It's all about attitude
Saya perokok berat. Dalam sehari saya bisa menghabiskan 2-3 pak rokok. Jangan tanya jika kerjaan saya sedang fully loaded. Ketika dua kali dua puluh empat jam nyaris tidak keluar kamar akibat kejar setoran, sempat saya iseng menghitung kotak-kotak bekas dalam tempat sampah: sembilan bungkus. Ngeri!
Karena peraturan di rumah dan sejak saya sombong bisa cari uang sendiri, sudah lebih dari sepuluh tahun saya mencandu.
"Jangan bakar duit gue kalo elu mau ngerokok," kata Ibu ketika saya masuk SMP. Saya ingat betul larangan itu, karena sebelumnya Ibu memberi saya izin pacaran. Mumpung masih muda, katanya.
Dia hampir tidak pernah melarang saya melakukan apapun, bahkan untuk yang nakal-nakal. Dulu, rumah saya kerap digunakan sebagai basecamp. Karena itulah Ibu dekat dengan teman-teman saya dan sangat galak dengan aturan 'Lu boleh maen, makan, tidur, boker, curhat di rumah gue, tapi jangan bakar dan nokib disini'. Dia tau, sebagian besar mereka adalah pengedar dan pemakai. Tapi mereka teman saya, dan saya dekat sekali dengan mereka. Ibu bahkan sempat menawarkan untuk membelikan minuman keras, ganja, dan obat-obatan terlarang buat saya. Asalkan saya menggunakannya di dalam rumah, sendirian, dan dibawah pengawasannya.
"Mending Ibu liat sendiri anak Ibu minum dan mabuk. Kalo kenapa-kenapa, Ibu yang duluan tau dan bawa sendiri ke rumah sakit." Begitulah.
Ibu saya penganut harm principle bahwa tiap orang bebas melakukan apapun sepanjang tidak mencelakai orang lain. Baginya, jika saya sakit akibat rokok, itu sama saja dengan mencederainya karena dia akan sangat khawatir. Karena itu saya sering menahan batuk jika sedang ada di rumah. Tapi dengan brainwash seperti itu saya dibesarkan. Jadi, jangan salahkan saya jika di dalam angkutan umum saya sering meminta agar orang yang duduk di sebelah untuk mengurungkan niat merokok. Itu akan mengganggu penumpang yang tidak merokok, ujar saya menjelaskan jika mereka tidak suka.
Tidak hanya dari Ibu, saya belajar dari beberapa orang-orang hebat. Mereka, perokok-perokok itu, membawa asbak portabel kemana-mana. Bagi mereka, itu adalah tanggungjawab perokok sebagai penghasil sampah. Dan suatu hari, ketika saya masih tinggal di Jogja, salah satu orang hebat tersebut menghadiahi sebuah kotak kayu mungil berhias ornamen batik yang dia buat sendiri.
"Ini buat kamu, Pinto," selalu begitu dia memanggil saya, "biar ndak nyampah kalo merokok," ujarnya. Sampai sekarang seseorang masih menyimpan kotak itu, tertinggal di rumahnya di Bandung karena keteledoran saya. Namun seorang cowok gondrong keren baik hati dari Cilincing membawakan ganti beberapa minggu lalu. Yay!
Sejak sering mendapat teguran dari teman-teman yang bukan perokok, saya sadar diri untuk tidak menikmati the 'guilty pleasure' di depan anak-anak dan remaja yang percaya bahwa merokok adalah keren. Saya bukan mahluk yang merasa keren karena senang menyiksa hidung dan paru dengan asap bernikotin sementara pemilik hidung lain menggerutu karena terganggu. Atau lebih parah: citra saya sebagai perokok perempuan yang cool dan tangguh akan menancap dalam benak remaja-remaji tanggung (dan tanpa sadar, secara tidak langsung, saya memuluskan jalan bagi korporasi rokok untuk merekrut perokok muda. Saya tidak suka ide itu).
Tapi yang membuat saya heran, banyak sekali para non-smoker menganggap merokok di dalam bis adalah lumrah dan wajar. Saya hanya bisa menghela napas berat karena prihatin. Ketika saya membela hak mereka mendapatkan udara tanpa nikotin dalam kendaraan umum, saya sering di'jatuh'kan dengan ucapan semacam "Udah lah, Mbak. Namanya bis kayak gini udah biasa kali orang ngerokok di baris paling belakang. Kalo si mbak nggak suka, sana naek taksi aja." Begitu kata seorang ibu-ibu paruh baya dan berjilbab ketika saya meminta bapak di sebelahnya untuk mematikan rokok. Padahal jelas-jelas si ibu sudah terganggu karena terus mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah tanpa sepengetahuan si bapak (dan entah kenapa ibu-ibu dan mbak-mbak berjilbab yang teraniaya lebih sering saya dapati bungkam dalam situasi seperti itu. Kenapa ya?).
Seorang mantan perokok berat sering mengkritik saya tentang candu perusak paru-paru ini. Dia bahkan sempat bilang: "Kalo udah sedeket elu sama badan lu, tu anjing paling bakal sama nasibnya: diasepin, diracunin, dirusak."
Well, saya sebal dibilang seperti itu. Saya tau merokok merusak paru-paru dan kantong dan saya khatam tentang bab itu. Saya percaya kebebasan memilih dan saya memilih terasapi, teracuni dan rusak. Saya juga tau banyak pecandu brengsek. Klepas-klepus sembarangan seakan dia pemilik dunia. Tapi nggak semua kan?
"Ah, kalo lu berpenis, lu juga bakal nggak tahan buat nggak bakar rokok dalem bis tempat lu disekap sampe 13 jam," katanya lagi, mengomentari betapa brutal bapak-bapak teman seperjalanannya menyiksa non-smoker tak berdaya sepertinya dan beberapa mbak-mbak dan ibu-ibu dalam transportasi umum yang akan mengantar mereka ke luar Jawa.
Saya tidak ingin berdebat panjang lebar tentang hal ini. Apalagi belakangan saya tau bahwa dulu dia adalah salah satu diantara ‘orang-orang tidak beradab’ tersebut. Mungkin rasa bersalahnya menghantui, mungkin kesadarannya menggedor nurani. Saya tidak pernah tau. Yang saya tau, saya percaya bahwa tidak semua perokok egois. It’s the attitude that counts, dalam semua aspek kehidupan.
Gambar diambil di sebuah angkringan tempat saya nongkrong. Ya, saya sadar. Rokok impor memang TERLIHAT lebih peduli terhadap kesehatan konsumen ketimbang rokok lokal. Tapi cuma perokok yang ngeh yang selalu sedia asbak sebelum udud. Rokok menthol dan asbak logam di kanan atasnya itu... dua-duanya punya saya =P
Karena peraturan di rumah dan sejak saya sombong bisa cari uang sendiri, sudah lebih dari sepuluh tahun saya mencandu.
"Jangan bakar duit gue kalo elu mau ngerokok," kata Ibu ketika saya masuk SMP. Saya ingat betul larangan itu, karena sebelumnya Ibu memberi saya izin pacaran. Mumpung masih muda, katanya.
Dia hampir tidak pernah melarang saya melakukan apapun, bahkan untuk yang nakal-nakal. Dulu, rumah saya kerap digunakan sebagai basecamp. Karena itulah Ibu dekat dengan teman-teman saya dan sangat galak dengan aturan 'Lu boleh maen, makan, tidur, boker, curhat di rumah gue, tapi jangan bakar dan nokib disini'. Dia tau, sebagian besar mereka adalah pengedar dan pemakai. Tapi mereka teman saya, dan saya dekat sekali dengan mereka. Ibu bahkan sempat menawarkan untuk membelikan minuman keras, ganja, dan obat-obatan terlarang buat saya. Asalkan saya menggunakannya di dalam rumah, sendirian, dan dibawah pengawasannya.
"Mending Ibu liat sendiri anak Ibu minum dan mabuk. Kalo kenapa-kenapa, Ibu yang duluan tau dan bawa sendiri ke rumah sakit." Begitulah.
Ibu saya penganut harm principle bahwa tiap orang bebas melakukan apapun sepanjang tidak mencelakai orang lain. Baginya, jika saya sakit akibat rokok, itu sama saja dengan mencederainya karena dia akan sangat khawatir. Karena itu saya sering menahan batuk jika sedang ada di rumah. Tapi dengan brainwash seperti itu saya dibesarkan. Jadi, jangan salahkan saya jika di dalam angkutan umum saya sering meminta agar orang yang duduk di sebelah untuk mengurungkan niat merokok. Itu akan mengganggu penumpang yang tidak merokok, ujar saya menjelaskan jika mereka tidak suka.
Tidak hanya dari Ibu, saya belajar dari beberapa orang-orang hebat. Mereka, perokok-perokok itu, membawa asbak portabel kemana-mana. Bagi mereka, itu adalah tanggungjawab perokok sebagai penghasil sampah. Dan suatu hari, ketika saya masih tinggal di Jogja, salah satu orang hebat tersebut menghadiahi sebuah kotak kayu mungil berhias ornamen batik yang dia buat sendiri.
"Ini buat kamu, Pinto," selalu begitu dia memanggil saya, "biar ndak nyampah kalo merokok," ujarnya. Sampai sekarang seseorang masih menyimpan kotak itu, tertinggal di rumahnya di Bandung karena keteledoran saya. Namun seorang cowok gondrong keren baik hati dari Cilincing membawakan ganti beberapa minggu lalu. Yay!
Sejak sering mendapat teguran dari teman-teman yang bukan perokok, saya sadar diri untuk tidak menikmati the 'guilty pleasure' di depan anak-anak dan remaja yang percaya bahwa merokok adalah keren. Saya bukan mahluk yang merasa keren karena senang menyiksa hidung dan paru dengan asap bernikotin sementara pemilik hidung lain menggerutu karena terganggu. Atau lebih parah: citra saya sebagai perokok perempuan yang cool dan tangguh akan menancap dalam benak remaja-remaji tanggung (dan tanpa sadar, secara tidak langsung, saya memuluskan jalan bagi korporasi rokok untuk merekrut perokok muda. Saya tidak suka ide itu).
Tapi yang membuat saya heran, banyak sekali para non-smoker menganggap merokok di dalam bis adalah lumrah dan wajar. Saya hanya bisa menghela napas berat karena prihatin. Ketika saya membela hak mereka mendapatkan udara tanpa nikotin dalam kendaraan umum, saya sering di'jatuh'kan dengan ucapan semacam "Udah lah, Mbak. Namanya bis kayak gini udah biasa kali orang ngerokok di baris paling belakang. Kalo si mbak nggak suka, sana naek taksi aja." Begitu kata seorang ibu-ibu paruh baya dan berjilbab ketika saya meminta bapak di sebelahnya untuk mematikan rokok. Padahal jelas-jelas si ibu sudah terganggu karena terus mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah tanpa sepengetahuan si bapak (dan entah kenapa ibu-ibu dan mbak-mbak berjilbab yang teraniaya lebih sering saya dapati bungkam dalam situasi seperti itu. Kenapa ya?).
Seorang mantan perokok berat sering mengkritik saya tentang candu perusak paru-paru ini. Dia bahkan sempat bilang: "Kalo udah sedeket elu sama badan lu, tu anjing paling bakal sama nasibnya: diasepin, diracunin, dirusak."
Well, saya sebal dibilang seperti itu. Saya tau merokok merusak paru-paru dan kantong dan saya khatam tentang bab itu. Saya percaya kebebasan memilih dan saya memilih terasapi, teracuni dan rusak. Saya juga tau banyak pecandu brengsek. Klepas-klepus sembarangan seakan dia pemilik dunia. Tapi nggak semua kan?
"Ah, kalo lu berpenis, lu juga bakal nggak tahan buat nggak bakar rokok dalem bis tempat lu disekap sampe 13 jam," katanya lagi, mengomentari betapa brutal bapak-bapak teman seperjalanannya menyiksa non-smoker tak berdaya sepertinya dan beberapa mbak-mbak dan ibu-ibu dalam transportasi umum yang akan mengantar mereka ke luar Jawa.
Saya tidak ingin berdebat panjang lebar tentang hal ini. Apalagi belakangan saya tau bahwa dulu dia adalah salah satu diantara ‘orang-orang tidak beradab’ tersebut. Mungkin rasa bersalahnya menghantui, mungkin kesadarannya menggedor nurani. Saya tidak pernah tau. Yang saya tau, saya percaya bahwa tidak semua perokok egois. It’s the attitude that counts, dalam semua aspek kehidupan.
Gambar diambil di sebuah angkringan tempat saya nongkrong. Ya, saya sadar. Rokok impor memang TERLIHAT lebih peduli terhadap kesehatan konsumen ketimbang rokok lokal. Tapi cuma perokok yang ngeh yang selalu sedia asbak sebelum udud. Rokok menthol dan asbak logam di kanan atasnya itu... dua-duanya punya saya =P
Wah? apakah ini gara-gara komen saya di tempat si ichanx? *geer*
ReplyDeleteSumpah Pit, saya termasuk salah satu orang ganteng yang bingung, kenapa banyak orang cerdas cendikia macam dirimu dan banyak lagi rekan saya, tetap merokok.
Saya tidak bisa menunjukkan 5 saja efek positif dari rokok.. kalau negatifnya, saya bisa ngasih 20.
Tapi entahlah, sama mungkin kaya saya kecanduan wanita, perokok juga bisa mengatakan yang sama...
"habis, enak seh..."
aku dong udah seminggu ini berhenti merokok :D
ReplyDeletebahhh...gue rasa kalo emak bapak gue tau gue ngrokok, yang dibakar gue-nya kali sama mereka..wkwkwkw
ReplyDeletegw tahan tuh di bis 13 jam tanpa membakar apapun :D
ReplyDelete"smoking is not cool. it makes you look like an idiot." (eh gitu ga, mbak, kata buku 50 Rules itu? :))
ReplyDeleteNah, itu dia istilahnya, Harm Principle!
ReplyDelete*kembali ke fesbuk edit note soal kebebasan*
hore! komengnya banyagh! padahal baru sehari! saya merasa jadi seleb... =P
ReplyDeleteoke, jadi gini ya Mas Harris...
buat saya ndak ada korelasi antara orang2 cerdas cendekia semacam saya *halah!* dan rokok. di blognya ichank sampean juga tau to kalo banyak orang2 miskin dan bodoh merokok sama banyaknya dengan kami? ini masalah pilihan aja. dan no, merokok itu tidak ada enak2nya. tangan saya sering berkeringat dan saya merokok lebih dari 2 bungkus sehari. itu membuat jari saya bau tai kambing sekandang. makanya saya sering cuci tangan pake sabun. saya sering batuk dan udah ndak bisa lagi nyanyi dengan suara bening dan tinggi, padahal dulu saya vokalis *halah!* dada saya sering sesak bukan karena pake beha kekecilan, tapi karena dihajar asep terus. tapi rokok itu seperti selingkuhan yg kadang kita cemburuin kalo lagi barengan sama pasangannya yg sah, dan kadang kita gumuli di ranjang dengan sangat bernafsu dan berpeluh. seperti itulah ((=
untuk Papa Kelsa, selamat. gwa juga kasian kalo Kelsa punya bokap bau asbak.
Nyunyu, cuma satu yg gwa bisa bilang: untung gwa ga kakak-adek ama elu.
Tama... yeah rite *rollingeyes*
and Aris... so you've finally see the light! yay!
*kek mbales surat cinta dari fans gini gwa... huahahahaha!*
Rokok? HARAM
ReplyDeleteBacaan wajib para perokok nih. Kalau mau menyampah dan mencemari udara, bertanggungjawablah.
ReplyDeleteSelain menampung abu rokok di asbak portable, asapnya juga jangan dibagi ke orang lain, terutama non-perokok. Hisap semua, jangan dihembuskan lagi, klo masih nekad merokok di tempat umum.
Kata lainnya, klo mau ngeracun diri sendiri, jangan racuni orang lain juga.
gpp kok pit, asal gak nang ngarepku :p
ReplyDeletenDaru
ReplyDeletehuahahahaha! ini hasil opnam di rumah sakit tempo hari itu ya? =P
Mas Donny
well, harusnya si gitu. sayangnya ndak banyak yg ngeuh. saya juga termaasuk. ya... gitu deh =D
Mama Dinda
nggak wes. ketemu we ra tau.
ya... prinsipnya jangan merusak orang lain. Dan aku menikah dengan perokok. Dia merokok di luar rumah, krn rumahku tidak boleh ada asap rokok. That means beranda!
ReplyDeleteEM
semoga tetap sehat pit :D ... anyway saya juga tdk punya masalah dgn perokok asal tdk merokok di dekat saya gyahahahhaha~
ReplyDeletekok pada demen rokok to? kl soal enak, enakan juga hamburger hihihi~
ya seperti itulah, keknya emang musti mengurangi..hehe..kalok saya justru endak nemu kejelekan merokok, kalok kebaekan merokok malah banyak, antara lain:
ReplyDelete1. Memakmurkan kota Kudus, itu di skala besar, di skala kecil, memberi makan empunya warung kecil di dpan t4 saya kerja, dalam sehari, dari saya dan temen2 doang aja dia bisa njuwal 12 rokok lho, belon kalok saya ndobel mbeli 2 sekaligus.
2. Indikasi orang sehat, cumak orang sakit yang dianjurkan buwat brenti merokok..Barti yang merokok itu orang sehat kan?
3. Membantu program KB, konon katanya, merokok dapat menyebabkan impotensi dan gangguan janin.
4. Membantu mengatasi mati lampu, perokok kan wajib sedia korek, na kalok mati lampu gak ribet dia nyarik korek
5. Perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif, maka untuk mengurangi resiko
tersebut aktiflah merokok.
6. Menambah kenikmatan: sore hari minum kopi + makan pisang goreng kan enak. Apalagi ditambah merokok !
7. Teman e'ok yg setia
8. Bagus buat keakraban; Kalok ketemu orang misalnya di Halte kita bisa
tawarkan rokok. Kalau nawarin duit kan ndak lucu.
nang negarane kanguru jare pabrik rokok mulai gak boleh pasang merk...terus bagaimana anda menyikapinya kalo policy itu sampe ke endonesia pit?
ReplyDelete*gagal juga nanya macem wartawan :p
Still beib..stop smoking while you can or you will regret it someday :)
ReplyDeleteBig Hug,
*Someone in Paris*
Tante Em
ReplyDeleteiya, di rumah juga gitu. gwa dan Babab jadi 2nd citizen. harus ngerokok di luar atau di dapur yg atapnya setengah terbuka. Ibu dan adek gwa hidup bersama dua perokok (kalo pas gwa pulang) dan kami masing2 menghargai kebutuhan para non smoker itu. tapi yah... yg ada kalo gwa dan Babab lagi ngobrol ngadem sambil klepas-klepus di beranda, Ibu dan Icha malah ikut gabung. haha! dan kalo gwa ada kerjaan (means harus ngadep letop sambil ngebul), artinya gwa harus rela teralienasi sendirian di kamar belakang atau di dapur. huhuhu. still, i take the chances (=
Maz Didut
iya... ga deket2 deh kalo besok ketemu dirimu. soal hamburger... emang lebih enak. tapi saya tetep lebih milih rokok karena ndak mengandung daging, ikan, dan ayam. saya udah beberapa bulan ini ngambing walopun masih makan telur dan minum susu. hehe.
nDaru
hiya!!! setuju! ((=
gwa mu cerita dikit.
kemaren dinihari, gwa seangkot sama bencong enem biji! gwa naek pas tu angkot lagi ngetem. dan semua bencong itu merokok, termasuk 3 diantaranya mas2 yg emang pasangan mereka *EHEUM!* honestly, i broke my own law about not lighting my cigarette in angkot. waktu rokok mereka udah pada abis, gwa tawarin rokok gwa. dan karena itu kami bisa ngobrol. gwa ampe bisa tau kalo 'Mama Tessa' yg duduk depan gwa (dan mukanya ga jauh beda ama Syahrini! sumpah!) itu dulu sempet jadi Miss Waria. gwa tau kalo mereka belum bayar kontrakan, gwa tau kalo ditangkep itu bakalannya pasti harus bayar biar bisa keluar dan harus-minimal-'ngesong' penis2 polisi yg baunya ngaujubilah, dan 'meong' itu pertamanya sakiiiit sekali walopun lama2 mereka akhirnya terbiasa.
somehow, karena rokok, ketakutan gwa karena mereka laki2 keker yg dandanannya kek perempuan seksi, sirna. mereka lancar cerita. dari situ gwa tau kalo idup gwa jauuuh lebih mudah daripada mereka yg harus berkutat tiap hari melawan FPI, FBR, polisi, dan langganan2 iseng ga mau bayar. belum HIV, AIDS, dan berbagai macem penyakit menular seksual lainnya. kalo gwa ga nawarin rokok waktu itu, mungkin gwa keilangan satu kesempatan bersyukur dan masih ambruk ga jelas mau ngapain (=
Maz Onanymous
halah. maksude piye to? kalok rokok ndak ada mereknya, terus gimana pembeli tau itu rokok apa? bakalan angel aku tuku LA Ijo. hehe.
My Dearest BabyLuv in Paris
someday, somehow, i will, baby. trust me. you just be a good girl there and let me have those two beautiful niece and nephew. can hardly wait to let them have my collection of lagu gubrag-gubrag. haha!
be waiting for the good news and the moments we're nongkrong geblek di starfuck. haha!
GUE MAU BELI ASBAK PORTABEL
ReplyDeletesoalnya gue masih berusaha menanamkan kebiasaan gak buang sampah sembarangan. bungkus permen, tisu dll selalu gue taro di dalem tas. tp klo puntung rokok selalu gue buang sembarangan klo gak nemu asbak ato tempat sampah. membuat gue merasa seperti orang hipokrit.
gue harus beli asbak portabel!
ciee, seleb blog... XDDDD
ediyan! kok banyak tenan mbak? kalo saya paling sehari sebungkus, kecuali pas lagi banyak nganggur, banyak pikiran, atau banyak teman, bisa nambah. tapi yo ndak banyak, lha bayaran buruh pabrik macem saya ini memang ndak bisa buat ngrokok banyak-banyak :D
ReplyDeletengomong-ngomong saya jadi inget ide tulisan saya "rusaklah diri sendiri", sudah saya catet di draft sms henpun hampir 2 bulan. inget waktu ponakan saya yang kuliah lagi maen ke rumah, saya ngomong ke dia, kalo memang kamu mau rusak, rusaklah, tapi jangan ngrusak anak orang.
Lea
ReplyDeletegwa ada lagi tu atu. mau? tapi kecil banget. ada gantungan kuncinya pulak. mau? ntar gwa cari dulu tapinya. hehe.
Mas Stein
iya, banyak. tapi biasanya kalo udah banyak gitu udah ga inget makan. jadi yah.. bisa dibilang saya makan asep, om :D
entah kenapa petuah dikaw mirip ama apa yg dibilang ibukku. hehe.