The War Between Monsters Named "Media"

Seorang teman datang Sabtu kemarin, membawa kekecewaan dari Jakarta yang berusaha dialihkan ke Jokja. "Gwa udah gak betah. Kerjaan gak sesuai dengan hati," katanya. Selain itu, masalah keluarga dan sosial disana membuatnya lelah untuk harus sempurna. "Lo tau kan, gwa gimana? Ortu ama pacar selalu nuntut gwa jadi perfect. Gwa capek." Yeah, rite. Elu yang bisa ngabisin duit ratusan ribu untuk selembar pakaian hanya karena gak tahan dengan ucapan gwa: lo feminin pakek baju 'cubit-cubitan' kayak gitu. Tapi itu dulu.

Jadi AE di salah satu perusahaan media (lumayan) besar di Jakarta ternyata bikin dia berubah. Melihat gimana busuknya bos yang bikin laporan ABS ke Big Boss dan anak buah yang merasa perusahaan adalah punya bapak moyangnya ternyata bisa jadi meresahkan. Dia lihat cara kompetitor bekerja--yang berjuluk 'CIA' karena mereka berani merekrut ratusan orang--dengan biaya operasional ratusan juta, mungkin--cuma untuk menjegal lawannya. Di level paling bawah: agen. Di tingkat paling rendah dan yang paling sedikit dapet jatah kue.

Dari ceritanya, ternyata wartawan dan marketing punya dua dunia yang saling bertolak belakang. Yang pertama murni cari berita, menyelidiki dan berusaha menyebarkan informasi ke masyarakat luas tentang apa, bagaimana, kapan, dimana dan siapa. Yang kedua, murni cari pasar. Apa, bagaimana, kapan, dimana dan siapa berusaha diubah jadi duit dengan teknik marketing secanggih dan sebersih (tapi kotor) mungkin. Dia cerita--berapi-api--kalo temen kerjanya terbiasa diminta mark-up target penjualan taun depan tanpa rumus dan prediksi. Itu perintah langsung dari bos, katanya. Kegiatan tekan-menekan dari atas yang makin ke bawah makin besar. Gak tau kenapa, bayangan gwa adalah rantai makanan dalam ekosistem. Saling memangsa. Meski yang dimangsa adalah sebangsanya. Sadis!

Di luar, kompetitor berusaha menekan penjual dan agen media cetak supaya jualan produknya thok thil, dengan cara preman. Kotor ya? Tapi begitulah. Mereka maen kayu, pengecer dipaksa jual barangnya. Kalo nggak, pengecer yang cuma punya harta segelintir itu bakal dibikin hancur sehancur-hancurnya sampe dia ga bisa jualan lagi.

"Gwa heran deh. Padahal kan mereka media gede. Pelanggannya udah kemana-mana ampe pelosok Indonesia. Tapi koq masih aja maennya dekil. Kalo gwa yang jadi kru CIA, gwa gak bakal tega liat pengecer-pengecer koran digituin," protesnya.

Yah, Bu. Segimanapun manusiawinya, informasi udah diperjualbelikan dan jadi komoditas. Ini masalah duit ratusan milyar dan reputasi. Gak ada urusan sama kemanusiaan.

"Untuk menjadi kaya, harus ada pihak yang dimiskinkan. Gak ada cerita mencapai puncak bergandengan tangan. Menapaki tangga sampai ke atas kamu harus menginjak kepala-kepala orang yang masih di bawah. Itu sah dalam ekonomi!" Begitu ucapan seorang (yang mengaku) lajang nan dandy berusia akhir tigapuluh, utusan Sulawesi yang tugas belajar S2. Di suatu sore di teras sebuah warnet. Gwa melongo. Yah... mau gimana lagi?!

[IT'S A WORLD FULL OF SHIT THAT WE LIVE IN!!!]

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?