Jaen Idup di Bali (?)

Janggan, salah satu jenis layangan tradisional Bali yang selalu ada dalam setiap festival layang-layang mulai awal Agustus hingga Oktober



Saat entry ini dibuat, Bali sedang riweuh. Gunung Agung yang akhirnya tak kuasa menahan gejolak dalam dada mulai terbatuk-batuk sejak lima hari lalu. Saya masih lumayan beruntung. Tempat saya tinggal di Ubud bahkan tidak tersentuh abu vulkanik meskipun saya masih bingung sebentar lagi kontrakan habis.

Tapi saya nggak mau ngomong soal Gunung Agung. Saya mau cerita soal manusia yang bersinggungan dengan saya kemarin pagi utuk-utuk.

Karena malas basah-basahan pulang dari ngopi-ngopi ngantuk di Sanur, saya menunggu hujan di teras CK. Jam empat lebih sedikit dan mas-mas dengan jaket salah satu ojol tergopoh-gopoh setelah memarkir motornya dan minta izin duduk di depan saya. Beberapa saat basa-basi-busuk lalu dia cerita habis "dikerjain" kastemer. Soto daging sapi dan seporsi nasi yang dipesan tak bisa dia antarkan karena mbak yang order nggak bisa dikontak. Saya yang sering baca drama-dramanya di Instagram ya trenyuh to yaaa. Karena masih ada uang lebih saya bayarin lah itu soto sengketa.

Hujan masih belum reda, kami ngobrol lagi. Babang ojol itu cerita dia belum sebulan di Bali, datang karena rayuan seseorang yang akan memberinya pekerjaan sebagai supir, profesi yang sempat dijalaninya di Arab Saudi. Kampretnya, bukan pekerjaan yang dia dapatkan melainkan tawaran berbisnis online yang dia diharuskan setor 8 juta untuk modal. Akhirnya dia sambung hidup menjadi rider ojol.

"Dulu minimal di dompet sih ada 500 sampai sejuta. Beli sabu gampang. Tapi sekarang boro-boro. Sampe turun derajat pake Android. Biasanya saya pegang iPhone," katanya. Saya hanya manggut-manggut sambil mendekap sayang Android mahal pemberian teman yang duitnya meteran. 

Dia tinggal di sekitaran Kuta dan sangat juwarang ke Sanur. Dia tidak tahu bahwa kami berada tepat di tengah kawasan prostitusi. Dia bahkan kaget ketika saya tunjuk beberapa "aquarium" yang jaraknya hanya selemparan kolor dari tempat kami duduk.

"Orang jadi jablay kan bego, Kak. Ada kerjaan baik-baik, eeeh dia malah kerja begituan," jawabnya sambil melotot memandangi mbak-mbak cantik berpiyama dan berambut tembaga dari ujung kepala ke ujung kaki yang berlalu di hadapannya. Sebagai pengeyel kelas wahid, saya berdalih bahwa profesi apapun adalah pilihan hidup seseorang. Ternyata kengeyelannya satu tingkat di atas saya. Ya saya nyengir aja.

"Kayak ini, nih. Cewek, lagi vidcall sama saya, dia malah lagi dibuking orang, live show. Saya mute aja lah," katanya sambil menunjuk-nunjuk ponselnya. Kembali, saya manggut-manggut.

Waktu saya tanya sudah jalan-jalan ke mana saja, dia hanya menggeleng.

"Nggak ke mana-mana, Kak. Saya ke sini kan cari duit, mosok jalan-jalan. Buang-buang duit aja," jawabnya.

Saya beritahu dia bahwa untuk masuk Pantai Sanur hanya membayar parkir motor dua ribu rupiah saja, tapi dia tetap tidak mau. Nggak ada kawan, katanya. Malas nongkrong sendirian. katanya. Dan tak ingin mengambil risiko ditolak perempuan jika nekad mengajak berkenalan dengan sesama pengunjung pantai, katanya.

Lagi-lagi saya nyengir. Saya ingatkan dia bahwa kedatangannya ke Bali juga adalah risiko.

"Makanya saya pengen pulang aja nih. Mendingan di Bekasi, udah kenal semua. Nggak ada risiko," katanya sambil matanya tak lepas memandang layar ponsel. Pasti mbak yang di sana (yang tadi sempat dia curhatin sebagai perempuan keras kepala karena nggak mau diajak pulang, dinikahi, dan dinafkahi secukupnya) sedang dalam posisi yang nggak-nggak.

"Itu mah mending kamu dipendem aja di kuburan, soalnya cuma orang mati yang nggak pernah nemu risiko. Oh, tau mbak-mbak yang tadi kamu liatin dari atas sampe bawah tadi? Itu PSK," sahut saya sambil nyaut backpack dan cus ke motor meninggalkan dia ternganga tak percaya.

Moral of the story: 
Kalo mampunya cuma bantuin Babang Ojol beli makanan sengketa nggak usah sok baik nemenin sampe dicurhatin, daripada pulang-pulang mikirin hidup dan bertanya-tanya mau ke mana setelah ini. 



Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women