Quo Vadis, Perokok?
Gambar diambil dari sini |
Dan sesungguhnya, apa yang kau sebut kebebasan adalah mata rantai terkuat dari belenggumu
- Khalil Gibran on Freedom
Pernah merhatiin iklan rokok? Sebagai mantan buruh pabrik topeng, saya tahu tuh gimana babak bundasnya bikin konsep iklan yang nggak boleh menampilkan produk. Catchphrase dan visual mesti kuat supaya bisa menginfiltrasi benak manusia-manusia yang nggak sadar disusupi pesan subliminal agar “tersihir” kemudian membeli. Misalnya, bagaimana mengesankan perokok sebagai individu keren, insan yang bebas, sahabat yang baik, suka bergotong-royong, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka, endeswai, endesbrai. Blah!
Kalau bandwidthmu berlebih dan kamu bisa nonton yang di atas itu, kamu bakal ngeh bahwa peraturan pemerintah sama sekali nggak mengatur gempuran industri rokok di tanah air. Banyak warung rokok bersebelahan dengan sekolah dan bocah-bocah berseragam bebas mengeteng rokok meskipun jelas-jelas bertuliskan “hanya untuk 18+”. Belum lagi jika pemilik warung memfasilitasi tempatnya sebagai pelarian untuk bolos, seperti warung Mami di depan gang SMA saya dulu. Tapi gini deh. Mari kita coba geser pantat sedikit biar pandangan mata berubah.
Jangan salah. Saya perokok. Meskipun sempat ditolak gebetan yang anti rokok, saya nggak mau berhenti merokok hanya demi dia. Saya akan berhenti jika saya mau berhenti, bukan karena orang lain, bukan karena gebetan. Dan itu pilihan sadar saya, sebagai perempuan dan sebagai manusia. Dengan resiko dan konsekuensi apapun.
Saya juga jomblo dan kerap menyendiri dalam dunia kotak saya. Bersama teman setia berupa batang nikotin dan kopi pahit panas, melakukan apapun sesuka saya. Di kamar tertutup tanpa koneksi internet yang seringkali pengap jika kipas rusak itu saya temukan arti bebas tanpa mengganggu orang lain. Dengan noda kekuningan di jemari saya sendiri, bau mulut yang hanya saya rasakan sendiri, dan asap yang pelit tak saya bagi dengan orang lain.
Nggak usah nutup-nutupin lah. Kebanyakan perokok memang sering sewenang-wenang dengan kebiasaannya tanpa mempedulikan orang yang tidak merokok. Yang paling mengganggu adalah asap yang nggak bisa dikendalikan (kecuali kamu temannya Aang si Airbender), serta puntung dan abu yang jadi sampah. Tapi jika kita memang memilih merokok, itu hak azasi juga kan? Salah satu kebebasan memilih toh?
Namun, wahai para perokok, apakah harus seperti itu? Sadar nggak hak orang yang tidak merokok?
Saya nggak menuntut banyak kok dari orang-orang yang tingkat kemerdekaan dan demokrasi (yang dipaksakan)-nya masih bau kencur. Dan saya juga nggak sok-sokan menjaga hak yang bukan perokok. Lagi pun, siapa lah awak ini?! Tapi saya nggak suka kebebasan itu dikekang dalam kotak berlabel “either you with me or against me”. Pilihan itu nggak cuma dua. Ada pilihan ke tiga sebagaimana hitam dan putih ada abu-abu diantaranya. Jadi, nggak cuma “kalo lo perokok maka lo adalah musuh mereka yang nggak ngerokok”. Nggak, bukan seperti itu.
Saya selalu percaya bahwa tindakan berbicara lebih lantang ketimbang semua omongan dan janji-janji surga. Maka, jika kamu perokok, jadilah PR yang baik untuk dirimu sendiri. Tahan keinginan merokok di tempat umum atau dalam ruang tertutup, apalagi berpendingin. Dan kalau ada orang yang merokok di tempat seperti itu, bukan berarti memang diperbolehkan. Ada kalanya karena jumlah perokok lebih banyak di satu ruangan maka disahkan saja jadi tempat berasap, meskipun tidak pada tempatnya (halo, kantor-kantor instansi pemerintah semacam Kelurahan, Kecamatan, Kantor RW, Samsat, dan lain-lain!). Oh, apalagi bis dan moda transportasi umum lainnya. It’s a big no-no! Tegur saja bapak/mas/om yang merasa tidak bersalah karena merokok, nggak perlu sampai dia tahu juga kalau kamu perokok. Beberapa hari kemarin sepanjang perjalanan Radio Dalam-Pasar Minggu-Radio Dalam dan dengan berganti angkutan sebanyak enam kali, saya berhasil menegur 8 (iya! DE. LA. PAN!) orang lelaki yang naik dengan rokok menyala maupun baru mau akan bakar begitu pantatnya menyentuh kursi. Ya kadang apesnya sih kalau malah kita yang dipelototi ibu/mbak/tante yang ogah ribut karena menegur perokok di sebelahnya, padahal beberapa menit sebelumnya dia sudah kibas-kibas sambil terbatuk-batuk hebat hampir mati.
Dan yang harus lebih diperhatikan, jika kita sudah merasa ‘aman’ karena merokok di luar ruangan yang bukan tempat umum, jangan jadi iklan rokok berjalan yang mengesankan bahwa merokok itu adalah—sebagaimana yang terketik di paragraf pembuka—individu keren, insan yang bebas, sahabat yang baik, suka bergotong-royong, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka, endeswai, endesbrai. Lihat sekitar, ada anak kecilnya nggak? Ada ibu hamil atau menyusui nggak? Cukuplah kita, para perokok bangkotan, menjalani nasib kita masing-masing. Nggak usah lah secara sengaja maupun nggak, langsung dan tak langsung, kita jadi agen rekrutmen perokok muda. Cukup lah korporasi rokok itu jor-joran pasang iklan yang pintar memanfaatkan celah undang-undang dengan mensponsori acara musik dan olah raga serta jadi “good guy” berbaik-baik mendanai pemberdayaan perempuan, pendidikan, beasiswa, kewirausahaan, bahkan situs keagamaan. Ya nggak papa sih. Toh sebagaimana korporasi yang lain mereka juga punya keharusan CSR. Dan rokok juga sebenarnya hanya sekadar komoditas, barang, hasil produksi sebagaimana sembako. Tapi penting disadari bahaya dan konsekuensi rokok di baliknya. Oh, dan yang paling penting, efek gangguannya terhadap orang lain.
Dan—ini yang paling sederhana namun sering terlupa—sampah. Bawa asbak portable kecil lah ke mana-mana buat wadah abu dan puntung yang bisa ditutup rapat supaya nggak ngotorin saku atau tas, dan buang isinya ke tempat sampah buat dipakai lagi asbaknya. Bertanggungjawab, gitu. Nggak ngeberatin kok, nggak kayak nggotong-nggotong karung beras sekuintal.
Bekas kotak rokok yang berfungsi juga sebagai asbak. Terima kasih, Pak Haji Moehammad Sampoerna! Hihi. |
Tapi lagi-lagi, kembali pada individunya masing-masing sih. Mau pro atau kontra pada rokok dan tembakau, face it, man. It’s just business as usual. Semua itu cuma barang kebutuhan (maupun yang tidak dibutuhkan). Ada produsen, ada pembuat, dan mereka perlu pasar. Terkadang kita, sebagai konsumen, “dipaksa” membeli, butuh atau nggak. Yang merokok digeber dengan iklan rokok baru dan promosi yang ditawarkan mbak-mbak SPG cantik dan seksi. Yang tidak merokok ditakut-takuti dengan jor-joran bahaya asap rokok agar suplemen kesehatan dan masker laku keras. Tapi, sekali lagi, for the love of life, sadar lah pada apa yang kita gunakan dan yang terserap oleh indera. Cerdas lah sedikit. Jangan mau disetir korporasi pemegang kapital besar, yang pro maupun kontra rokok.
Jadi, duhai para perokok, gimana? Sekarang sadar kan? It's the attitude that counts, man. As always.
Oh, kemarin Hari Anti-Tembakau Sedunia, lho. Satu lagi hari-harian yang dibikin dengan layer “business as usual” di bawahnya. Hihi.
postingan ini yang gue tunggu, gak kaya timeline gue yang rusuh kemaren. Cuma gara-gara kemaren dilabeli hari tanpa tembakau sedunia, mendadak yang non-smoker merasa dapat ruang untuk menghujat dan nunjuk-nunjuk muka smoker. Dan yang smoker pun ga mau kalah berargumen dengan berbagai cara demi menyelamatkan kepulan asapnya. Riuh, gaungnya kedengeran kemana-kemana (mungkin). tapi gak kasih solusi apa-apa. Bisanya cuman bikin ribut doang....
ReplyDeleteThx untuk link videonya. Tobbt. I love u.. :D
ReplyDeleteTante Nyunyu
ReplyDeleteya kontra-produktif aja sih kalo maen salah2an. udah pada gede kok ya ga pada mau mikir ((=
Bro Id
and I love you more. hahay!
yatapi jomblonya jangan diumbar umbar dong. keliatan banget sih usahanya. ckckckckck
ReplyDelete*Naik Haji*
SAUDARA ZIA ULHAQ! ((=
ReplyDeleteyakali gitu, Zi, gw ngomong jomblo di sini bakal ada gitu cowok ganteng-hetero-pinter-seksi-kaya yg tertarik dan jadiin gw pacarnya. huahahaha!
Hello nice post
ReplyDelete