Tentang Tangan yang Terulur
"Lebih baik dua tangan bekerja [dan satu kepala berpikir] daripada dua tangan terkatup [dengan kepala tunduk] berdoa"
Rumah orangtua saya ada di kawasan bebas banjir. Maksudnya, jika hujan deras menyergap barang sehari-dua, banjir bisa bebas datang kapanpun dia mau. Saya--nggak tahu mau bilang "untungnya" atau "malangnya"--tidak tinggal bersama mereka dan adik saya satu-satunya. Jadi, saya nggak tahu rasanya terjebak banjir dan nggak bisa kemana-mana. Hanya dari cerita mereka saya bisa membayangkan susahnya makan, susah jalan, susah tidur, susah beol. Jangan bayangkan yang terakhir. Ngetiknya aja saya nggak tega. Beneran.
Kita nggak bisa lari dari fakta bahwa negeri tropis gemah-ripah-loh-jinawi (tapi rakyatnya banyak yang miskin) ini terletak di daerah rawan bencana. Ring of Fire yang terdiri dari gugusan gunung berapi aktif di bentangan tanah kita berpijak bisa saja memuntahkan lava dan lahar sewaktu-waktu. Belum potensi gempa dan tsunami. Tapi saya salut lho dengan solidaritas sesama pemegang KTP Indonesia (meskipun KTP saya hilang entah ke mana, komplit bersama dompetnya). Waktu dulu saya iseng bantu-bantu posko Merapi di Jakarta ada berdus-dus makanan kering dan mie instan, berkarung-karung selimut dan pakaian layak pakai, peralatan perawatan bayi, pakaian dalam lelaki dan perempuan berbagai ukuran, serta pembalut. Meskipun tiga jenis terakhir ini jumlahnya lebih sedikit ketimbang sumbangan mukena, jilbab, sarung dan sajadah.
Namun ada beberapa hal yang membuat saya mengernyitkan alis saat menyortir. Ternyata ada juga yang menjadikan kegiatan ini sebagai ajang buang sampah. Tidak sedikit saya dapati kardus berisi pakaian bekas yang di rumah saya bakal turun derajat jadi lap pengangkat panci panas atau untuk mengepel. Ada juga BH yang talinya sudah keriting, lengkap dengan bekas tusukan peniti di sana-sini, atau celana dalam yang bagian pinggangnya lebaaar sekali karena karetnya kendor. What the fuck?! Orang-orang itu… apa nggak mikir ya efek psikologis para pengungsi yang dapet bekas-bekasan kayak gitu?! Mereka itu lagi kesusahan, nggak punya pilihan selain harus meninggalkan rumah--tempat segala kebutuhan mereka terpenuhi--demi menyelamatkan nyawa yang cuma seiris. Masih harus dipersulit dengan pemberian seperti itu? Blah!
Oke, itu tadi muntahan tentang bantuan yang nyampah. Sekarang saya mau muntah yang lain.
Beberapa minggu lalu saya sempat nongkrong bareng penggiat LSM yang dulu pernah jadi sukarelawan untuk salah satu badan tanggap bencana. Dengan cengiran lebar dia mendengarkan saya yang bercerita nyolot tentang betapa nggak pake otaknya beberapa penyumbang yang punya mindset yang-penting-niat tanpa mengindahkan kelayakan dan keperluan yang disumbang. Apalagi meringankan pekerjaan pihak yang menyalurkan. Hal yang sama juga terjadi untuk bantuan yang bukan berupa sumbangan barang, namun tenaga, eksekusi ide, dan pelaksanaannya.
Misalnya, saya yang di Jakarta miris dengan kondisi sekolah di pedalaman yang saking terpencilnya Tuhan juga lupa udah ngelemparin mahluk apa aja buat hidup di situ. Anak-anak di sana belajar tanpa peralatan memadai, apalagi tempat. Dan saya mendengarnya dari salah seorang kenalan yang hobi blusukan dan sengaja nyasar beberapa hari di sana. Lalu saya iseng mengajak teman-teman yang peduli dan bikin kegiatan ngumpulin buku buat mereka. Beberapa waktu kemudian mission accomplished. Buku terkumpul. Disortir--memisahkan 'sampah' berupa buku-buku dewasa, LKS dan buku tulis bekas meskipun pengumuman jelas-jelas menyebutkan HANYA MENERIMA BUKU ANAK-ANAK. Dikirim--dengan biaya setara dengan pembelian dua kardus buku. Diterima--entah oleh siapa tanpa ada komunikasi akan dialihkan ke mana. Dan semua orang bisa pulang dengan bahagia.
Beneran bahagia? Yakin?
Satu hal yang sering saya lupa bahwa posisi duduk menentukan apa yang saya lihat. Dan buat saya mekanisme di atas hanya masturbasi kebaikan demi membungkam nurani yang (sepertinya? Pura-puranya?) tergedor karena ketimpangan fasilitas. Mentang-mentang di sana minim buku bukan berarti orang sana sama seperti saya yang menilai buku sebagai benda penting. Dengan cara itu saya nggak bisa monitor perkembangannya. Bayangkan, buku sebegitu banyak untuk beberapa puluh anak yang mungkin membaca saja masih terbata-bata. Apa yang akan mereka lakukan? Mungkin malah seperti sepupu cilik saya. Karena buku bejubel di dalam rumah dia dengan santai menyobeki ensiklopedi yang satu edisinya seharga lima juta dan membuatnya jadi kapal-kapalan. Atau mungkin dibakar untuk menyulut api di pawon. Atau mungkin malah dijual lagi. Kita nggak pernah tahu.
Jadi mesti gimana dong?!
Dari obrolan saya dengan om LSM kami sepakat bahwa membantu itu nggak boleh setengah-setengah. Kalau mau bikin kegiatan semacam voluntarism atau kesukarelaan maka survei dan data pendukungnya mesti kenceng dan faktual. Misalnya mau menggalang bantuan untuk korban bencana, tanya contact person di lapangan butuhnya apa aja. Ikutin aturan mereka biar ngurusnya juga nggak menyulitkan. Teruskan informasi ini dengan bahasa lugas biar penyumbang juga ngerti. Dan yang nyumbang juga mesti paham cara mainnya. Jangan ngomel kalo sumbangannya nggak diterima karena nggak sesuai kebutuhan. Ilangin deh tuh mindset kita-kan-nyumbangnya-ikhlas atau yang-penting-niatnya-nyumbang. Nyusahin, tauk! Nambah-nambahin kerjaan tukang sortir dan tukang audit. Begitupun untuk realisasi ide semisal sekolah baca kecil-kecilan. Cari yang deket aja dulu. Diliat juga sasarannya ke mana, rentang usianya berapa sampe berapa, kemampuan baca mereka gimana.
Penting juga buat ukur kemampuan, jangan sampe ngos-ngosan di tengah jalan. Karenanya, napas mesti panjang dan semangat nggak boleh kendor. Itu sangat perlu dukungan, lho. Nggak salah kok buat gabung di kelompok-kelompok yang seide tapi daerah 'jajahan'nya beda. Malah bisa saling support dan tukeran info. Tinggal kemauan kita aja, seberapa besar kita mau babak bundas buat orang lain dan menggilas ego sendiri untuk menentukan "bendera" siapa yang ingin dikibarkan.
Nggak cuma niat baik yang diutamakan, tapi batasan juga harus dibuat. Mau ngebantuin sampe mana? Parameternya bisa dari perubahan seperti apa yang mau kita upayakan. Kalo kita mau bikin posko bantuan untuk sebulan, kasih batasan. Atur-atur deh tuh sampai kapan penggalangannya, nyortirnya berapa lama, dan nyalurinnya ke mana. Kalo perubahan yang kita inginkan--misalnya--bikin anak umur 7 lancar baca-tulis, bikin lah timeline-nya, tenggatnya sampai kapan, dan jangan lupa data dalam bentuk progress report.
Yang sering nggak kepikiran adalah damage control. Beberapa teman mengalaminya sendiri waktu jadi sukarelawan untuk anak jalanan beberapa saat setelah programnya selesai. Adik-adik mereka ada yang kembali ke 'habitat' aslinya, ada yang merasa ditinggalkan, memendam kekecewaan dan malah tambah parah, ada juga yang jadi apatis. Atau beberapa program CSR korporat yang cuma buang-buang uang 'zakat' dan meninggalkan penduduk asli begitu saja ketika timeline terpenuhi tanpa peduli pada keseimbangan yang sudah teracak-acak.
Dengan prinsip sebentuk-sebangun saya mengikuti anjuran teman saya yang nggak suka memberi uang pada pengemis. Saya bawa ransel lumayan besar kemana-mana. Kamu pun muat di dalam situ. Makanya saya nggak merasa repot membekali diri dengan beberapa strip tablet vitamin C atau beberapa kotak susu atau biskuit dan air mineral. Dengan cara itu saya mempergunakan kedua tangan saya untuk berbagi, tak hanya mempekerjakan tangan kanan saya untuk mengulurkan selembar duaribuan sambil berdoa tanpa diketahui tangan kiri. Dan satu yang harus diingat: jangan pernah membantu sekali tapi nyusahinnya berkali-kali.
Oh, ngomong-ngomong, saya heran lho sama Anggota Dewan Yang Terhormat. PR mereka di Aceh, Wasior, Porong, Ternate, Sampang masih banyak dan keteteran, kok mereka sempet-sempetnya ngeributin renovasi toilet senilai 2 milyar ya?
Karena otak mereka sudah dekat rear exit, itupun kalo exist. Jadi butuh dong tempat duduk otak yang lebih nyaman...
ReplyDeletehaha! bener banget, Bro! ((=
ReplyDeletehah :o toilet 2 milyar ? kiro2 yok opo rupane yha ??
ReplyDelete*JLEB* *tertohok* :))
ReplyDeleteTapi kalau pengalamanku justru malah pernah sebaliknya.
Mereka yang butuh bantuan (dalam contoh kasusku) malah sampai eneg terlalu lama diasessment, ditanyai, disurvey tapi bantuan ngga dateng-dateng.
Tapi jangan digeneralisasi ya.
Tulisan yang bagus, Pit. ;)
Bu Istiqoroh
ReplyDeletehambuh. iso sisan njabuti jembut ketoke =P
Ipung
ya itu kan tinggal gimana pelaksanaan sama manajemen aja. kalo emang planningnya jalan, komunikasi internal bagus, amanah semua, harusnya ga sampe kek gitu. tapi gw ga bermaksud men-jleb2 dirimu lho. ini tamparan buat gw sendiri aja sebenernya =D