Death, Anyone?
Upacara Pembakaran Mayat, ©2008 Ed Wray, AP Photo |
Death is before me today:
Like the recovery of a sick man,
Like going forth into a garden after sickness.
Death is before me today:
Like the odor of myrrh,
Like sitting under a sail in a good wind.
Death is before me today:
Like the course of a stream,
Like the return of a man from the war-galley to his house.
Death is before me today:
Like the home that man longs to see,
After years spent as a captive.
- Dream in The Sandman #8: The Sound of Her Wings p. 19-20 by Vertigo Comics
Saya selalu takjub dengan kematian. Ada begitu banyak misteri meliputinya. Ia seperti wilayah gelap tak berlampu, seperti hutan angker yang dikeramatkan namun juga disembah karena keangkerannya. Sebagian besar manusia menganggap kematian sebagai hal menakutkan karena tidak ada seorang pun yang pernah kembali dari kematian yang betul-betul mati. Tak seorang pun tahu betul bagaimana rasanya di "sana". Yang mati suri lalu bercerita tentang petualangannya di alam tak hidup pun masih diragukan kesaksiannya. Ada peneliti yang bilang bahwa itu hanya reaksi otak bawah sadar yang memang tak benar-benar hilang. Ada juga ilmuwan yang menyatakannya sebagai sekadar imaji kolektif hasil tontonan buatan Hollywood tempat dunia antah-berantah antara hidup dan mati digambarkan terang gilang-gemilang bermandi cahaya ilahiah dari atas (jika orangnya baik) atau gelap dedet tanpa cahaya atau pijakan (jika nalurinya menyatakan dia orang jahat). Well, kecuali mungkin beberapa orang dengan tingkat relijius tinggi yang kemudian berhasil menarik beberapa pengikut melalui testimoni-testimoni dalam seminar yang mirip kumpul-kumpul peserta MLM.
Tak banyak manusia yang menganggap kematian sebagai kelegaan. Padahal, sebagaimana mahluk punya insting bertahan hidup, saya percaya kalau di satu titik tertentu kami pun punya insting mati. Misalnya dalam kondisi seperti ini:
Iya, saya suka banget bagian ini. Mungkin imajinasi saya amat sangat kebangetan sampe saya bisa ngebayangin gimana rasanya jadi Pak Yamamoto dan satu-satunya pembebasan dari kesakitan itu adalah hanya dan cuma kematian.
Tak banyak manusia yang menganggap kematian sebagai kelegaan. Padahal, sebagaimana mahluk punya insting bertahan hidup, saya percaya kalau di satu titik tertentu kami pun punya insting mati. Misalnya dalam kondisi seperti ini:
Holding his knife, the bearlike Mongolian officer looked at Yamamoto and grinned. To this day, I remember that smile. I see it in my dreams. I have never been able to forget it. No sooner had he flashed this smile than he set to work. His men held Yamamoto down with their hands and knees while he began skinning Yamamoto with the utmost care. It truly was like skinning a peach. I couldn't bear to watch. I closed my eyes. When I did this, one of the soldiers hit me with his riffle butt. He went on hitting me until I opened my eyes. But it hardly mattered: eyes open or closed, I could still hear Yamamoto's voice. He bore the pain without a whimper--at first. But soon he began to scream. I had never heard such screams before: they did not seem part of this world. The man started by slitting open Yamamoto's shoulder and proceeded to peel off the skin of his right arm from the top down--slowly, with care, almost with love. As the Russian officer had said, it was something like a work of art. One would never have imagined there was any pain involved, if it weren't for the screams. But the screams told the horrendous that accompanied the work.- Haruki Murakami's The Wind-up Bird Chronicle, p. 159
Iya, saya suka banget bagian ini. Mungkin imajinasi saya amat sangat kebangetan sampe saya bisa ngebayangin gimana rasanya jadi Pak Yamamoto dan satu-satunya pembebasan dari kesakitan itu adalah hanya dan cuma kematian.
Manusia dan budayanya tunduk pada kematian dengan pemuliaan. Di ujung hidup seseorang, kerabat dan keluarga menghormati keberadaan mendiang dengan upacara-upacara penuh makna. Islam punya Sholat Jenazah dimana mayat dimandikan, dikafani, lalu didoakan khusus dengan sembahyang. Katolik punya Misa Requiem dengan wangi dupa mengambang kental dan doa-doa berkumandang dalam lagu dan suasana menggigilkan di gereja-gereja. Bali punya pembakaran mayat yang menghabiskan biaya hingga ratusan juta, sementara orang Batak "membantai" puluhan babi dan kerbau untuk mengantar mendiang ke alam arwah dengan selamat.
Itu baru di Indonesia. Kalau iseng, datanglah pada upacara kematian siapapun, tak perlu kenal siapa mendiangnya. Ada banyak cara, ada banyak ragam, tergantung lingkungan si mati. Dalam masa hidup saya yang belum begitu lama ini, dari beberapa film dan beberapa kali browsing nyasar, rasanya yang paling mencengangkan adalah upacara kematian di Tibet dan Jepang.
Di Tibet ada yang dinamakan Sky Burial, Upacara Langit. Mereka punya malaikat berupa burung-burung pemakan bangkai besar-besar, datang bergerombol dalam jumlah banyak. Setelah mayat disemayamkan di rumah duka selama beberapa hari, "penjagal" akan membawa jenazah ke puncak gunung atau bukit, sendirian (saya sempat melihat seri foto Sky Burial ini dimana "penjagal" tersebut meletakkan tubuh tak bernyawa bertutup lembaran plastik besar di boncengan motornya. Tapi jangan minta URL-nya. Saya nggak yakin kamu masih bisa makan setelah melihatnya). Setelah sampai di tempat tujuan, mayat diletakkan di lempengan batu untuk kemudian dipotong-potong tepat di bagian sendi (see? Masuk akal kan kalau saya bilang "penjagal"?): bagian leher, pangkal lengan, siku, pangkal paha dan lutut. Sudah? Belum. Dalam proses penjagalan itu para "malaikat" yang tertarik aroma mayat akan datang. Potongan daging agak busuk itu kemudian akan disebar dan habis dalam waktu kurang dari satu jam. Belulang dan tengkorak yang tersisa kemudian diambil lagi untuk dihancurkan dan dicampur jadi satu agar para "malaikat langit" yang telat datang ke perjamuan juga masih bisa berpesta. Semua harus habis tak bersisa untuk memudahkan perjalanan roh ke surga melalui pemakan bangkai bersayap. Buat saya ritual itu adalah yang paling membawa berkah bagi semua, bagi manusia dan alam. Menempati posisi dekat sekali dengan Everest, gunung paling tinggi di dunia dengan puncak tersaput es abadi, siapa yang mau menggali tanah keras dalam cuaca dingin menggigit hanya untuk mengubur mayat? Lagipula suhu yang di bawah titik beku itu malah mencegah penguraian. Makanya, dengan ritual ini semua masalah terselesaikan: burung bangkai kenyang, manusia tak perlu susah payah, dan penyakit yang kemungkinan bisa menyebar dari mayat pun bisa dicegah.
Dan Jepang? Oh, dari film Departures saya makin yakin bahwa orang Jepang memang paradoks. Segala macam genre anime dan manga dari yang "bersih" sampai yang "dekil" (beberapa diantaranya yang saya hafal adalah hentai yang terbagi lagi menjadi vanilla, yaoi, dan goru) dan macam-macam genre musik dari yang jazz, ska, fusion sampai J-Pop dan J-Rock tak membuat mereka berpaling dari berbagai upacara dan perayaan adat. Termasuk menyambut kematian. Di film itu digambarkan bahwa yang hidup betul-betul memperlakukan mendiang dengan segala pemuliaan dan kukuh menjaga kehormatan si mayat. Salah satunya adalah tetap menjaga tubuh kaku itu selalu tertutup ketika dibersihkan. Cara si petugas profesional dengan taktis namun lembut melenturkan tubuh yang sudah memasuki fase rigor mortis, dengan sapuan kain antiseptik di bawah kimono yang melesak hingga ceruk terdalam, dan kelembutan kuas lipstik di atas bibir si mayat, bagi saya sangat kontemplatif.
Terus kalo kamu mati mau diapain, Pit?
Ummm... Saya kepikiran donor organ sih. Meskipun nggak yakin dengan paru-paru saya, tapi rasanya ginjal, liver, hati, jantung, kornea, retina, selaput otak dan seluruh organ lain (kecuali pernapasan, apalagi bulu hidung) masih cukup sehat. Saya membayangkan ketika pada suatu masa saya memutuskan eutanasia karena sudah cukup hidup, tubuh saya terbujur kaku dan bolong di meja operasi setelah dokter-dokter internis memanen jeroan dan kembali ke pasien masing-masing untuk melakukan pencangkokan. Tak perlu lah bolong akibat irisan Y itu ditutup. Cukup satu dokter jagal memotong-motong sisa badan saya dalam ukuran bite size untuk kemudian diserahterimakan oleh kerabat atau keluarga. Setengahnya akan dilarung jadi makanan ikan di tengah laut. Separonya lagi akan disebar di kebun belakang atau dikubur di bawah pohon mangga supaya buahnya manis. Begitulah. Setidaknya sampai saya mati pun saya masih akan berguna buat mahluk lain.
Tapi kemudian saya berpikir bahwa sebenarnya upacara kematian itu bukan untuk yang mati tapi malah untuk yang hidup. Dan penghormatan terakhir itu jadi semacam kemunafikan kolektif agar tak dianggap kerabat atau keluarga durjana. Jadi, kesimpulannya, saya sih pengennya seperti yang saya bilang tadi. Tapi kalau kemunafikan kolektif kerabat saya berkata lain, ya saya mau bilang apa, coba? Kalo pun saya nanti dikafani, disholatkan, lalu dikubur utuh di pemakaman Islam pun saya nggak bakal bisa protes juga kan? Wong napas aja udah nggak ada. Saya juga nggak bisa mengeluh kalau suatu hari nanti penanggungjawab saya kehabisan uang untuk menyewa sepetak tanah kuburan dan belulang saya ditimbun mayat baru.
Terus? Kesimpulannya apa, Pit?
Ya mati mah mati aja. Mau diapain nanti kan cuma bisa ngarep pas hidup. Sementara itu? Ya dinikmati saja =P
di toraja nda dibakar, pit, tapi ditaro di gunung kaya yang ada di kete kesu sama di londa. :D
ReplyDeleteah! owkey. diedit deh. makasiiih =D
ReplyDeleteTulisanmu menginspirasi, tak seperti tali bh-mu
ReplyDeleteom2 bawel!
ReplyDelete*bejek-bejek*
Dari Tanah Air, upacara kematian di Tanah Toraja tidak kalah menariknya. Seakan2 menjadi sebuah "festive". Saya nontonnya di TLC.
ReplyDeletegak setuju kalo usaha menghormati kerabat yang pergi meninggalkan dunia disebut sebagai kemunafikan kolektif.
ReplyDeleteBroId
ReplyDeleteiya, pernah liat juga tapi udah lama. rada blur ingetnya. makanya tadinya juga nulis adat kematian Toraja dibakar, terus dikoreksi Nyunyu. akhirnya dipenggal lah Torajanya daripada misinformasi ((=
Anon
silakan untuk nggak setuju. besok2 kalo ga setuju ga usah takut pake nama. nggak bakal gw bantai juga kok. dan kalo bisa mah ga setujunya kenapa ya dikasitau, atuh. kentang kalo gito doang mah ((=
Suka sama semua tentang Yamamoto di Wind-up Chonicle, bagian terbaik menurut gw.
ReplyDeleteBtw seyakin-yakinnya gw tidak bahagia sama hidup! Gw masih takut mati #lalucurhat
*pukpuk Bang Noto*
ReplyDelete((=
Aku pengen toss pantat sama kamu ketika kamu bilang bahwa kematian adalah juga menyoal insting untuk mati. Sepakat!! Dari beberapa kali menyaksikan kematian secara langsung di UGD, ICU, ICCU, aku percaya kalo apa yang kamu bilang itu benar. Cerita sakaratul maut -nya Pram, rasa-rasanya juga pas dengan kondisi itu.
ReplyDeleteSoal mati suri cuma hasil kerja memori kolektif hasil implant film-film Holywood itu juga bener. Setiawan Djody, pas hampir mati gara-gara livernya udah rusak dan setelah ditransplant, mengalami hal itu. Ditanya pengalamannya, Djody bilang dengan menerawang, "Kayak di film Narnia.." Nah!!! :-)
Terus, soal tangisan buat orang meninggal, Ebes pernah nasehatin. Belakangan dia ngaku kalo dia ngutip Kho Ping Hoo. Katanya, "Orang kalo nangis pas seseorang yang meninggal tuh sebenernya nangisin dirinya sendiri. Bukan nangis untuk orang yang meninggal itu. Dia nangis karena mikirin dirinya yang ditinggal oleh yang meninggal. Dia juga nangis karena kebayang soal kesulitan-kesulitan yang bakal dia hadapi setelah si meninggal pergi. Yang meninggal mah nyantai kok." :-))
ah, elu mah ikut-ikutan gw mulu! =P
ReplyDelete