Jilbab, Anyone?

Suatu siang, sambil makan, mandor saya yang lelaki metroseksual itu memberi pernyataan yang bikin alis saya bertaut:
"Hari gini banyak ya perempuan berjilbab yang ngerokok di public area. Bete deh gwa."

Dan saya, yang khatam sama bahasan perempuan dan jilbab sedari saya ngéngér di kawah Candradimuka berbentuk rumah kos di Sagan 844, menjelaskan bagaimana jilbab sekarang hanya menjadi mode karena perempuan terlihat lebih manis dengan hanya wajah yang tampak (lengkap dengan gundukan-gundukan yang membengkak di tempat-tempat yang tepat, tentu). Saya nggak habis pikir dengan pernyataannya. Ya, saya melakukan hal bodoh ketika dia membuat pernyataan itu: saya berasumsi. Bahwa lelaki muda profesional, yang mengoles masker wajah secara berkala; yang merasa dunianya berakhir ketika dia menemukan satu jerawat di hidung; yang perabot perawatan tubuhnya jauh lebih banyak daripada yang nangkring di meja saya; ternyata masih peduli dengan pakaian dan ekspektasi di belakangnya. Kayaknya emang saya yang goblok, mengharap seorang pekerja bidang humas untuk tidak berasumsi.

Masalah penutup kepala ini menghantam saya jauh sebelumnya, dua tahun pertama saya bertapa di Jogja. Dulu saya percaya bahwa perempuan-perempuan yang berani menutup auratnya sesuai ketentuan agama adalah mereka yang tiap langkah menguar aroma surga. Obrolan sore saya bersama om-om dandy, di sebuah beranda warnet tempat saya bekerja dulu, membuka kunci pada istilah 'jilbab erotis'. Dengan songong, si om-om itu--yang kuliah S2 di UGM-nya dibiayai oleh negara dan kerjanya hanya dugem sana-sini tiap malam--berkata bahwa jilbab tidak lagi profan. Sering dia dapati mbak-mbak yang 'bau surga' itu melekat ketat layaknya tas ransel di boncengan mas-mas yang bukan muhrimnya, dengan kaos kecil lucu memeluk tubuh sintal dan celana hipster melorot membebaskan beberapa senti celengan babi untuk dilihat orang dari belakang. Dan mbak-mbak seperti ini yang membuat saya iseng mengantongi beberapa kerikil untuk latihan menembak tiap saya dibonceng seseorang dengan sepeda motor. Ya, saya memang nakal. Dari lima orang yang celengannya saya lempar kerikil, 3 diantaranya masuk dengan sukses.

Menurut salah satu 'abang jadi-jadian' yang setahun lalu berhasil menikahi perempuan berjilbab yang saya dapuk sebagai mpok saya, jilbab itu awal mulanya dari revolusi tahun '84. Orang Indonesia yang latah kemudian meniru penutup kepala yang dikenakan mbak-mbak Iran yang mereka lihat di TVRI ketika mereka berontak pada tradisi Syi'ah. Dan jilbab memang bukan temuan orang sini karena Ibu Fatmawati, penjahit bendera merah-putih pertama itu, mengenakan kebaya--pakaian nasional yang ketat dan bermaksud bikin perempuan jadi seksi dan anggun dengan membuat mereka sesak nggak bisa napas--bersama kerudung, komplit dengan sanggul segede tampah. Bukan jilbab.

Saya jadi ingat sepupu teman kos saya yang saya kenal jauh sebelum dia jadi mahasiswi UGM jurusan Geografi. SMA-nya dihabiskan di sebuah sekolah favorit di Jakarta. Meskipun ingin terlihat trendi dengan nonton AADC dan ikut goyang di Festival Jazz Kampus, dia kaffah dengan jilbab lebarnya yang menutup hingga ke dada. Hingga suatu hari saya dapati dia di sebuah kafe, dengan contact lens warna coklat, kaos ketat hitam, dekker panjang hingga pergelangan tangan... dan Djarum Black Capuccino di tangan kanan. Caranya menyulut rokok amat sangat jago, nggak seperti saya yang bertahun-tahun jadi perokok tapi sering gagal bakar di kali pertama korek dinyalakan. Dan layaknya tim Inkuisisi yang merasa benar menghakimi tiap Katolik bid'ah, saya cabut rokok dari bibirnya dan saya tarik pulang dia. "Kamu malu-maluin. Kemarin dengan bangga kamu cerita bahwa kamu mabuk di tempat ajeb-ajeb. Sekarang kamu merokok di tempat umum kayak gini. You better take that stupid fuckin' jilbab off your head, my dear friend," ujar saya dingin. Dan dia mengkeret mengingat saya adalah salah satu 'sesepuh' di tempat kos dan ikut saya pulang sambil menunduk.

Kemudian saya kenal simbok ini, perempuan tigapuluhan mapan dengan dua orang putra dari satu suami funky. Ya, dia berjilbab dan merokok dimana-mana. Hidupnya ayem, karena sepertinya dia tidak pusing mikirin mau makan apa anak dan suaminya besok karena uang belanja yang tidak pernah cukup. Asal modem nancep di laptop dan dia bisa online, maka dunia berjalan baik-baik saja baginya--ditemani kopi pahit dan sebungkus rokok, tentu. Di rumah, di restoran, di kafe. Kumpul ataupun sendiri. Dan dia tidak peduli orang mau bilang apa demi melihatnya tertutup jilbab dan merokok. Dia tidak melakukannya untuk gaya, tapi murni kebutuhan.

Namun yang membuat saya 'agak' terganggu adalah ketika Pak Mandor Metroseksual saya itu berkata bahwa perempuan-perempuan muda berjilbab yang merokok di Atrium Senen tempo hari adalah pelacur, sebab daerah itu adalah tempat cowok-cowok Arab 'berpetualang'. So fuckin' what?! Di Mesir dan Jazirah Arab pun pelacur mengenakan burka, seprai yang membungkus seluruh tubuh mirip yang dikenakan bajingan-bajingan putih Klu Klux Klan yang demen bakar-bakar orang kulit hitam. Perhaps he needs to take another class of Economy 101 untuk tahu dimana demand dan supply berjalan beriringan.

Thus, bear in mind, Milord. Jilbab adalah mode, fashion, dimana less is more, sebagaimana prinsip kesederhanaan yang diagungkan para arsitek muda masa kini. To hell dengan 'memanjangkan kain hingga ke dada dan tidak menonjolkan bagian-bagian tubuh'. Mungkin sebagaimana Ulil Absar Abdalla, yang darahnya dihalalkan beberapa kelompok Islam garis keras, Qur'an bebas diinterpretasikan seenak udel mereka. "Yang penting ada usaha untuk ke'sana'," sanggah mbak-mbak itu, setelah nikmat menyedot asap nikotin sambil bergayut mesra di salah satu lengan brondong yang dia temui di mall. (Kalimat terakhir adalah imajinasi liar saya yang mirip novel kacangan Abdullah Harahap.)

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?