Jakarta Adalah...

“Ceritakan padaku tentang kota bernama Jakarta,” pinta seorang brondong yummy pada si sundal ngurban.

Si sundal tersenyum, menatap jalang si lelaki ranum.

“Owkey. Gini ya…”

Lalu mengalir kisah tentang kota tempat si kere dan si makmur tinggal bersisian, bahu menempel dengan bahu, namun jurang kehidupan memisahkan mereka aduhai jauh. Di pemukiman si kere kau bahkan bisa mendengar suara napas teratur tetangga yang pulas bermimpi punya sebelas bini—atau lenguhan kenikmatan tertahan saat penat coba dihalau syahwat, tergantung hari. Sementara di perumahan mewah si makmur, jika kau hendak sekedar kenal siapa yang tinggal di sebelah, sudah untung kau bisa bertemu BMW atau Jaguar yang barusan keluar pagar. Biasanya, cukuplah kau tak diusir satpam atau disapa babu.

Di Jakarta semua orang pemberani tak takut mati. Tiap detik nyali mereka teruji. Jika hidup adalah jihad, maka mereka adalah para mujahid bernyawa. Di sana, mati dan hidup bersahabat. Kebaikan dan kejahatan akrab berkawan. Setan dan malaikat bergandengan erat. Semua orang menghirup udara dengan kandungan kanker, bertaruh nyawa meskipun hanya melompat masuk ke dalam bis kota. Kau harus terampil dengan tidak berpegangan pada apapun atau pulang membawa oleh-oleh tetanus. Lagipula, sesaknya penumpang akan membuatmu tegak seperti anjing sirkus.

Ada empat tipe pengemudi angkutan umum di Jakarta: pemarah, pemabuk, pengidap gangguan jiwa, dan gabungan ketiganya. Yang pemarah tak pernah terima jalurnya diserobot. Akibatnya, kau akan rasakan bagaimana Schumacher minder pada supir Kopaja, Mikrolet dan Metro Mini yang lebih mahir meliuk seirama setir. Supir pemabuk dilindungi Tuhan karena semua penumpang berdoa demi kewarasannya dan keselamatan diri mereka masing-masing. Supir pengidap gangguan jiwa biasaya adalah mereka yang masih gagap dengan keadaan saking lamanya menjadi supir bajay. Sebab, sekali bajay tiba di persimpangan, bahkan Tuhan sendiri tak tahu ke mana ia akan berbelok. Dan yang paling parah adalah gabungan diantara ketiganya, karena tak ada satu pun saksi hidup yang tertinggal untuk bercerita.

Jakarta adalah tempat robot-robot bernyawa bergenital. Seringkali mereka terlalu lelah bekerja hingga terduduk lelap diantara sesak penumpang PATAS atau KRL, tak peduli seorang ibu hamil besar kepayahan berdiri meski di bawah situ si robot juga punya belalai.

Jika malam, Jakarta cantik berlampion, mengundang ngengat dan serangga apapun untuk datang kesilauan lalu tersengat mati. Tak boleh kau berbodi sekuat dan sebesar mammoth atau bertaring panjang dan gahar bagai macan gigi saber. Kedua-duanya punah, kecuali kecoak yang tahan hidup dalam kondisi apapun. Kau harus bisa mengecoak, menyelinap ke tempat-tempat paling bacin, berlindung dari ancaman apapun, siapapun. Di Jakarta teori Darwin mengejewantah: hanya yang dapat beradaptasi yang mampu bertahan. Dalam hal apapun, hingga masalah selangkang. Di sana akan akan kau dapati tak hanya lelaki dan perempuan yang berangkulan rapat. Tapi juga lelaki dengan sesama lelaki gemulai dan perempuan gagah mencumbu perempuan ayu yang pasrah. Alami, seperti kau dapati beberapa bunga yang hanya punya serbuk sari atau anjing jantan saling merancap.

Di tempat itu kau akan dapati malam seramai siang. Orang-orang berduyun-duyun datang, habis mandi dan wangi, padahal jarum jam menunjuk dini hari. Banyak mbak-mbak gilang-gemilang berbibir merah-tebal mengundang (meskipun mereka rela labia muka seperti disetrum-setrum kecil untuk mendapatkannya). Mas-masnya segar dengan baluran gel menyangga tatanan jambul di kepala.

Begitulah. Di tempat bernama Jakarta, kau punya kuasa prerogatif ingin jadi apa. Entah gurem yang ikut ke mana arus membawa atau noktah yang tegak berdiri gagah. Di ujung, hanya ada dua: mati seperti robot tanpa nurani atau bangga jadi manusia meskipun harus bertaruh darah dan airmata.

“Sampai sini kamu mengerti?” tanya si sundal pada brondong yummy yang pakaiannya satu-satu terlucuti.

Pertanyaan tak akan berjawab dan cerita tak pernah selesai karena mereka punya hasrat mendesak yang harus instan tertunai. Mirip Jakarta.

Ah…


gambar dicomot dari sini.

Comments

  1. penggambaran yang cukup gelap, diksinya mbikin makin suram, tapi menurut saya kurang lebih itulah jakarta. :D

    saya sempet icip-icip jakarta waktu kemaren mudik lebaran, dan saya bersukur ndak harus menetap di situ

    ReplyDelete
  2. ahahaha...kecoak pun buat semut itu raksasa

    ReplyDelete
  3. Anonymous11:35 AM

    yah begitulah, pit....

    ReplyDelete
  4. Pakdhe Stein
    hehehehe. dalem punya semacem love-hate relationship dengan jakarta, dhe. satu sisi benci dengan semua busuk2nya dan acak-adutnya. di sisi lain menikmati sedikit kebebasan untuk jadi berbeda tanpa banyak pandangan mengernyit. jadi ya... gitude (=

    nDaru
    yoi yoi!

    Nyunyu
    hehe. mwah!

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women