Tentang Perempuan

Saya melihat gambar di sebelah pada newsfeed jejaring sosial yang saya ikuti, terpampang begitu frontal dan liris. Sebrutal-brutalnya, ternyata saya masih memikirkan orang lain. Masih menimbang efek gambar sadis yang mungkin ditimbulkan bagi siapapun yang nyasar ke sini. Persiapkan nyali jika ingin melihat wajah Aisha, perempuan Afghan yang terpampang di sampul majalah Time edisi 9 Agustus, secara penuh di sini. Esai fotonya ada di sini, menyajikan perempuan-perempuan hebat penggugat hukum negara kaku dalam bahasa visual. Saya tunjukkan foto tersebut pada Paman Tyo yang kebetulan melintas. Saya nakal. Saya ingin melihat bagaimana reaksinya sebagai orang yang sangat paham bahasa visual. Dan ia membuang muka, nggak tega katanya.

Sedikit tentang Aisha. Dari sekeping berita yang saya baca, ia berusia enam belas waktu berusaha kabur dari rumah akibat suami dan keluarga misan yang suka menyiksa, dua tahun lalu. Bukan berita baru sebenarnya. Perempuan Afghan, seperti halnya di negara-negara Arab, adalah properti bagi lelaki, bagi suami, abang atau adik, kakek dan bagi ayah. Mereka adalah budak yang harus melakukan semua perintah lelaki karena berpenis berarti berkuasa, menunjuk jidat perempuan dengan tangan kanan untuk tunduk bersimpuh di bawah kaki sambil memegang kitab suci di tangan kiri. Sistem najis nan tiran, sungguh.

Saya masih terkaget-kaget membaca kisah singkat Aisha saat om-om mbois wangi kolak ini datang entah dari mana. Dia saya todong untuk jadi dosen jurnalistik kilat tentang foto provokatif tersebut mengingat profesinya sebagai wartawan senior sekaligus pemred di sebuah media.

"Time gimana sih, Ndor? Itu majalah kan dijual di lapak-lapak outdoor. Kok sampulnya kayak gitu? Siapapun yang lewat dan punya mata bisa liat itu gambar mengerikan, mulai dari anjing, kucing, bocah sampe orang bau tanah. Mana itu hukum perlindungan untuk minor?! Katanya Amrik paling concern sama gitu-gituan. Kok ya bisa lolos sih?!" tanya saya memberondong.

"Wah, kamu baca aja itu di "To Our Reader"nya. Disitu editornya njelasin kalo mereka udah konsultasi sama psikolog-psikolog anak dan tau banget gimana efeknya dan tetep mutusin buat naek," jelasnya kalem.

"Ya kan bisa dijaketin gitu. Majalah-majalah Indonesia aja banyak kan yang ngejaketin pake iklan?" tukas saya ngeyel.

Lalu meluncurlah diskusi kecil tentang bagaimana Afghanistan itu sesungguhnya. Negara yang tercerai-berai saat Perancis dan Rusia menguasai jalur minyak yang tersimpan di bawah tanahnya; dan pemerintah Amerika Serikat dengan licik menghibahkan dana perang untuk Pakistan melawan Afghanistan lalu digulirkan Pakistan secara pintar ke Afghanistan untuk memerangi tentara-tentara Amerika sendiri. Mirip kasus Oliver North era 80-an (CMIIW, saya masih nggak pede ngulik masalah sejarah kayak gini. Gimana Pakdhe Pamei?).

Saya, yang sudah sangat terkontaminasi oleh teori konspirasi dan sering gotak-gatik-gatuk nggak penting, kemudian sok-sokan mencoba melihat semua melalui helikopter.

"Halah, itu Amrik kan emang mau ngangkat pakek blowup tentang perempuan Afghan. Paduné pengen dibilang pembebas, tooo... Biar jadi pahlawan tooo... Terus ntar perempuan-perempuan itu mendewa-dewakan penyelamat bule dari Barat itu buat balik nyerang pemerintahnya sendiri. Iya tooo..." tukas saya sengit.

"Haha... Ya kamu tau sendiri lah, Pit. Namanya aja propaganda."

Saya mendadak amat sangat bersyukur tinggal di Indonesia, Jakarta tepatnya, yang pemerintahannya jadi seperti malaikat dibanding Afghanistan. Saya masih bisa maki-maki teman maupun sepupu lelaki saya dan bisa protes jika Babab ngembat satu-satunya LA Lights Menthol saya yang tersisa. Saya masih beruntung punya blog tempat muntah, sekolah sampai mampus, atau jalan-jalan kemana saja sendirian.

Namun saya amat sangat menyayangkan beberapa perempuan yang tidak melihat the silver line behind the cloud bernama kebebasan berpendapat di sini, di tempat yang kadang bangsat terlaknat. Masih banyak hal yang dapat dibedah ketimbang cari tahu siapa memakai apa. Daripada bisik-bisik di kubu mana dia berada dalam perang dingin antara dua perempuan, lebih menarik mengerkah mitos dibalik PMS dan siklusnya lalu mewartakannya di blog atau catatan. Seperti sambil menyelam minum susu. Sekali menulis, karena ingin cari tahu dan cari bahan tulisan, akan banyak riset online dan bacaan-bacaan temuan yang menghabiskan waktu dan konsentrasi. Itu akan menambah informasi dan ilmu, yang terkadang memang nggak terlalu perlu. Bagi saya itu lebih berguna alih-alih sakit hati sirik-sirikan nggak penting. Toh juga nggak akan bikin tingkat kemiskinan di Indonesia jadi berkurang secara drastis, atau memintarkan anak-anak yang nggak bisa sekolah, misalnya.

Saya mungkin diberkahi dengan begitu banyak begawan online sarat ilmu yang saya temui wujudnya duduk semeja di tempat nongkrong, sebuah angkringan sederhana dengan hotspot gratisan yang sering saya abuse untuk mengunduh anime. Mereka tak pelit berbagi pengetahuan tentang apapun, dari yang remeh maupun berat, etimologi bahasa atau reaksi kimia antara lelaki dan perempuan, hingga sejarah musik rock. Kadang saya hanya mendengar, kadang protes, atau bengong dengan pernyataan-pernyataan mereka. Sebagaimana kakek tua yang mengajar di padepokan, mereka akan sabar mendengar sambat dan lembut memadamkan tiap letupan pertanyaan. Dan mereka lelaki.

Saya percaya perbedaan otak lelaki dengan perempuan. Tanya Tuhan Google atau teman-teman yang sempat belajar patologi sana untuk lebih jelasnya. Namun tidak berarti kemampuan berpikir perempuan lebih payah ketimbang lelaki. Bukan berarti kami lebih rendah dari mahluk berpenis. Rasanya sayang sekali mengaliri korteks otak dengan pikiran-pikiran cabul tentang berbagai asumsi yang belum tentu kebenarannya. Atau merusaknya dengan mengingat hal-hal yang kelihatannya menyakitkan. Kelihatannya.

Saya ngeri membayangkan negara ini dikuasai fatwa kosong dan FPI dan semua perempuan wajib bercadar demi menahan syahwat lelaki. Saya juga takut gedung-gedung pencakar langit Jakarta bersih tersapu tsunami dan mata uang rupiah kena redenominasi. Tapi sebelum semua itu terjadi, saya haturkan syukur dalam setiap tarikan napas karena saya, perempuan, masih bisa menghela udara dari kepala yang bebas.

Comments

  1. iya, sbg perempuan gue jg takut banget klo suatu hari negara tempat gue tinggal mewajibkan perempuan harus pake cadar, kain segede sprei, kudu diem di rumah terus, dan gak boleh berpendapat. selain itu, masih pula diperbolehkan untuk dianiaya laki2, klo menurut mereka kita salah (bahkan pada saat sbnernya kita gak salah)
    horor.

    ReplyDelete
  2. Bagus sekali tulisan ini, Mbak Pito. Bukan artinya tulisan yang dulu-dulu tidak. Saya kagum dengan analisi perempuan Indonesia terhadap perempuan Indonesia lainnya dari sudut pandang humanisme.

    Brava!

    ReplyDelete
  3. Aisha kita latih karate aja!!

    ReplyDelete
  4. Lea
    ya... gwa mah mending pindah kalo gitu, le. ke negara mana kek. hehe.

    Bangaip
    widih. bangaip ampe nyasar ke sini!
    *sisiran*
    wah, saya ga sekeren perempuan2 indonesia yg laen kok, bang. cuma bisa muntah2 ga puguh doang. hehe. salam buat dedek novi dan ibu nyonyah (=

    nDaru
    ketoke asik iku.

    ReplyDelete
  5. masih bersyukur indonesia masih bisa di huni oleh perempuan meskipun perlakuannya ke perempuan juga makin aneh2 aja

    ReplyDelete
  6. Sesy
    hehe. sing sabaaaaaaaaaaaaaaaaaaar =P

    ReplyDelete
  7. Udah terlanjur cinta Indonesia nih, seisi-isinya termasuk semua permasalahan yang ada... :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women