Tentang Memilih Mati
There is only one God and His name is Death. And there is only one thing we say to Death: “Not today.”
- Syrio Forel, the Dancing Master from Braavos to Arya Stark in Game of Thrones
Jika diperbolehkan, apa yang kamu pilih sebagai cara untuk mati? Atau, jika kau mengidap penyakit dan semua obat hanya bisa memperpanjang umur—dengan susah payah—tanpa bisa menyembuhkan, akankah kau pilih mati?
Jika kamu Oregonian penyakitan sekarat dan prognosis menyatakan hidupmu tinggal hitungan bulan, maka kamu bisa bunuh diri secara legal dan dilindungi undang-undang negara bagian. Namanya Death with Dignity Act.
Teruskan baca dan saya kasih spoilernya.
Ada Bu Cody Curtis, perempuan/istri/ibu/anggota masyarakat usia lima tiga yang berfungsi secara penuh dan dicintai keluarga dan teman-temannya. Seringnya sakit menghebat di perut membawanya ke dokter dengan hasil liver yang kanker. Dia harus menjalani operasi pemotongan separuh organ dalamnya agar sel pembunuh itu tak menyebar ke tempat lain. Ketika dokter memvonis hidupnya tinggal enam bulan lagi, dia putuskan untuk mengaplikasikan Undang-undang Bunuh Diri Bermartabat ini yang disahkan sejak tahun 1994. Bu Cody memang menggunakannya, sepuluh bulan kemudian ketika sakitnya tak lagi bisa ditahan kecuali dengan morfin setiap beberapa menit.
Lalu ada Nancy Ziedzielski. Suaminya yang baru berusia empat puluh menderita tumor di otaknya. Hanya dalam waktu setahun fisiknya berubah seperti kakek umur delapan puluh. Nancy melihat bagaimana kondisi pasangan hidup tercinta merosot, kulit kering mengeriput, rambut rontok karena obat dan bola mata menonjol yang terdesak tumor dari dalam. Sambil menangis dia bercerita bagaimana si suami bahkan meminta mati karena tak tahan menderita lebih lama. Nasib berkata lain. Karena mereka tinggal di Washington dan Undang-undang Bunuh Diri Bermartabat tidak ada di sana, Pak Ziedzielski akhirnya meninggal. Hal itu membuat Nancy berjanji pada dirinya sendiri, demi mendiang, untuk membuat Undang-undang tersebut ada di tempat tinggalnya dengan bergerilya mencari dukungan. Dan berhasil ketika Pemilu memutuskan Obama menjadi presiden.
Saya tak hendak menceritakan filmnya penuh-seluruh. Tapi saya tertarik dengan beberapa poin penting yang dinarasikan oleh penderita dan keluarganya melalui kisah tanpa naskah, melalui reaksi dan emosi mereka.
Saya ajak kamu melepas kotak agama dan kepercayaan barang sejenak demi karat otak saya yang akan kamu baca.
Terjemahan dari tulisan dalam gambar tersebut adalah “Orang sakit bukanlah beban yang harus kita buang. Mereka adalah sama manusianya seperti kita yang berhak mendapatkan perawatan dan penghormatan sampai ajal menjemput”.
Ada Bu Cody Curtis, perempuan/istri/ibu/anggota masyarakat usia lima tiga yang berfungsi secara penuh dan dicintai keluarga dan teman-temannya. Seringnya sakit menghebat di perut membawanya ke dokter dengan hasil liver yang kanker. Dia harus menjalani operasi pemotongan separuh organ dalamnya agar sel pembunuh itu tak menyebar ke tempat lain. Ketika dokter memvonis hidupnya tinggal enam bulan lagi, dia putuskan untuk mengaplikasikan Undang-undang Bunuh Diri Bermartabat ini yang disahkan sejak tahun 1994. Bu Cody memang menggunakannya, sepuluh bulan kemudian ketika sakitnya tak lagi bisa ditahan kecuali dengan morfin setiap beberapa menit.
Lalu ada Nancy Ziedzielski. Suaminya yang baru berusia empat puluh menderita tumor di otaknya. Hanya dalam waktu setahun fisiknya berubah seperti kakek umur delapan puluh. Nancy melihat bagaimana kondisi pasangan hidup tercinta merosot, kulit kering mengeriput, rambut rontok karena obat dan bola mata menonjol yang terdesak tumor dari dalam. Sambil menangis dia bercerita bagaimana si suami bahkan meminta mati karena tak tahan menderita lebih lama. Nasib berkata lain. Karena mereka tinggal di Washington dan Undang-undang Bunuh Diri Bermartabat tidak ada di sana, Pak Ziedzielski akhirnya meninggal. Hal itu membuat Nancy berjanji pada dirinya sendiri, demi mendiang, untuk membuat Undang-undang tersebut ada di tempat tinggalnya dengan bergerilya mencari dukungan. Dan berhasil ketika Pemilu memutuskan Obama menjadi presiden.
Saya tak hendak menceritakan filmnya penuh-seluruh. Tapi saya tertarik dengan beberapa poin penting yang dinarasikan oleh penderita dan keluarganya melalui kisah tanpa naskah, melalui reaksi dan emosi mereka.
Saya ajak kamu melepas kotak agama dan kepercayaan barang sejenak demi karat otak saya yang akan kamu baca.
Gambar dari sini. |
Terjemahan dari tulisan dalam gambar tersebut adalah “Orang sakit bukanlah beban yang harus kita buang. Mereka adalah sama manusianya seperti kita yang berhak mendapatkan perawatan dan penghormatan sampai ajal menjemput”.
Sebutlah mereka “beradab” karena tak tega membunuh sesama manusia; karena sakit adalah hal alami yang harus dijalani dengan gagah berani; karena mati sesuai hukum alam seperti menaruh respek lebih terhadap hidup. Namun bukankah evolusi pun adalah alami? Dan evolusi di bidang kesehatan serta obat-obatan membantu manusia memperpanjang usia harapan hidup, mengurangi dan bahkan menghilangkan rasa sakit, dan dapat mempercepat kematian tanpa derita berkepanjangan. Dan bukankah membiarkan seseorang tersiksa itu jauh lebih biadab ketimbang membebaskannya dari siksaan tersebut? Dan sebenar-benarnya, sejujur-jujurnya, siapa yang lebih pemberani—keluarga yang ditinggalkan (karena tak mau melepas sosok orang tercinta) atau si sakit yang memilih meninggal (dan tak ingin membebani siapapun lagi)? Dan untuk kepentingan siapa sih sebenarnya kematian itu? Mereka yang sehat atau yang babak-bundas lungkrah dihantam deraan sakit dalam banyak versi?
Saya tak hendak memihak, tapi saya sangat setuju dengan ucapan Bu Cody:
Akan lebih baik jika saya pergi saat kondisi saya masih normal, tanpa cairan tubuh menggenang kemana-mana dan keluarga tak direpotkan dengan penyakit saya.
Pertama, hal tersebut akan meninggalkan kenangan baik pada seluruh kerabat dekat dan keluarga karena bagaimanapun aroma dan visual adalah yang paling utama untuk dikenang.
Kedua, tanpa kabar dadakan, tanpa shock hebat dan trauma ditinggal mati. Para tercinta bisa menyampaikan penghormatan terakhir dan mencurahkan sayang ketika objeknya masih hidup. Bukan dalam tahlilan atau layat yang wafat.
Ketiga, untuk urusan bagi warisan akan lebih bisa diselesaikan dan dibicarakan secara paripurna dengan almarhum/almarhumah pemberi warisan yang masih hidup.
Bagi saya tiga hal itu sudah mencakup semua hal peradaban dan kemanusiaan di tingkat dasar. Semacam win-win solution. Dan jika ada undang-undang tersebut di Indonesia, yang memikirkan keberadaan dan kemaslahatan rakyat di bidang paling personal dalam hidupnya, saya rasa akan jauh lebih berguna ketimbang mengurusi agama dan kepercayaan yang teramat sangat personal dibanding selangkang.
Tapi yah… namanya juga negara masih 67 tahun yaaa. Dimaklumi aja lah. Hihi.
Selamat berlibur. Selamat puasa. Mentang-mentang nahan lapar dan haus, jangan pada males mikir yaaa.
Bagi saya tiga hal itu sudah mencakup semua hal peradaban dan kemanusiaan di tingkat dasar. Semacam win-win solution. Dan jika ada undang-undang tersebut di Indonesia, yang memikirkan keberadaan dan kemaslahatan rakyat di bidang paling personal dalam hidupnya, saya rasa akan jauh lebih berguna ketimbang mengurusi agama dan kepercayaan yang teramat sangat personal dibanding selangkang.
Tapi yah… namanya juga negara masih 67 tahun yaaa. Dimaklumi aja lah. Hihi.
Selamat berlibur. Selamat puasa. Mentang-mentang nahan lapar dan haus, jangan pada males mikir yaaa.
Pas banget gue abis nonton "My Sister's Keeper"... Gue sependapat, orang punya hak untuk hidup sehat, maupun untuk memilih apakah mereka harus mati atau nggak.
ReplyDeleteSayangnya, kita hidup di negara yang masih ketat dalam mematuhi nilai2 agama, jika itu menyangkut orang lain *tegas kalau menuntut orang lain mematuhi agama, tp diri sendirinya nggak boleh ada yg ngatur*. Kalau ada yg mau memutuskan mati karena penyakitnya, pasti dikutuk habis2an.
Tapi tetep aja sih, kalau orang yg gue sayang sekarat, pasti gue memohon-mohon biar dia berjuang drpd ngerelain dia pergi atas kemauan sendiri :)) Krn yang menakutkan itu kan bukan kematiannya, tp ditinggal mati-nya itu.
lu HARUS nonton itu, Le. pandangan lu akan berubah setelah negara api menyerang =P
ReplyDeleteseriously. i've been there, in the deathbed of both my Gramp and Granny. ditinggal mati, iya. emang menakutkan. tapi yg lebih menakutkan adalah ditinggal mendadak. apalagi pas di depan mata lu dan pas lu pegang kakinya. it was scary. lu bisa ngerasain dingin itu merambat dari telapak kaki ke atas dan ngoroknya orang meregang nyawa. dan menghembuskan napas yang terakhir itu benar-benar literal.
lo tandem sama Tuesdays with Morrie deh. itu cerita dosen kena ALS yang ngadain eulogy--penghormatan terakhir, kesan kerabat tentang si mati yg harusnya diadain pas upacara pemakaman-saat dia masih hidup--dan di bukunya itu si murid menceritakan bagaimana menyenangkannya orang sekarat yang bisa joking tentang kematiannya.
still, in the end, gimanapun cara kita mati, gimana2nya yang namanya penghormatan terakhir itu emang untuk yang ditinggalkan. bukan untuk yang mati.
..membaca peringatan ini dulu : "Saya ajak kamu melepas kotak agama dan kepercayaan barang sejenak demi karat otak saya yang akan kamu baca " ..
ReplyDeletebaiklah, karena ini intinya meninggal tanpa ngerepotin orang lain, itu ide yang bagus..
tapi kan, kan *kembali membaca peringatan di atas*
dan apapun, ttg kematian, ngeri, itu film posternya keren, tp tetep aja kyknya isinya ngeri :|
*ps. kok ga bisa komen pake blockquote toh disini, pit?
ga bisa blokkuwot karena... ndak tau ((=
ReplyDeletei used to think death was scary. tapi itu emang sifat dasar manusia. selalu ketakutan sama hal yg dia ga tau. abis itu baru penasaran. setelah tau, baru bilang "ooo..." bukan berarti gw udah tau dan sekarang bilang "ooo..." tapi gw cuma coba ngeliat kematian sebagai bentuk rasa pengasih, pembebasan, "mercy". ga semua kematian adalah akhir. kadang beberapa kematian malah jadi awal sesuatu yang lebih besar. or at least that's what I want to believe (=