjung ke PRJ. Pesan beliau hanya satu: jika saya sudah bosan dan ingin kembali, hubungi bagian informasi (yang ada mbak-mbak atau mas-mas bermikrofon) dan minta mereka mengumumkan tentang bocah yang mencari Ibu Yunita Anggraini dari Depok.
Melihat Vitus dan bocah-bocah kecil sepuluh tahun belakangan ini, saya merasa beruntung jadi kere dan tidak jenius.
Ibunya, Hellen, mencium bakat nggak umum yang dipunyai putranya ketika dia berulang tahun ke lima. Dalam hitungan detik, dimainkannya lagu 'Happy Birthday'--tanpa cela--pada piano mainan hadiah dari seseorang. Usia enam, setelah setengah tahun belajar pada guru piano biasa, Vitus ngéngér pada seorang profesor konservatorium yang berkata bahwa semua pianis kampiun yang terdeteksi di usia dini disebut wunderkind (or wonderkid in English). Usia dua belas Vitus mempermalukan guru-guru SMA di sekolahnya karena intelejensinya jauh di atas mereka. Gurunya menawarkan agar Vitus ke sekolah anak-anak berbakat alih-alih bergabung di SMA. Ayahnya yang insinyur menyarankan langsung ikut UMPTN dan pada usia tiga belas nanti dia sudah jadi mahasiswa fakultas teknik. Kedekatannya dengan sang kakek, Dr. Wolf, membuat kegalauannya tercurah karena Vitus lelah jadi luarbiasa. Visualisasi yang sangat indah ketika bapak sepuh yang doyan bikin macem-macem dari kayu itu berjalan beriringan bersama cucu semata wayang berlatar belakang pepohonan agak meranggas. Di bawah payung hitam dan langit kelabu, disela gerimis halus, beliau melempar topi kesayangannya jauh ke seberang danau. Vitus keheranan. Setelah itu, menurut subtitle berbahasa Inggris yang saya baca, si kakek berkata, "If you can't decide, you have to part with things you like".
Jadilah. Vitus menerjemahkannya menjadi playing dumb. Dibuatnya sandiwara terbang di satu malam berhujan menggunakan sayap kelelawar yang dulu dibuat kakeknya ketika dia masih umur lima. Sang ibu, yang menemukan Vitus telentang di bawah jendela kamarnya di lantai sekian, jadi teramat sedih dan gagal karena wunderkind-nya jadi normal. Padahal Vitus menipu semua orang, bahkan kakeknya sendiri, hanya agar dia dianggap normal. Harapan jadi kenyataan. Vitus kembali bersekolah di SD dimana dia berkumpul bersama anak seusianya. Bersepeda, berkalung tutup bir, dan belajar dimana letak Sungai Nil. Normal.
Sifat pendiam namun sangat ngeh pada sekitar membuatnya paham bahwa Leo, ayahnya, akan dipecat akibat nepotisme yang kental. Alih-alih mewariskan tahta kepemimpinan pada ayah Vitus, orang yang pernah mengangkat perusahaan itu dari kebangkrutan, Pak Direktur melengserkannya pada putra mahkota. Disini otak licik Vitus bekerja. Meminjam nama, tabungan dan semua harta kakeknya, Vitus bermain di bursa online. Dan... berhasil, dengan keuntungan 1000%. Tidak hanya untuk membantu orangtuanya, tapi uang itu juga membuat hasrat terbang sang kakek terlaksana dengan membeli simulator, lalu memiliki PC-6 sendiri. Vitus pun menyewa ruang kantor untuk Dr. Wolf Holding yang dia bayar penuh setahun sebagai sanctuary tempat sebuah piano grandmaster, satu set audio system, gantungan pakaian dan CD musik klasik berumah--beralas karpet empuk seperlunya. Disini sisi wunderkind Vitus berlabuh, menuangkan segala bakatnya dalam memainkan kepingan ebony and ivory sembari bekerja guna membeli perusahaan ayahnya sendiri. You know what? Vitus bahkan menggunakan mesin tik kelurahan yang sama dengan saya!
Akhirnya Vitus memang jadi bintang di sebuah konser diiringi violist, conductor, dan pemain instrumen lainnya yang rata-rata sudah beruban. Orangtuanya menangis haru. Mantan babysitter yang pernah menolak cincin berlian darinya memberi buket bunga pada Vitus sang Maestro. Akhir yang indah, teriring standing ovation para penonton konser dan para pemain instrumen untuk Vitus seorang, lalu kamera zoomed-out dengan tulisan 'Ende' di tengah layar monitor saya.
Sungguh, cerita indah dengan akhir yang indah dan sangat update ironinya hingga ke Indonesia--negara yang tidak tecantum dalam daftar pasar bursa yang dipegang Vitus (hanya ada Malaysia di korannya). Hellen sangat khawatir ketika putranya ikut bekerja bersama kakeknya menggergaji kayu, takut tangannya kenapa-kenapa dan tidak bisa main piano lagi. Hellen juga kecewa demi mengetahui tingkat intelejensi putranya jadi senormal anak biasa. Sebangun, sebentuk, dan paralel dengan para ibu-ibu di Jakarta yang membuat waktu bermain anak-anak mereka sangat berkurang dengan les piano, les balet, dan les-les lainnya. Namun Vitus masih bersyukur memiliki kecerdasan ngakali orangtuanya.
Dari dulu, ketika teman sebaya saya berjuang mati-matian ikut kelas sepulang sekolah, saya hanya membaca komik atau mengasuh adik, bersepeda di luar atau main petak umpet dengan anak-anak yang tidak ikut les. Akhir pekan saya selalu plesir bareng Babab atau Ibu, meskipun hanya ke Stasiun Gambir melihat kereta datang dan pergi atau berlarian di lapangan rumput Monas. Usia lima, saya dilepas sendiri ketika ibu berbelanja atau kami berkunjung ke PRJ. Pesan beliau hanya satu: jika saya sudah bosan dan ingin kembali, hubungi bagian informasi (yang ada mbak-mbak atau mas-mas bermikrofon) dan minta mereka mengumumkan tentang bocah yang mencari Ibu Yunita Anggraini dari Depok.
Melihat Vitus dan bocah-bocah kecil sepuluh tahun belakangan ini, saya merasa beruntung jadi kere dan tidak jenius.
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?