On the Road

Gambar dicomot dari http://goo.gl/LG8SI

Nggak kok. Meskipun judulnya seperti itu, tapi saya nggak berniat ngomongin kitab suci para pejalan yang ditulis Yang Maha Mulia Nabi Seluruh Petualang Jack Kerouac AS. Saya cuma mau cerita perjalanan Radiodalam-Blok M-Bekasi yang saya lakukan siang-siang pukul satu. Agak aneh memang, karena biasanya saya selalu lebih nyaman pergi malam. Nggak ada terik matahari menikam punggung, nggak ada pemandangan seperti gambar di atas, nggak ada riuh berisik klakson kendaraan yang tak sabar menunggu antrian jalan. Tapi demi menjawab kekhawatiran Bu Anggi, ya saya bela-belain pulang lah biar terbukti masih hidup. Haha.

Ini yang saya temui dalam perjalanan:

1. Pengamen
Iya, banyak sekali pengamen bahkan di satu bis kota, bergonta-ganti nggak saling rebutan. Di Metro Mini 72 itu yang pertama tampil adalah bapak tua bergigi jarang yang ramah sekali. Pas naik saya pikir bis ini mempekerjakan usher selain kondektur penarik ongkos. Setelah beliau bersandar di pintu dan menggumamkan doa-doa dalam bahasa Arab lalu mengedarkan kantong bekas permen, saya baru sadar bahwa bapak itu adalah pengamen. Baiknya si bapak, doanya sama buat yang ngasih dan yang nggak ngasih recehan: semoga Si Enéng sekolahnya lulus, nilainya bagus (sambil nyengir ke salah satu mbak-mbak berseragam SMU); semoga Si Ujang kerjanya bisa bawa duit banyak (lalu mencolek mas-mas rapi yang gelagapan karena nggak nyangka bakal ditunjuk saat dia terkantuk-kantuk).
     Tak lama setelah bapak itu turun, masuklah satu bocah lelaki kecil yang masih mengenakan seragam olah raga sebuah SD Negeri di Ciledug dan satu pemain ukulele. Mereka bernyanyi lagu-lagu Islami. Biasa saja. Tapi ya, namanya juga bocah (yang kira-kira masih kelas 2 atau 3). Lagunya sering off-tunes tapi tertolong dengan suaranya yang lucu dan bocah banget. Apalagi kalau dia kehabisan napas di tengah-tengah. Hihi.
     Sesudah itu abang-abang berlogat Batak beraroma alkohol, berkulit legam, bermata sedih dan berwajah keras (namun punya suara aduhai keren dengan vibra teratur dan petikan gitar yang nggak asal-asalan). Sepertinya dia punya dendam tertentu karena selesai menyanyi dia "beredar" sambil berkata, "saya ngamen, Om dan Tante, nggak kayak anak punk atau orasi". Kalau nggak digubris oleh penumpang, dia akan mengulang-ngulang kata-kata itu sambil mencolek-colek dengan gerakan intimidatif. Kalau dikasih? Wah, dia akan menghentak keras pada suku kata pertama dalam ucapan "terima kasih, semoga amal rejekinya banyak, semoga nanti masuk surga."
     Bang Batak segera berganti dengan mas-mas rada gondrong kriwil yang muka berminyaknya berhiaskan jerawat seperti gemintang menera malam tak berpurnama (halah!). Dia lantang menyerukan kata-kata pembukaan--yang saya juga nggak denger-denger banget sih. Wong keberisikan kebut-kebutan. Dengan pelafalan bahasa Inggris patah-patah, suara lumayan (dan otot leher yang ketarik banget pas nada tinggi), ternyata dia membawakan lagu ini:



Sebelum mobil-mobil ngebut sialan itu menenggelamkan suara mas berjerawat, saya sempet dengar sih, waktu dia teriak "yang sedang berjuang..." lalu hilang. Penasaran dengan teriakannya itu, sambil mengangsurkan uang seribuan saya iseng bertanya (sok-sokan) menggunakan psikologi kebalikan untuk mendapat penyangkalan: "eh, tadi lo bilang apa di depan? Orang-orang yang membela agama ya?" Dan jawabannya: "Nggak. Lagunya universal, bukan agama doang. Ini solidaritas buat mereka yang berjuang demi kemerdekaan. Kan lagu tentang Palestina." Oh, wow. Saya jadi bengong ngeliatin masnya yang menjawab dengan keren sekali itu hingga dia turun di Bulungan...
     Masih ada tiga pengamen lagi di bis ACOS (AC 05, Mayasari Bhakti jurusan Blok M-Bekasi Timur/Barat). Ada mas-mas beralis nyelirit seperti alisnya Drew Barrymore. Dia menyanyikan lagu-lagu daerah (Siapa Suruh Datang Jakarta, Sajojo, dan satu lagu Sunda yang saya lupa judulnya. Saya seperti sedang ada di acara Tujuhbelasan...), Shalawat Badar dan lagu pujian lain dengan iringan ukulele. Terus mas-mas "Nia Daniati" karena yang dia bawa ya lagu-lagunya beliau itu (siang-siang, di luar panas, di dalam bis berpendingin... Saya jagoan banget itu bisa nggak ketiduran!). Lalu bapak-bapak dengan instrumen modifikasi sendiri (rebana ukuran sedang yang dia tabok dengan tangan berselip botol kecil berisi pasir. Kasihan rebananya) yang--lagi-lagi--Shalawatan.
     Kesimpulan: Lagu-lagu Dream Theater dan KoRn kurang laris diantara pengamen.

2. Asongan
Ini standar sih. Biasa. Di dalam bis trayek mana pun (kecuali Trans Jakarta kali ya?) kalo nggak pengasong grass root semacam tukang tahu, manisan/kacang/buah seribuan atau minuman dingin ya paling tukang tisyu/permen/kerupuk (eh, saya kangen sama tukang kacang atom/permen jahe. Sedih, udah nggak ada lagi. Semoga mereka dapat penghidupan yang lebih baik. Tapi kacang atomnya enak lho!). Yang lebih advanced biasanya pake topi, bawa ransel dibalik, terus pas sudah ada di depan bakal pengumuman, "yak, permisi bapak-ibu, om-tante. Di sini kami mencoba menawarkan..." lalu cuap-cuap sebentar menjelaskan dagangannya, kemudian keliling membagikan barang yang akan dia ambil lagi setelah calon pembeli liat-liat. Ya kalo emang mau beli nggak bakal diambil lagi sih, tapi dituker duit (eh, tukang permen jahe/kacang atom itu juga begitu lho cara jualannya. Serius!).
     Tapi ada yang menarik dari mas pengasong advanced yang "presentasi" dagangan kemarin siang: kacamatanya keren! Iya, kacamata yang bagian pangkal hidungnya bisa dicopot dan gagangnya melingkari bagian belakang kepala itu! Terus "customer satisfaction comes first" adalah motto yang dia pegang teguh meskipun nggak sampe 20 menit dia di atas bis. Akibat nggak ada kembalian buat "customer" yang uangnya limapuluhribuan (dan dijawab dengan gelengan kepala setengah sebal oleh pak kondektur waktu ditanya tukeran duit), dia rela-relain turun dan buru-buru nodong pak timer lalu bergegas menghampiri pelanggan yang tadinya sudah kecewa uangnya dikembalikan dan batal beli. Dan semua dia lakukan dengan senyum selalu di muka!
     Yang lebih asyik lagi, waktu dia "presentasi" jualannya yang adalah semacam rubik tapi berbentuk panjang, sambil mencontohkan cara mainnya dia berkata "kebetulan saya ngajar PAUD, bapak-ibu. Biasanya kalo saya ngasih contoh bikin permainan edukasi ini ke anak-anak didik, saya sambil nyanyi. Pelangi-pelangi atau Balonku. Kebanyakan pada nggak bisa lagu anak-anak. Taunya Cinta Satu Malam, tapi malah dibilang pinter sama orangtuanya. Apanya yang pinter itu kalo kecil-kecil udah pada tau Cinta Satu Malam?!" Whoa!
     Tadinya saya sudah sempat terkuple-kuple dengan argumentasinya tentang anak-anak, cinta satu malam dan profesinya sebagai pengajar PAUD. Tapi waktu dia mendekat dan kancing di ujung kemeja lengan panjangnya terbuka menyingkap banyak sekali tato, well... dengan segala hormat buat kalian-kalian yang bertato. Nggak maksud diskriminatif. Tapi saya mikir, menimbang lingkungan Jakarta dan sekitarnya yang sebagian besar masih normatif, kira-kira PAUD mana yang mau mempekerjakan orang tatoan? Tapi saya berpikir positif saja lah. Dan saya masih bertanya-tanya. Kemana perginya tukang kacang atom?

3. Iklan
Saya baru ngeuh kalau Jakarta dan wilayah buffer-nya itu terlalu banyak polusi. Polusi suara dan udara nggak usah dibahas lah ya. Udah bosen. Saya juga nggak menafikan usaha minimalisir, dengan hari bebas kendaraan dua kali sebulan di jalan-jalan protokol atau penanaman jalur hijau berpohon. Tapi sepertinya polusi visual belom ada yang peduli ya.
     Saya ngiler lho lihat iklan Galaxy Note sealaihim gambreng di billboard Gatsu. Pengen (ya kali gitu ada malaikat baik hati nyasar ke sini terus mau beliin saya yang lagi nggak punya gadget ini. Tapi kalo mau beliin sih mendingan HTC setengah-tablet-separo-smartphone yang masih bisa masuk saku jins). Terus gambar cengiran menjijikkan bapak-bapak dari partai anu-itu-onoh segede dosa, berpose dengan keluarganya (yang nggak ada hubungannya sama platform politik yang diusung). Lalu--ini yang paling konyol--iklan pariwisata Malaysia.
     Bitch, please?
     NgelonthĂ© sih ngelonthĂ©, tapi jangan semurahan dan sevulgar itu dong! Punya harga diri lah sedikit. Itu jalan protokol Jakarta, ibukota negara. Diantara segitu banyak billboard raksasa katro berbahasa ala Orba milik negara kalian sendiri, iklan pariwisata Malaysia--negara jiran yang kedutaannya sempat dilempari tahi oleh orang sini--petentengan dengan kapasitas estetis nan elegan setara iklan kartu kredit muwahal. Cukup lah Pak Sudirman berdiri megah menghormat pada bobroknya transportasi dan kemacetan tiap hari di jalan yang diambil dari namanya itu. Jangan tambahin lagi kesia-siaan pahlawan Indonesia dengan simbol bodoh yang nggak lebih dari kerakusan pemerintahnya.
     Oh, kecuali kamu ke sana sendiri, mungkin kamu nggak akan percaya kalo spanduk kuning berlogo PU di Pintu GBK Senayan sebelah FX--per 28 Februari 2012 sore--tulisannya gini:

Mohon maaf perjalanan Anda terganggu. Tapi kami sedang berusaha keras menyelesaikan pekerjaan.

Oke, sekali lagi, rame-rame... BITCH, PLEASE? Keseringan ngetwit galau ya? Susah move on? Atau learning from The Best Prihatin-man of the Century alias Papa Nobita?
     Terus lepas Jatibening arah ke Bekasi, coba deh liat ke kiri. Bagian belakang bangunan dialihfungsikan jadi ruang iklan operator ponsel, menghajar mata dan benak tanpa kita punya persiapan membendungnya. Wahai para penemu cat. Dosa apa yang pernah kalian perbuat hingga penemuan kalian disalahgunakan separah itu?!            

4. Kontainer Berbahaya
Jadi, lepas dari pintu tol Jatibening saya sudah mendapati truk tangki putih dengan ujung aneh. Bentuknya lebih kecil, nggak seperti truk tangki yang sering saya temui, apalagi seperti ini:                

Gambar nemu dari Facebook-nya siapa, mbuh ((=

Di tangki putih itu, di tempat yang harusnya bertuliskan SEDOT WC seperti gambar di atas digantikan dengan tulisan DALAM KEADAAN DARURAT, HARAP HUBUNGI... (deretan nomor telepon yang saya nggak inget). Karena kebetulan ACOS saya lebih kencang larinya, kebalap deh tuh truk tangki dari sebelah kanan. Ternyata keterangan di sisinya terbaca... jreng-jreeeng... CO2 Cair. Di pintu supirnya bertuliskan "pengemudi bersertifikat bla bla bla". Bapak di belakang setir terlihat serius sekali meskipun handuk putih panjang yang melindungi kepalanya terlihat agak komikal.
     Di depan tangki putih itu ada truk gandeng buwesaaar sarat muatan terlindung terpal sedang berjalan terseok-seok. Lalu di depannya lagi... pickup berisi ayam hidup dalam kurungan sesak, tanpa tutup. Lalu kontainer, truk, truk, kontainer, truk, kontainer yang nggak ada pintu belakangnya, truk, truk, tangki putih lain yang di sisinya terbaca... jreng-jreeeng... Nitrogen Cair. Dan perjalanan gerbang tol Jatibening-Bekasi Timur nggak pernah sama setelah ini...
     Saya memang rada males nyari-nyari peraturan. Tapi sependek pengetahuan saya bukannya ada waktu-waktu tertentu ya untuk barang gede-gede dan berbahaya seperti itu masuk tol? Bukannya harusnya malem alih-alih siang menjelang sore jam setengah tiga pas lalu-lintas mulai padat? Setidaknya kalau jalan malam kan minimizing damage kalo kenapa-kenapa. Apalagi nitrogen cair. Gimana kalo supirnya kena maag mendadak terus nyetirnya melintir terus tangki nitrogen cairnya menghantam jendela bis tepat di kursi saya lalu saya membeku, sel saya termutasi, lalu saya jadi superhero berubah jahat?
     Oke. Abaikan mulai dari "tepat di kursi saya" sampai tanda tanya.

5. Para Penidur
Ini yang paling menyenangkan. Diberkatilah mereka yang bisa lelap dalam kondisi apapun. Saya salah satu yang susah berbahagia karena tidur di kamar sendiri pun juga sering susah. Tapi saya suka melihat orang-orang kelelahan tertidur, manthuk-manthuk nggak peduli sekitar asalkan hajat biologis tuntas tertunai. Sepanjang perjalanan kemarin memang banyak yang seperti itu, tapi kurang seru. Cuma ada mas-mas sok keren, bapak-bapak nganga, ibu-ibu ngécés, daaan... perempuan kecil berseragam SD yang kemarin saya dapati hampir terjatuh dari kursinya karena membungkuk terlalu jauh dengan mata terpejam. Untung saja pak kondekturnya baik. Dia lalu membangunkan si anak dan disuruhnya pindah ke pojok di deretan kursi lain yang masih kosong. "Nanti dibangunin kalo udah sampe Blok M," ujarnya. Ah, satu lagi ternyata yang bisa saya temui di jalan: orang baik (=


Perjalanan kemarin membuktikan, ternyata mata saya nggak pikun-pikun amat untuk bisa mengingat bagaimana menyenangkannya observasi. Terima kasih, gadget yang rusak. Ternyata kamu bawa kebaikan juga, walaupun jadinya banyak momen yang nggak bisa ditembak pakai kamera ponsel. Tapi mending begini sih daripada terlalu latah mengumbar apapun di jejaring sosial. Verba volant, scripta manent. Hell, yeah!



Comments

  1. Anonymous7:59 AM

    ah, pasti kondekturnya orang batak. :)

    ReplyDelete
  2. Komplit ya, balada naik transportasi umum di ibukota. Banyak hiburan :))

    Kl naik kopaja ac s13 ga keganggu ama pengamen pit. Uda coba?
    (Bukan ke bekasi siy) hehe

    ReplyDelete
  3. Anon
    kalo dari logatnya sih sepertinya bukan. pak kondekturnya orang jawa. emang kenapa, gitu?

    Cik Mithong
    halah, kopaja yg itu kek idup gw, terlalu berbelit-belit! ((=

    ReplyDelete
  4. Ini baru cerita perjalanan Radiodalam-Blok M-Bekasi, Pit. Kayaknya bakalan seru lagi kalo ada yang nulis cerita perjalanan Ambulu-Radiodalam.

    Teruuuus, kacamata yang pangkal hidungnya dilepas tuh gak diasongin juga? Beliin gih kalo diasong, kali aja ada KW keberapanya gitu. Halah.

    ReplyDelete
  5. Ituuu... Ambulu-Radiodalam sepertinya wishful thinking ya? ((=
    ogah kacamataan. ndak koyok naughty teacher. kecuali kamu mau jadi naughty student-nya. aw, aw, aw...

    ReplyDelete
  6. Waduh, tulisannya berat banget. Sampai bingung mau komentar apa. Overall, keep spirit for blogging bro...

    ReplyDelete
  7. kalo berat ditaro aja, bang. ga usah digotong-gotong =D

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?