Catatan Kecil tentang Kekerasan
Salah seorang penyintas suku Hutu yang disiksa oleh Milisia Hutu ‘Interahamwe’. Dia dicurigai bersimpati pada pemberontak Tutsi di Rwanda, Afrika. ©1994 James Nachtwey, USA, Magnum Photos for Time. |
The Roots of Violence: Wealth without work; Pleasure without conscience; Knowledge without character; Commerce without morality; Science without humanity; Worship without sacrifice; Politics without principles.
- Mahatma Gandhi
Bayangkan…
Ada mbak cantik-seksi-wangi-cerdas yang dibanting pacarnya, dikata-katain lonthé nggak laku di BBM maupun di depan mukanya. Lalu ada mbak Kaukasian yang tambah dibengepin lagi oleh suaminya waktu bengepnya nggak bisa disamarkan dengan perangkat dandan saat mereka hendak kondangan. Kemudian ada lagi mbak-mbak pekerja di LSM anti-kekerasan yang lebam-lebam karena pasangannya selama dua belas tahun mendadak bersumbu pendek dan hal kecil bikin dia ringan tangan. Dan dalam semua peristiwa itu, para penyintas—survivor—hampir terlambat diselamatkan.
Itu semua nyata. Saya ceritain lagi dengan banyak sekali bagian yang dipotong saking nggak masuk akal sadisnya. Dan kalau mau buka mata dan telinga, kejadian yang mirip seperti itu ada di sekitar kita. Nggak cuma di kelas pekerja yang kadang kita sering sok tahu dengan berkomentar “oh, pantes aja bininya dipukulin mulu. Lha wong setres upahnya kecil, anaknya banyak dan kebutuhannya segabrug.” Sama sekali nggak. Kekerasan melintasi batasan usia, latar belakang pendidikan, pekerjaan, sifat, gender, ras, zat/narkoba yang digunakan. Itu murni potensi dalam diri manusia, sebagaimana sifat baik dan jahat. Jangan salah. Nggak cuma perempuan yang jadi korban. Seringkali (namun terhitung jarang) laki-laki juga terpapar kekerasan yang membuat mereka juga jadi penyintas.
Ada semacam siklus dalam kekerasan. Ada fase honeymoon saat si pelaku sedang baik sekali. Lalu build up tension ketika dia mulai “panas”. Hal-hal kecil yang di mata orang lain adalah remeh terkadang bikin dia murka luar biasa dan gampang naik darah. Lalu tindakan kekerasan terjadi saat pelaku mulai bertindak kasar dan agresif. Kemudian muncul fase penyesalan ketika pelaku "sadar", jadi luar biasa manis, minta maaf sampai nangis-nangis dan super romantis bawa-bawa coklat dan bunga. Kemudian kembali ke fase honeymoon. Dan siklus pun berulang.
Bagi orang-orang yang biasa hidup bareng pelaku kekerasan semacam itu, mereka sudah hapal betul fase-fasenya. Dan biasanya jika sudah sampai build up tension, mereka (terutama perempuan) cenderung memencet tombol fast forward untuk mempercepat proses, biar siklusnya buru-buru ke fase baik lagi. Apa? Kenapa mereka nggak langsung lapor? Well, ternyata banyak faktornya. Meskipun si penyintas ini sadar tentang kekerasan pun, ternyata malu, ketergantungan (dalam hal apapun, termasuk seks, finansial, dan status sosial) dan pride menjadi penghalang untuk membuka ketidakadilan yang menimpa mereka. Dan seringkali penyintas malah disalah-salahin oleh lingkungan yang seperti membenarkan kekerasan yang dilakukan pasangannya. Misalnya "ya pantes aja lu digebugin laki lu. Lha elunya ngeselin sih." Atau yang lebih parah, memakai ayat-ayat dari kitab suci untuk mendukung tindakannya.
Dalam sistem keluarga sendiri, anak yang terbiasa terpapar kekerasan ternyata reaksinya bisa berbeda-beda. Ada yang karena sering melihat ibunya digamparin bapaknya, dia jadi ikutan melakukan hal yang sama dengan asumsi "oh, boleh lho mukulin bini sendiri. Bokap gue juga gitu kok." Ada yang justru jadi rebel dan anti kekerasan. Dan ada juga—dan menurut saya paling parah—dijadikan sekutu bapaknya untuk memperbudak ibunya.
Menurut yang saya baca di sini, kekerasan yang berasal dari bahasa latin violentus—violence dalam bahasa Inggris—punya akar kata vī atau vīs yang artinya kekuasaan atau berkuasa. Jadi, kalau mau menelusuri akar seakar-akarnya akar, kekerasan itu adalah nggak lebih dan nggak kurang dari pelestarian kekuasaan dengan teknik penindasan. Buat saya itu nggak asyik. Nggak keren sama sekali karena nggak cerdas. Cuma main otot, bukan main otak.
Lalu bagaimana dengan penyintas dan pelaku?
Yang menarik, menurut mbak aktivis kekerasan berbasis gender yang pengalamannya saya todong buat nulis ini, ternyata support system terkuat—dan akar terkuat terjadinya kekerasan—berasal dari keluarga sendiri karena keluargalah tempat semua manusia bermula. Keluarga juga yang membangun fondasi awal karakter manusia. Namun jika ternyata kekerasan itu justru terjadi dalam keluarga, ada keluarga “sambung” yang saling mendukung para penyintas dan tempat curhat yang tepat didampingi para ahli. Namanya Lentera. Bisa dikontak lewat surel di alamat lenteraID@gmail.com atau @lenteraID di twitter. Jangan khawatir identitas dan “aib” terungkap. Semua kerahasiaan terjaga.
Untuk para penyintas maupun sahabat, kerabat dan kenalan yang punya masalah terhadap kekerasan, berikut ini kontak-kontak untuk pendampingan, support group dan pengaduan:
- Butuh konseling setelah mengalami kekerasan/kekerasan seksual? Kontak @YayasanPulih di 021-7884 2580/0888 181 6860
- Desk pengaduan Komnas Perempuan untuk perlindungan kekerasan terhadap perempuan: 021-390 3963
- Butuh pendampingan hukum untuk kasus kekerasan/kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak? Kontak @LBHAPIK di 021-8779 7289
- Mengalami kekerasan seksual (pelecehan/pencabulan/pemerkosaan)? SMS iNSPiRasi Ind. @NSPR12 di 0896 3727 1332
- Advokasi kesehatan reproduksi; info segala hal tentang aborsi, kontak SAMSARA di 0819 889 240
- Tim advokasi perempuan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI): 021-791 83 221/791 83 444
- Desk pengaduan kekerasan/kekerasan seksual terhadap anak, kontak Komnas Perlindungan Anak: 021-8779 1818 dengan Dwi atau Benny
Khusus yg ada tanda "@"-nya bisa di-mention via twitter.
Saya sudah cukup melihat dan mengalami kekerasan. Waktunya potong siklus. Yuk!
Tadi gue mo nanya2 soal ini, eh langsung dipost.....
ReplyDeleteNyunyu! pikiran kita sama! kita berjodoh! halah...
ReplyDelete