Something to Ponder v0.1

There is something about people like us. A built-in sensory perception. People stamp us as hypersensitive, but i perceive it as a gift, an empathy. I've got my share. And I know you've got yours, too.

Kalimat-kalimat di atas mampir sembarangan di inbox salah satu jaringan media sosial yang saya ikuti, menjawab beberapa pertanyaan kurang ajar yang memenuhi benak saya sejak pertama kali melihat namanya ada dalam daftar teman. Jawaban itu tulus, bertengger begitu saja seperti burung gereja hinggap di kusen jendela, tanpa dosa, melesak diantara beberapa jawaban yang mungkin harus ia ungkapkan berjuta-juta kali dalam hidupnya.

Jujur saja, rasanya saya ingin menangis. Sekian banyak beban menjadi orang yang (sok) tau, sekian banyak penyangkalan tentang 'semua akan baik-baik saja', sekian banyak tanggungjawab yang saya nafikan sekian lama dengan 'udah lah, ntar aja dikerjainnya', sepertinya terangkat sedikit demi sedikit. Meskipun tidak membuat benak dan hati saya lega, tapi cukup rasanya untuk mengosongkan sedikit rongga dada agar dapat bernafas kembali.

Saya lupa kapan terakhir kali merasakan hal seperti ini. Mungkin otak saya yang hanya memuat seperempat sendok teh neuron ini--lebih sedikit dari volume sperma dalam sekali ejakulasi--punya kemampuan luar biasa untuk memblokir atau bahkan menghapus sepenuhnya, seperti auto-delete ketika memori yang sedikit dipaksa harus berakselerasi dengan berbagai data. Atau mungkin ini pertama kali saya merasakan keletihan luar biasa yang tidak dirasakan otak sama sekali? Entah ((=

Well, saya tidak melakukan apapun. Saya memang tidak setegar yang saya kira. Hidup saya sedang berada pada titik terendah dimana saya hampir mati rasa dan tidak bisa melakukan apapun untuk mengaturnya. Dan mengakui hal ini adalah salah satu cara mencari penyelesaian.

Phew! Ternyata saya nggak gila. Bolehkah saya bersyukur?

Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?