Being Nostalgic

Saya tidak begitu suka bertandang ke reuni apapun. Seumur-umur saya ikut-ikutan sekolah, dari SD hingga universitas--yang kemudian saya Dancing Out dengan bangganya itu--saya cuma sekali nongol di reuni-reunian teman sekampus. Itu pun setelah tanpa sengaja baca status Facebook seorang kawan lama.

Saya datang sore itu ke foodcourt sebuah mall di Jakarta dan mereka bilang saya tidak berubah--komentar sama yang saya dapat beberapa tahun lalu ketika bertemu teman SMA di kereta Jabotabek. Gaya pakaian saya masih yang itu-itu juga: jins, kaos, sneakers butut dan ransel. Mungkin rambut saja yang bertambah pendek, badan tumbuh ke samping dan mata makin rabun karena kebiasaan jelek membaca sambil tiduran. Sementara kakak-kakak kelas dan teman seangkatan menjelma trendi dan lebih sumringah. Beberapa bahkan membawa bayi, bersama suami. Ada yang asik memainkan rambut mantan pacar (dan melupakan bapaknya anak-anak di rumah barang sejenak), atau heboh foto-foto. Saya, seperti biasa, sangat sadar kamera. Maksudnya, tiap ada kamera yang sekiranya mengarah ke muka, saya langsung menghindar. Hehe. Gilanya lagi, saya malah menyeret mas-mas kakak kelas untuk berlindung di smoking area. Lebih nyaman begitu, ngobrol berdua atau bertiga sambil ngopi dan mengudap pisang goreng bertabur keju. Lagipula, ingatan saya payah. Saya seringkali tersenyum bodoh di tengah meledaknya tawa mereka yang menceritakan berbagai pengalaman menggelikan dan saya lupa pernah terjadi.

Mungkin saya yang norak karena nggak pernah datang reunian, atau memang begitu cara menilai seberapa jauh langkah orang lain. Saya disuguhi pertanyaan-pertanyaan klise semacam "Eh, udah kawin?" atau "Sekarang kerja dimana?". Sederhana, memang. Namun mengganggu sekali. Dan saya hampir tidak dapat menahan godaan untuk menjawab "Udah pernah dua-duanya". Lepas dari status saya yang saat itu jomblo bangsat (ya... sampe sekarang juga masih, sih) atau baru saja resign dari pabrik topeng, bagi saya dua hal tersebut sangat pribadi. Apalagi melihat ekspresi para penanya yang sepertinya sedih ketika saya menjawab "Belum" dan "Wah, gwa baruuu aja jadi pengangguran!".

Saya sadar betul bahwa saya seperti magnet buat orang-orang "lurus". Mereka mendekat tanpa saya mau, berusaha membuat saya nggak terlalu "belok-belok". Dan itu saya rasakan ketika beberapa orang berkomentar sama: "Lo masih kayak dulu aja, bandel. Insap woi, insap!" dengan wajah penuh kemenangan dan pamer keberhasilan karena laris dan produktif: menikah (atau setidaknya punya gandengan) dan beranak-pinak. Reaksi saya? Hanya nyengir dengan wajah setolol mungkin dan berkilah "Mbok dicariin to, Mbak. Ya pacar, ya gawean." Andai mereka tahu bahwa saya berencana melajang sampai mampus dan leha-leha ngurusin anjing alih-alih membudak dengan kaki terantai di kursi, entah bagaimana reaksinya.

Namun saya sangat menghargai raut lain yang prihatin dari salah satu mbak-mbakan saya. Mbak yang memang pengasih dan penyayang sangat namun tidak "maha" seperti tuhan. Dia memperlakukan saya layaknya adik kecil sejak kami pertama kenal, dan ia tidak lupa itu. Dia masih membelai kepala atau mengelus pipi saya dan memanggil "Nduk". Dulu saya sering numpang tidur di kamar kosnya dekat kampus jika saya tepar tak punya daya. Apa boleh bikin, daur hidup saya memang serupa vampir sampai sekarang.

Saya memang tidak pernah terlalu akrab dengan teman-teman sekolah, dalam tingkatan apapun. Hubungan kami murni simbiosis mutualis. Semacam "lo butuh, lo dateng ke gwa. Gwa butuh, ya gwa yang dateng ke elu". Biasanya terjadi saat saya harus mengerjakan tugas kelompok atau perlu tumpangan komputer demi seuprit paper. Ada beberapa jiwa yang "nyangkut" atau tinggal berdekatan, dan karena itu kami berkawan erat. Tapi saya seperti punya pemilah otomatis yang memisahkan antara teman sekolah dan teman di rumah. Entah kenapa.

Memang agak mengejutkan ketika saya ngeh bahwa semakin berumur saya semakin menghindari kerumunan. Rasanya pengap berada dalam kelompok yang saling menyamakan timeline dan berbagi progress report tentang apa saja yang sudah mereka dapat dan perbuat beberapa tahun terakhir. Dan penanda paling jelas ya... apalagi jika bukan sesuatu yang terlihat secara fisik? Penampilan, misalnya. Karena saya nggak punyaan kali ya, makanya saya bawaannya jengah aja dengan penghakiman seperti itu. Hihi.

Atau... mungkin setelah sekian lama orang enggan untuk tidak memakai topeng di hadapan sahabat lawas. Rentang waktu memang akan selalu membuat orang berubah, hingga tanpa sadar kami memasang benteng virtual dan terlalu berhati-hati menjaga perasaan lawan bicara. Makanya, hanya yang sekiranya tertangkap mata saja yang ditanyakan. Atau... semacam "guilty pleasure of being a little megalomaniac" dan demi eksistensi makanya kami agak puas melihat orang lain berada di bawah standar yang kami buat sendiri.

Lebih parah lagi, jangan-jangan saya hanya iri karena saya tidak semenyenangkan orang lain?

Apapun alasan dan kesan yang kami bawa pulang saat itu, nostalgia bagi saya hanya racun emosi yang menggerogoti dari dalam, diam-diam, membutakan pandangan saya ke depan. Sungguh, saya tidak ingin menabrak apapun saat saya berjalan maju hanya karena terlalu sering menoleh ke belakang.

Gambar diambil dari sini.

Comments

  1. gak sedikit yg sengaja membanding2kan pencapaian dia dgn temen2 yg lain, trutama mgkn ke org yg dia sebelin, atau dulu dia sirik banget.

    tp bukan brarti gak ada yg emang beneran nanya hanya krn dia peduli.

    eh, iya ga ya? :p

    ReplyDelete
  2. bwener banget, beibiiiii!!! ah, gwa cinta ama elu le kalo gini caranya. mwah!

    ReplyDelete
  3. testttt...koimen gue drtd ilang mulu

    ReplyDelete
  4. hm...dan gue melewatkan reuni smu kemaren untuk alasan yang hampir mirip. muak dengan pertanyaan standar atau komen standar macam "ih, kamu meuni gak berubah", atau "ih, beda nya' kamu teh sekarang"...padahal mereka kenal gue dekat aja nggak...sounds traumatic yah ?

    ReplyDelete
  5. dududududu...
    *nyanyi2 kecil sambil liat cicak di langit2*

    ReplyDelete
  6. Saya lupa trakir kapan saya ikutan reuni. Bukan karena saya ndak pernah ikut, justru karena saya selalu ikut reuni2an itu
    dan seperti yang saya pikirkan dari rumah, akan banyak pertanyaan2 seperti yang situ tulis diatas itu membombardir saya, dan kemudian menyalah2kan saya atas
    keputusan yang saya ambil dalam hidup saya
    entahlah,saya ndak punya sebuah ingatan selama saya sekolah untuk saya sebut nostalgia, saya ndak sepopuler temen saya yang hobi pakek baju balita dan memperlihatkan udel bodong mereka,
    atau sehebat temen saya satu lagi yang menang basket se-jabotabek, ato sepintar temen saya satu lagi yang apal semua rumus kimia..saya hanya memaknai reuni sama seperti arti harafiahnya saja..Berkumpul kembali,setelah itu ya sudah..remulti lagi

    ReplyDelete
  7. hihi. remulti ya? lucu, lucu ((=

    ReplyDelete
  8. BabyLuv7:01 PM

    Err, terkadang ya pit berteman ga cuma sekedar "lo butuh, lo dateng ke gwa. Gwa butuh, ya gwa yang dateng ke elu"....tapi ya butuh ga butuh lo tau a friend will always be there for you ;D.

    ReplyDelete
  9. ahhh... kamu membuatku tidak bisa berkata-kataaaaa...

    ReplyDelete
  10. BabyLuv10:31 PM

    ga bisa berkata-kata apa mendadak langsung jadi ngantuk boongan?? alias ngacirrr

    ReplyDelete
  11. you knew me too damn well *blushing*

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women