There's nothing to be fixed, only to let go
Seorang teman menulis bagaimana cara mengobati patah hati karena tertolaknya sebuah pernyataan ‘suci’ dari seseorang kepada seseorang. Well, been there, done that. Siapa sih yang nggak? Tapi dunia nggak berhenti sampai disitu, bukan?
Saya, meskipun nggak pernah ‘nembak’ untuk menjadikan seseorang sebagai properti hidup milik saya, pernah juga berada di posisi yang hampir mirip seperti itu. Jujur, dulu (dan mungkin sampai sekarang? =P) saya huntress, meskipun saya nggak punya bodi dan tampang jadi pemburu. Saya hobi ‘mepet’ cowok yang bikin saya penasaran. Dia nggak harus cakep, tapi harus dingin, sedikit angkuh, nggak pedulian namun cukup berotak atau tengil. ‘Korban’ saya dulu adalah ketua perkumpulan siswa Islam di sekolah saya yang Katolik, anak kelas sebelah yang beda fakultas, dan tetangga kos saya. I loved the game, I loved the process, but I didn’t love the result. Ketika ‘mangsa’ sudah didapat maka kegairahan berburu hilang sudah. Artinya, jika saya sudah tau gimana caranya menghadapi masalah berat menyangkut uang, sekolah, dan inter-personal, dan gimana tampangnya waktu dia gembira luar biasa, itu sudah cukup. Biasanya cuma tiga sampai lima bulan, lelaki itu akan saya tinggal dan saya cuekin, seolah kami tidak saling kenal sebelumnya.
Hanya sekali hati saya patah karena roman-romanan cinta nggak jelas. Itu pun setelah melewati beberapa tahun pacaran dan masih menjadi teman baik hingga sebuah kejadian membuyarkan semuanya. Apa yang saya lakukan untuk menetralkan perasaan?
Saya setel Homicide atau RATM dengan volume maksimal melalui headset sambil nggerundel membaca lirik-liriknya. Bagi saya, itu seperti sebuah tamparan keras di kedua pipi tentang bagaimana nasib orang-orang sekitar lebih blangsak daripada sekedar keegoisan hati yang patah. Ya, saya ‘reasoning’ juga, mencoba mempertajam pertanyaan demi pertanyaan dan menyimak jawabannya. Dan saya menulis. Menulis apa saja, yang penting memuntahkan semua sesak dan suntuk di dada dan kepala.
Dan mungkin saya sendiri juga berproses pada akhirnya, menjadi lebih cerdik dan ngeyel demi mengantisipasi peristiwa nggak ngenakin semacam itu. Untung saja kejadiannya nggak lagi tentang roman-romanan, namun lebih ke arah eksistensi saya dalam hidup seseorang (atau sesuatu?) yang saya anggap penting. Sahabat yang mewujud menjadi sosok kakak, misalnya. Atau wujud mirip srigala tapi lembut hati.
Saya sedang mengalami yang pertama. Dan satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah membiarkannya pergi karena dia memberi peringatan pada saya di awal tentang ‘jika suatu ketika…’, tentang ‘tidak berharap lebih daripada sekedar teman’, tentang ‘penghargaan yang tidak memberatkan’.
Dan saya berusaha melepas, lagi-lagi tanpa merasa kehilangan. Dia sudah memberi saya, banyak. Tentang pembelajaran dan bagaimana bersikap. Dengannya, saya mengejewantahkan bagaimana berbagi, mendengar, melepas, dan diam.
Karena saya percaya sudah seharusnya cinta membebaskan, tidak mengekang.
ps: dan saya sedang belajar menjalaninya dengan seseorang yang lain lagi :D
Saya, meskipun nggak pernah ‘nembak’ untuk menjadikan seseorang sebagai properti hidup milik saya, pernah juga berada di posisi yang hampir mirip seperti itu. Jujur, dulu (dan mungkin sampai sekarang? =P) saya huntress, meskipun saya nggak punya bodi dan tampang jadi pemburu. Saya hobi ‘mepet’ cowok yang bikin saya penasaran. Dia nggak harus cakep, tapi harus dingin, sedikit angkuh, nggak pedulian namun cukup berotak atau tengil. ‘Korban’ saya dulu adalah ketua perkumpulan siswa Islam di sekolah saya yang Katolik, anak kelas sebelah yang beda fakultas, dan tetangga kos saya. I loved the game, I loved the process, but I didn’t love the result. Ketika ‘mangsa’ sudah didapat maka kegairahan berburu hilang sudah. Artinya, jika saya sudah tau gimana caranya menghadapi masalah berat menyangkut uang, sekolah, dan inter-personal, dan gimana tampangnya waktu dia gembira luar biasa, itu sudah cukup. Biasanya cuma tiga sampai lima bulan, lelaki itu akan saya tinggal dan saya cuekin, seolah kami tidak saling kenal sebelumnya.
Hanya sekali hati saya patah karena roman-romanan cinta nggak jelas. Itu pun setelah melewati beberapa tahun pacaran dan masih menjadi teman baik hingga sebuah kejadian membuyarkan semuanya. Apa yang saya lakukan untuk menetralkan perasaan?
Saya setel Homicide atau RATM dengan volume maksimal melalui headset sambil nggerundel membaca lirik-liriknya. Bagi saya, itu seperti sebuah tamparan keras di kedua pipi tentang bagaimana nasib orang-orang sekitar lebih blangsak daripada sekedar keegoisan hati yang patah. Ya, saya ‘reasoning’ juga, mencoba mempertajam pertanyaan demi pertanyaan dan menyimak jawabannya. Dan saya menulis. Menulis apa saja, yang penting memuntahkan semua sesak dan suntuk di dada dan kepala.
Dan mungkin saya sendiri juga berproses pada akhirnya, menjadi lebih cerdik dan ngeyel demi mengantisipasi peristiwa nggak ngenakin semacam itu. Untung saja kejadiannya nggak lagi tentang roman-romanan, namun lebih ke arah eksistensi saya dalam hidup seseorang (atau sesuatu?) yang saya anggap penting. Sahabat yang mewujud menjadi sosok kakak, misalnya. Atau wujud mirip srigala tapi lembut hati.
Saya sedang mengalami yang pertama. Dan satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah membiarkannya pergi karena dia memberi peringatan pada saya di awal tentang ‘jika suatu ketika…’, tentang ‘tidak berharap lebih daripada sekedar teman’, tentang ‘penghargaan yang tidak memberatkan’.
Dan saya berusaha melepas, lagi-lagi tanpa merasa kehilangan. Dia sudah memberi saya, banyak. Tentang pembelajaran dan bagaimana bersikap. Dengannya, saya mengejewantahkan bagaimana berbagi, mendengar, melepas, dan diam.
Karena saya percaya sudah seharusnya cinta membebaskan, tidak mengekang.
ps: dan saya sedang belajar menjalaninya dengan seseorang yang lain lagi :D
Ak masih percaya bahwa cinta sejati tidak bisa 'dipermainkan'.semua tulus dari hati.dan aku tak malu mengakui kalau aku pernah menangis karena dicampakkan oleh apa yang kuanggap 'cinta sejatiku'.(mb pit jgn didebat ya,ak ga bisa mbalesnya soale hehehe)
ReplyDeletebelajar untuk mencintai seseorang dengan bebas dan tidak mengekang maksudnya?
ReplyDeletekalo gue dikasih kesempatan, gue pengen mencintai dia dgn cara spt itu. terserah dia mo kemana sama siapa, yang penting gue bisa punya satu waktu untuk sesekali berbicara dengannya.
somehow, gue iri dengan keberanian lo XDDD
kangen sama postingan lo, iseng dateng, akhirnya apdet! tinggal si nyunyu nih yg belom... :|
Seseorang pernah bilang
ReplyDelete"
Maybe I don't love her that much,
since I still expect to 'own' her
a truer love than mine won't do that
"
Sedikit mengerti dari point of-view berbeda of this post
Pak Han
ReplyDeletelha? belum2 udah pasang disklemer ((=
Lea
ya... seperti sesuatu yang melampaui semua rasa yang bernama, keindahan yang tidak bisa terucap, keagungan termegah karena tak pernah ada kata yang bisa menyebutnya. gombalan2 semacem itu lah.
Eru
(=
saya masih susah memahami cinta yang membebaskan, cinta yang tak bersyarat, dan yang semacamnya. piye yo mbak, bingung je. bagi saya cinta ya ada pengekangan, dan yang jelas selalu bersyarat
ReplyDeletekeknya beda tipis ama maen layangan kok, om. tinggal tarik-ulur aja. hambuh ya. keknya si gitu. wong saya ya masih belajar kok :D
ReplyDeleteJadi, sama si mas yang dianggap kakak itu sudah enggak lagi ya? *wink
ReplyDeletehey i love your writing! the huntress part kinda remind me of myself too :D
ReplyDelete