Sentimental Sunday: Need A Hug?
Be kind; for everyone you meet is fighting a hard battle.
Katanya sih setiap jiwa memanggul salibnya sendiri-sendiri. Makanya kita mesti berbaik-baik sama orang lain. Kasihan kan kalau salibnya terlalu berat dan muka ramah pun nggak dia temukan di perjalanan. Betul-betul double jackpot apesnya.
Saya jelas bukan orang baik. Tapi muka tong sampah saya yang menjadi tempat muntah bagi beberapa orang asing yang saya temui di beberapa persinggahan mungkin bisa dikategorikan sebagai baik. Nggak, bukan berarti muka saya ramah. Bodoh, mungkin. Dan sepertinya wajah bodoh itulah yang membuat mereka nyaman curhat ke saya karena orang bodoh biasanya mudah percaya dan mudah menyediakan telinga tanpa banyak pertanyaan. “Kebaikan” lain yang mengikuti di saat seperti itu ya hanya diam dan mendengar semampu saya, atau pergi jika saya bosan.
Tapi saya senang demi mengetahui makna dibalik gestur curhat orang-orang itu: mereka mempercayai saya. Itu mewah, lho. Hari gini, yang kenal aja sering tipu-tipu, apalagi orang tak dikenal. Kemewahan lain adalah duduk dan saling bicara hal-hal sepele. Sibuk-sibuknya pekerjaan, menjaga jaringan pertemanan dan bisnis, kemacetan kota yang isinya orang-orang urban, menepati janji temu, semua membuat manusia menjadi terburu-buru, bergegas lekas-lekas, berpusat pada tujuan dan melupakan proses perjalanan itu sendiri. Satu-satunya hal yang diberikan sebagian besar manusia semacam itu hanya jembrengan keluhan di jejaring sosial yang berfungsi sebagai kuping/panggung instan untuk didengar dan tampil mendapat tanggapan dari mereka yang dianggap teman.
Sebentar… Teman? Definisikan “teman”.
Buat saya, teman adalah siapapun yang ada dan bisa saya ajak berbagi apapun saat itu, at the moment. Terutama berbagi cerita dan minuman hangat. Saya tidak harus kenal dengannya, atau malah sudah kenal berabad-abad sebelumnya. Karena saya punya relationship issue—in any kind—saya tak lagi menggenggam teman. Manusia tak bisa dimiliki karena mereka—kami, saya—punya jalan masing-masing. Menggenggam manusia sama dengan menggenggam pasir. Semakin keras genggaman, semakin banyak butirannya menggelincir dari sela jemari, semakin sedikit yang tersisa di telapak. Begitulah.
Menurut yang pernah saya baca (lupa di mana), di abad pertengahan, jika orang—terutama lelaki—mengajak bersalaman dengan tangan kiri tandanya dia percaya. Ini mungkin hoax. Dicek lagi aja. Tapi katanya sih karena tangan kiri bertugas memegang perisai pelindung diri sementara senjata ada di tangan kanan. Mengangsurkan tangan kiri untuk bersalaman berarti melepaskan perisai, membuka tubuh untuk serangan apapun, memasrahkan keselamatan nyawa yang cuma selembar itu bulat-bulat pada orang yang akan diajak bersalaman.
Zaman sekarang gestur saling percaya seperti itu mungkin bisa didapat dari pelukan antara dua orang teman, dimana dua zona personal radius 50 cm dari tubuh melebur jadi satu tanpa penghalang, mengejewantahkan kerinduan, merobohkan benteng-benteng virtual yang dibangun masing-masing individu, berbagi suhu dan bau keringat, melintasi jenis kelamin, preferensi seksual, dan batas-batas kepantasan yang kukuh dipegang orang timur. Pelukan juga kepasrahan diri instan yang begitu hebat hanya dalam beberapa detik karena oleh para profesional gerakan itu bisa meremukkan iga atau menyembunyikan pisau yang terselip lalu menancap di punggung.
Saya nggak pernah menyadari itu sebelumnya sampai suatu hari beberapa orang yang saya anggap belahan jiwa melakukannya. Berbilang tahun saya mengenal lelaki-lelaki yang sudah saya anggap abang saya sendiri, namun berbilang jari saya berhadapan dengan mereka. Nggak pernah saya merasa kehadiran saya begitu sangat diinginkan kecuali oleh pelukan hangat mereka sambil menepuk punggung dengan lembut pada saat kami bertemu atau berpisah. Dan nggak pernah saya merasa begitu telanjang ketika adegan tersebut dilakukan di tempat ramai, dilihat puluhan pasang mata yang sedang melintas di stasiun atau terminal tempat saya menunggu mereka datang atau mengantar mereka pergi.
Awalnya memang canggung sekali. Pertama kali, saya nggak tahu mau ngapain, membalas atau hanya diam mematung. Namun melakukan pilihan kedua rasanya seperti sebuah dusta besar. Bohong kalau saya merasa nggak kangen. Bohong kalau saya menafikan rasa hangat yang sepertinya bermula dari dalam rongga dada lalu menjalar hingga ke ujung-ujung rambut. Bohong kalau saya merasa nggak senang. Jadi, yang bisa saya lakukan hanya membalas. Sepersekian detik kemudian saya mengerti betul artinya sebuah penerimaan yang jujur, tanpa layer-layer tendensius, tanpa tuntutan. Sejak saat itulah akhirnya saya mencoba menularkannya ke beberapa orang sahabat.
Tadi pagi saya sempat ngobrol dengan salah seorang karib yang punya masalah dengan penghianatan. Perempuan yang dipacarinya dua tahun ternyata selingkuh lalu menikah dengan lelaki lain, meninggalkan dia sendirian dengan hati berkeping-keping dan kepercayaan hancur. Namun dia tak bisa melupakan pelukan, terutama ketika gempuran hujan di atap rumah menjalarkan dingin hingga kamarnya di lantai dua. Baginya, pelukan menjadi sesuatu yang sangat pribadi, hanya dilakukan oleh dua orang kekasih. Seperti bercinta. Bagaimanapun saya mencoba memberi pandangan lain, dia tak juga yakin. Saya nggak tahu, mungkin dia masih terluka sehingga benteng virtualnya dia buat tebal sekali sampai tak seorang pun boleh menyentuh kulitnya. Dan saya hanya punya harapan semena-mena: semoga lukanya cepat sembuh dan dia bisa berbagi kebahagiaan lagi tanpa takut sakit.
Dan suatu malam kawan lain bercerita tentang kesedihannya karena memendam cinta sejenis yang tak berani dia bilang ke siapapun. Nyalinya belum cukup besar untuk membuatnya mampu melawan arus dalam keluarga religius-patriarkis dan lingkungan pekerjaan yang sangat chauvinis. Bahkan memberanikan diri untuk bicara pada saya pun perlu satu pitcher cocktail—yang memang sudah dia niatkan jauh-jauh hari. Dan seperti biasa, muka tong sampah saya bekerja. Haha.
Ketika kesadaran hasil segelas susu hangat dan larutnya malam membuatnya terjaga, saya mengantarnya menunggu taksi. Dan begitu saja, di pelataran ruko, tiga langkah dari pinggir jalan yang masih ramai kendaraan, setengah mengantuk dia berkata, “will you hug me?” Saya seperti sedang ditodong pistol di pelipis namun dengan senang hati menariknya dalam pelukan sambil berkata, “of course I will, silly!”
Saya pemeluk amatir. Saya bukan pemeluk impulsif karena melanggar zona personal membuat orang tidak nyaman sebagaimana ketidaknyamanan saya jika zona personal saya dilanggar. Tapi saya akan memberi semua yang masih gratis, termasuk pelukan. Sebagaimana Winnie the Pooh dalam Pooh’s Little Instruction Book berkata, “you can’t stay in your corner of the Forest waiting for others to come to you. You have to go to them sometimes,” jika kebetulan kita bertemu, mintalah pelukan pada saya jika kamu perlu penerimaan instan, kehangatan seorang teman, atau sekadar ingin berbagi sedih tanpa harus bicara. Saya tak menjamin masalahmu selesai, tapi setidaknya kamu akan merasa lebih baik.
Berani?
Hug...hug...hug.....
ReplyDeleteLompat...lompat...lompat...
*clingukan, trus pergi*
Hug...hug...hug.....
ReplyDeleteLompat...lompat...lompat...
*clingukan, trus pergi*
keknya seneng amat nyu, ampe dobel gitu ((=
ReplyDeleteHmm... Saya sangat jarang pelukan, celakanya saya pengen memeluk orang2 yang saya suka saja. Entah ini bentuk kesombongan atau kecupuan semata :(
ReplyDeletebentuk pilihan ituuu =D
DeleteNice one. :)
ReplyDeletethank you.
Delete