Tentang Ibadah

"Seharusnya ayahmu tidak berhenti hanya untuk menyembah Yang Kuasa. Patung-patung yang beliau bikin adalah mahakarya. Ia menyembah Tuhan dengan cara itu, menggunakan talentanya untuk menghasilkan karya seni. Itu sembahyangnya. Sayang sekali jika ia akhirnya harus bersembahyang seperti orang-orang pada umumnya."

Kata-kata itu diucapkan seorang om-om gondrong sepunggung yang kira-kira usianya awal empat puluh. Tanpa sengaja pameran lukisannya saya datangi, keisengan yang menjadi momentum ketika meninggalkan Jogja tahun 2006 silam. Takzim ia mengucap, seperti mengungkap penyesalan dengan tatapan penuh rasa prihatin pada teman saya yang ternyata ayahnya adalah seorang pematung legendaris di dunia seni. Lalu ia ucapkan duka cita ketika tahu paman saya (yang kini almarhum)--yang ternyata kawan kuliahnya di ASRI dulu--mengidap gagal ginjal kronis.

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya menetap di Kota Mayat, saya dapati berbagai orang dengan sembahyangnya sendiri-sendiri. Entah karena sadar, entah karena tidak punya uang untuk mudik ketika penghujung Ramadhan hanya tinggal hitungan hari. Seorang bapak penjual nasi goreng berkata pada saya, dengan wajah sabar sambil tertawa renyah, "daripada saya mudik, ngabisin duit tabungan sekolah anak, mending saya jualan. Lebih berguna saya di sini, ngasih makan SPG dan SPB yang masih harus jaga toko habis Lebaran. Kan nggak ada warung yang buka, Mbak." Begitu katanya.

Lalu saya iseng bertanya pada salah seorang kawan yang bekerja sebagai paramedik di salah satu rumah sakit Jawa Timur.

"Cuti berapa hari? Ngumpul dong, sama ponakan," tanya saya.

"Ndak. Aku jaga. Lebih sering jaga pas Lebaran ketimbang cuti," jawabnya.

Jawaban selanjutnya ternyata hampir sama dengan penjual nasi goreng yang saya temui dulu.

Tadinya saya tak begitu mengerti tentang mahakarya yang adalah sembahyang. Hingga pada suatu hari saya membaca semacam biografi dari seorang Bapak Bangsa sekaligus tokoh pelestarian lingkungan Emil Salim. Pada kata pengantar ia berkata:

Bekerja bagi Indonesia adalah menjadi yang terbaik. Jika kau seorang pelajar, jadilah pelajar terbaik. Jika kau seorang guru, jadilah guru terbaik. Jika kau seorang karyawan, jadilah karyawan terbaik.

Nasihatnya sederhana sekali: menjadi yang terbaik, untuk peran apapun yang dijalankan tiap manusia di dunia. Bahkan menjadi penjahat sekali pun.

Bagi saya, itu dahsyat, tentang bagaimana konsistensi untuk terus berada dalam standar tinggi tanpa sedikit pun tergoyahkan. Tidak banyak yang tahan terhadap nilai-nilai yang ditetapkan dan dijalankan sendiri. Tak ada kontrol, tak ada yang melihat, tak ada yang harus dipertanggungjawabkan kecuali pada badan sendiri. Hanya segelintir orang yang mampu kaffah dalam tingkatan itu. Dan seorang tukang nasi goreng, paramedik, satpam, pengemudi taksi dan mereka yang bekerja di bidang jasa dan produksi, yang harus mengurusi hajat hidup orang banyak tanpa mengindahkan Lebaran, akhir pekan maupun tanggal merah, belum tentu berderajat lebih rendah ketimbang para pejabat yang kaffah korupnya.

Dan ibadah tidak melulu ritual yang harus dilaksanakan mati-matian demi sekeping janji bernama surga dalam sebuah malam seribu bulan. Ia mewujud dalam bentuk penyapu jalan yang masih mengerjakan tugas tepat waktu ketika gema takbir dan sampah berhamburan berbarengan; mengejewantah pada garda depan jalur komunikasi dan pos; membentuk diri dalam orang-orang yang bertugas menjalankan fasilitas publik seperti listrik dan transportasi dan penjaga gedung-gedung perkantoran dan perbelanjaan. Disamping kompensasi materi yang mereka dapatkan, saya yakin tak bisa menggantikan kebahagiaan pulang dan berkumpul bersama keluarga. Karena pulang, mudik, adalah laku kembali ke akar, mengenang siapa manusia sesungguhnya melalui sejarah dimana ia bermula. Dan ibadah adalah selalu mengingat untuk apa manusia dicipta. Konon, hanya manusia yang bisa menentukan tujuan penciptaannya sendiri karena ia diberkahi akal dan pikiran untuk memilih.

Jadi, yah... Mumpung hari Raya. Mari beribadah dalam peran masing-masing.

ps. Berapa baju lebaranmu? Solat Idul Fitri pakai mukena baru? Apakah kau tak lupa membawa pulang koran alas sajadah atau membiarkannya begitu saja menjadi sampah?

Comments

  1. like this Pitohhhhhhhhhhh........
    mwahhhh mwaahhhhhhhhhh

    ReplyDelete
  2. Well,,,bapak saya pernah bilang, beribadah toh sebuah pilihan..kamu mau beribada di gereja dan setelah meninggalkan gereja kamu meludah didepan peminta2 di pinggir jalan, ato ngemplang duit rakyat yang seharusnya bukan jatahmu..ato ikutan kerja bakti mbetulin jalan di depan komplek yang kalok musim hujan jadi mirip kanal...silakan memilih..biar Big Boss yang diatas sana menentukan mana yang ibadahnya diterima

    ReplyDelete
  3. Mama Dinda
    iya, silakan dijempol *eh?*

    nDaru
    hehe. babemu heibat! pantes anaknya juga keren (=

    ReplyDelete
  4. Anonymous7:00 PM

    Ibadah sosial ya Mbak :D, btw, postingan bagus Mbak Pito :D

    ReplyDelete
  5. Yg akan jadi masalah adalah ketika seseorang itu tidak memiliki keseimbangan antara Hablum Minallah dan Hablum Minannas. Menjadi pribadi manusia yg baik saja tidak cukup kalau ternyata dia mengangkuhi kodratnya sebagai ciptaan Tuhan, begitu juga sebaliknya, sibuk nungging-nungging jedukin jidat puasa berdoa tiap malam tp lupa bahwa dia adalah manusia makhluk sosial sehingga mampu menyakiti manusia lainnya atas nama Tuhannya juga totally wrong!!

    Ah....tp itu semua kembali ke kita-nya masing-masing..

    ReplyDelete
  6. aku punya sepatu lebaran baru doong

    ReplyDelete
  7. kalo kata simbah saya dulu ada yang namanya syariat, ada juga hakikat mbak. syariat adalah ibadah fisik, misalnya sholat itu ya ada berdiri, ada rukuk, sujud, segala yang keliatan. sayangnya ibadah yang seperti itu banyak yang cuma dilakukan sebagai penggugur kewajiban, tanpa mencoba merenung ada hakikat apa di baliknya. akibatnya ya kayak saya ini, abis sholat liat mbak-mbak semok ya masih melotot sambil setengah ngeces.

    tapi sekedar mengikuti ajaran hakikat tanpa syariat pun ndak pas, karena manusia pun dibatasi aturan-aturan yang mengikat fisik. *halah, ngomong apa tho saya ini*

    ngomong-ngomong saya sudah bertahun-tahun selalu melewati lebaran tanpa baju baru, bukan apa-apa, karena saya merasa sudah mampu beli baju kapanpun saya mau. bagi sebagian orang, misalnya tetangga-tetangga di kampung saya, baju baru adalah salah satu atribut lebaran karena hanya saat itulah mereka beli baju baru. celakanya kadang kebiasaan itu jadi mendarah daging, sehingga ada salah seorang keluarga saya yang walaupun bajunya sudah hampir ndak muat di lemari tapi waktu kemaren lebaran ndak dibelikan baju nangis menderita teraniaya. doh!

    ReplyDelete
  8. waaahhh... maaf. eike terlalu sibuk merencanakan kerangka rencana untuk rencana mandi. jadi ndak tanggap ngerespon. owkey. eike jawab atu2.

    El-Adani
    makasiii...

    Riki
    ummm... ndak tau, ya. yg gwa liat dari beberapa temen yg gablum minannasnya bagus, walaupun dia gak mengakui tuhan an sich, dia percaya ada the greater X yg bikin semuanya seperti terhubung jalin-menjalin satu sama lain. disitu mereka "merasakan" tuhan. sebaliknya, sebagian besar mereka2 yg hablum minallahnya-secara agama-TERLIHAT keren dengan tunggang-tungging ga capek2, kok ya banyak yg ga acik ya ama sesama manusia? dunno. emang kembali ke masing2 si. hehe.

    Bondy
    gwa ndaaaaak. tatiyan ya... makanya. sini sepatunya buat gwa sebelah *eh?*

    Pakdhe Stein
    hehe. semua hanya ada diantara dua telinga, Pakdheee... *ngigo pagi2 belon tidur* =P

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women