Sunday (In)Sanity


Kelihatan kan tatonya mas-mas yang buwanyak itu? Percaya sama saya, itu mas ganteng, bersih, terlihat sehat dan pintar. Dan sebagaimana manusia pada umumnya yang “nobody’s perfect”, sayangnya masnya itu nggak punya empati. Begitu pula jejeran lima lelaki lain yang duduk di barisan belakang bus Metromini 72 arah Blok M-Lebak Bulus itu. Menyedihkan. Karena nggak ada satu pun dari mereka yang mau angkat bokong merelakan kursinya untuk dua orang ibu tua yang naik dari pintu di dekat mereka duduk, yang jelas-jelas bungkuk, keriput, terombang-ambing seiring manuver supir meliuk-liuk sambil tangannya menggapai-gapai cari pegangan. Dan saya? Nggak ngasih duduk juga dong! Wong saya juga berdiri nggak dapet kursi.

Oh, iya. Sebelum lanjut, saya mau kasih tahu aja. Saya akan judgmental abis di cerita-cerita saya nanti. Tahan ya, setidaknya sampai tulisan ini kelar.

Terus, saya juga mau cerita tentang para gerombolan lelaki yang suatu pagi numpang nonton Euro 2012 di warung Eyang Kolonel Sanders Bulungan yang buka 24 jam. Setelah beranjak meninggalkan tempat dengan abu dan puntung rokok serta sampah bekas makanan berserakan, mereka duduk bergerombol di pembatas jalan, menggoda mbak-mbak pekerja malam Melawai yang sedang melintas dengan siulan-siulan nakal dan komentar “satus ewu yoh, Mbak! Neng Sarkem sak mono, lho!” pada dingin jam empat pagi.

Dan kalau kamu ngikutin acara Indonesian Idol di RCTI tiap Sabtu—yang semalam akhirnya juga saya tonton itu—pasti nggak aneh dong ya dengan diundangnya peserta audisi yang gagal, disuruh nyanyi-nyanyi dan ditertawakan para juri jumawa dan penonton se-Indonesia.

Dari tiga cerita itu, hanya satu hal yang saya mau tanya: WHAT THE FUCK IS WRONG WITH YOU, PEOPLE?!

Untuk kasus mas ganteng bertato, saya nggak ngerti dia punya orangtua atau nggak. Jika punya, saya nggak tahu bagaimana ayah dan ibunya mendidik dia yang tidak tanggap terhadap kesulitan orang lain di depan mukanya sendiri. Dan saya juga tidak tahu prestasi dan kesuksesan macam apa yang membuat orangtuanya bangga, yang membuat mereka berkompromi dari pencapaian prestasi menjadi manusia sesungguhnya: berdayaguna bagi mahluk lain. Okelah, dengan tato semasif itu dan warna sebanyak itu mungkin dia cukup jago menahan perih-sakitnya jarum merajah kulit. Tapi celakanya dia tak punya indera perasa yang cukup bisa merasa kesusahan manusia lain yang mungkin mirip neneknya, budhenya, tantenya, mamanya sendiri, atau anggota keluarganya. Atau... mungkin itu memang nggak penting bagi mereka?

Di sini Mbak Tera juga tatoan lho, Mas! Nggak cuma kamu doang!

Pada kejadian pelecehan PSK Melawai oleh segerombolan lelaki tak berotak, rasanya sah-sah saja jika saya mendiskreditkan dan merendahkan mereka untuk setara dengan para “penjaga moral” sok suci yang merasa diri lebih baik daripada mahluk apapun. Pekerja Seks Komersil itu profesi tertua di dunia, lho. Keberadaannya ikut andil membentuk peradaban dan kebudayaan umat manusia. Dan sejujurnya, profesi PSK adalah salah satu pekerjaan paling berbahaya di dunia, karena taruhannya adalah nyawa, secara harfiah. Jika pelanggan menolak mengenakan kondom, silakan lihat di sini supaya kamu tahu apa saja yang mengancam mbak-mbak cantik-seksi itu sepanjang waktu. Masih mending pedagang barang yang bisa lepas dari dirinya sendiri. Penjaja jasa seperti mereka ini melekat erat tak terpisahkan dengan “dagangan”nya. Mbak-mbak itu lebih punya nyali dibanding kalian, Mas! Jadi, who are you trying to fool, assholes?

Lalu Idol-idolan? Ini bagi saya lebih menakjubkan. Sebentuk dan sebangun seperti yang saya ceritain di sini. Bedanya, di Indonesian Idol itu “kekuasaan” dibagi-bagi antara juri dan pembawa acara yang sering melempar pertanyaan nggak mutu, bersama “rakyat Indonesia” yang didaku ikutan milih siapa yang terus tampil hingga minggu depan dan siapa yang harus pergi malam itu. Korbannya? Orang-orang lugu, polos, dan kamu bilang ndeso yang akan melakukan apapun demi masuk tipi dan dadah-dadah sama emak di rumah. “Kasih mereka kesempatan tampil,” kata pekerja televisi. “Mari tertawakan yang lebih culun, bodoh dan kampungan daripada kita,” saya membalas.

Terus apa yang salah dengan itu, Pit? Kita nggak salah, dong. Salah si ibu yang bepergian pas jam bus penuh. Salah si mbak milih profesi jadi PSK. Dan stasiun televisi juga akan melakukan apapun demi rating dan slot iklan berharga tinggi yang akan menghidupi hajat hidup orang banyak yang bekerja di dalam industri itu. For the greater cause. Itu lebih mulia. Menciptakan lapangan pekerjaan, mencetak sumber daya manusia kreatif.

Blah!

Saya sih nggak mau direpotkan pakai dogma agama atau nilai moral tinggi yang termaktub dalam buku-buku filsafat pengganjal pintu. Otak saya yang kecil nggak akan kuat untuk memproses kalimat-kalimat panjang yang banyak sekali sayapnya itu. Saya cuma pegang satu hal: kalau nggak mau dicubit, jangan mencubit. Dengan frase seciprit (namun pelaksanaannya luar biasa susah) itu saya dipaksa mengenakan sepatu orang lain, melihat apa yang mereka lihat, mendengar apa yang mereka dengar, merasa apa yang mereka rasa, meskipun dalam keterbatasan. Dan saya marah ketika saya bahkan tidak mau berbuat apapun, bahkan sekadar menegur para mahluk—yang saya asumsikan—berpenis yang terlihat sehat agar merelakan kursinya ditempati si ibu tua. Alasan saya? Repot amat sama urusan orang?! Saya juga nggak bisa membela mbak-mbak PSK Melawai demi keselamatan saya sendiri melawan beberapa puluh mas-mas (yang juga saya asumsikan) berpenis. Saya juga nggak bisa ngapa-ngapain selain ngomel di twitter dan muntah di sini waktu tahu setelah dibikin merinding oleh gegap-gempita penyanyi-penyanyi bening dan berbakat, saya juga dibikin merinding ketika semeja juri, sepanggung, se-studio (se-Indonesia?) tertawa-tawa dengan wajah bahagia menonton “topeng monyet” berwujud manusia bersuara fals dan cempreng. Buat apa to? Sebagai pembanding bagaimana nasib membedakan mereka yang lulus audisi dan mampu mempertahankan kerjap gemintangnya dengan peserta yang tahan (diper)malu(kan)? That’s total bullshit.

Tapi serius, kalau saya doang yang sendirian kayak begini, jangan-jangan saya gila?


Comments

  1. First of all, wow!!! Mbak Tera is pretty darn HOT!!!!! :D

    Kembali ke topik. Suka atau tidak suka itulah nilai nilai normatif (normative value) yang ada di budaya di masyarakat Indonesia. Mas bertato itu, mas mas berpenis penggoda PSK, dan para juri dan "juri" IndoIdol, mereka are not necessary EVIL, tapi nilai nilai yang mereka anut tidak sampai pada level 'politically correct'.

    Butuh satu-dua, atau bahkan lebih, generasi untuk membentuk sebuah masyarakat yang berperilaku beradab.

    Ayah saya, ketika naik BusWay dan berdiri, mendapat 'bantuan' dari seorang Mbak Mbak (yang tentunya saya rasa tidak berpenis) yang menegur Mas Mas yang duduk untuk memberikan kursinya kepada Ayah saya yang sudah 'senior'. It's good to know that there're 'civilized' people out there in our society like this Mbak Mbak, and like you. Hopefully we can shape our next gen to become a more civilized society.

    [sorry bahasa gado2]

    ReplyDelete
  2. exactly, BroId. masalah political correctness ini tambah menyedihkan aja rasanya makin ke sini karena ndak ada yg sadar. ndak masalah sih kalo perlu beberapa generasi buat bikin more civilized society, asal beneran more civilized aja ((=
    salam buat bokap yes. he did one hell of a great job educating his son (=

    ReplyDelete
  3. nunut mbaca saja mbak *mlipir*

    ReplyDelete
  4. monggo diuntal lincaknya, Pakdhe...
    *dikepruk*

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?