Adikku Pekerja
Dia pulang larut malam pukul sebelas. Ibu dan aku menunggu di teras depan, cemas. Apa jadinya hari pertama training si bungsu manja yang masih suka tidur di pelukan Ibu itu.
Lalu dia datang bersama Babab yang menjemputnya. Wajahnya lelah. Rambutnya berantakan. Rias wajah tipis yang dipoleskan oleh Ibu tadi pagi memudar. Setelah menghempaskan diri di kursi, airmata tiba-tiba menetes tanpa mengindahkan tanya yang mengambang di wajah kami.
"Capek... Kakinya lecet berat gara-gara pake sepatu baru... Sebel..."
Duh, Dek. Berdiri di resto Cina yang ada di salah satu Mal besar Jakarta memang bukan hal enteng. Kamu harus menahan hati dengan senyum siap sedia, melayani dan memandangi orang-orang kaya yang bebas-merdeka menikmati makanan harga jutaan (meskipun kamu tahu ada banyak anak-anak pengojek payung kedinginan di luar). Dengan gaji 15,000 per hari--yang kamu dapat secara akumulatif setelah dua minggu disiksa dalam 11 jam kerja sebelum kamu diperas dengan bayaran lebih tinggi--bonusmu adalah melirik artis-artis sinetron yang ganteng dan cakep. Dan mengenal para pekerja lain dan menyelami sikap mereka selama menjadi mesin duit.
Kamu harus ingat, bagaimanapun kamu manusia yang punya nilai kemanusiaan.
Jangan jadi batu, Sayang. Gerakkan nalar yang merupakan berkah terbesar dari alam. Gunakan hati dalam setiap sikap. Jadilah beda dari alat pabrik, karena kamu bukan mesin penghasil duit. Itu yang berkali-kali kutekankan padamu, Dinda: KAMU MANUSIA!!!
[...dan aku nyeri mendengar kamu berkomentar, "Bahkan untuk baca koran pun sekarang udah nggak ada waktu..."]
Lalu dia datang bersama Babab yang menjemputnya. Wajahnya lelah. Rambutnya berantakan. Rias wajah tipis yang dipoleskan oleh Ibu tadi pagi memudar. Setelah menghempaskan diri di kursi, airmata tiba-tiba menetes tanpa mengindahkan tanya yang mengambang di wajah kami.
"Capek... Kakinya lecet berat gara-gara pake sepatu baru... Sebel..."
Duh, Dek. Berdiri di resto Cina yang ada di salah satu Mal besar Jakarta memang bukan hal enteng. Kamu harus menahan hati dengan senyum siap sedia, melayani dan memandangi orang-orang kaya yang bebas-merdeka menikmati makanan harga jutaan (meskipun kamu tahu ada banyak anak-anak pengojek payung kedinginan di luar). Dengan gaji 15,000 per hari--yang kamu dapat secara akumulatif setelah dua minggu disiksa dalam 11 jam kerja sebelum kamu diperas dengan bayaran lebih tinggi--bonusmu adalah melirik artis-artis sinetron yang ganteng dan cakep. Dan mengenal para pekerja lain dan menyelami sikap mereka selama menjadi mesin duit.
Kamu harus ingat, bagaimanapun kamu manusia yang punya nilai kemanusiaan.
Jangan jadi batu, Sayang. Gerakkan nalar yang merupakan berkah terbesar dari alam. Gunakan hati dalam setiap sikap. Jadilah beda dari alat pabrik, karena kamu bukan mesin penghasil duit. Itu yang berkali-kali kutekankan padamu, Dinda: KAMU MANUSIA!!!
[...dan aku nyeri mendengar kamu berkomentar, "Bahkan untuk baca koran pun sekarang udah nggak ada waktu..."]
pertama
ReplyDeleteMayDay udah lewat khan ya
ReplyDeletePito, dedek sekarang sudah kerja ya?? or sambil kuliah?
ReplyDeletewah, dedeknya sudah kerja? selamat!
ReplyDeletebekerja untuk makan dengan cara melihat orang lain makan makanan yang berharga satu bulan gaji yang pas-pasan buat dimakan namanya aja cari makan. :P
*apaan sih*
hihihi...
btw, hidup memang aneh ya pit.
ada manusia yang sekali makan habisin duwit jutaan,
dan ada juga manusia yang kalau bisa makan satu kali sehari saja sudah terhitung sangat mujur.
padahal manusia-manusia itu hidup di atas petak tanah yang sama.
mungkin karena efek samping sistem kapitalis kali yak.
(duh... kok aku ngetiknya kayak komunis aja :P)
kembali ke soal makan-memakan.
saat aku sedang bahagia mengunyah nasi warteg, aku pernah berpikir,
apa orang-orang kaya yang makannya di tempat 'wah' itu juga merasakan kenikmatan makan
yang sama seperti yang aku rasakan saat mengunyah tempe orik nan legit?
Dan akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa mereka memang juga merasakan nikmat makan yang sama atau bahkan lebih dibanding aku,
tapi apakah mereka bahagia? apakah mereka menghargai dan mensyukuri makanan yang masuk dalam perut mereka?
BELUM TENTU.
dan aku jadi senang, karena aku termasuk orang yang bahagia dan bersyukur dalam urusan makan.
cuman sayangnya aku masih pengangguran, sudah hampir 3 bulan kehilangan status karyawan. :P
dalam hal ini dedekmu sudah menang selangkah di depan aku.
sekali lagi SELAMAT!!
dan....
MAKAN-MAKAN!!™
Semoga tidak berkelanjutan "terjebaknya". Like me...Hiks hiks hiks..
ReplyDelete