The Cute Little Thing We Called FACEBOOK

WARNING: beberapa baris dari tulisan ini mungkin amat sangat tidak pantas untuk pembaca yang belum dewasa secara hukum—atau mereka yang bangkotan namun memiliki pemikiran setara ABG labil. Saya membebaskan Anda menyalin dan menyebarkan muntahan ini jika Anda terlalu gatal menjadi pewarta, tapi KENALI AUDIENS ANDA. Buatlah revisi seperlunya. Saya mau liat, sejago apa Anda jadi corong saya.

Ketika mengetikkan ini, saya sedang mendengarkan KoRn réngéng-réngéng tentang Little Dead Girl, penyembuh terakhir berwujud kematian kecil, ujung persenggamaan bersalut cinta karena it’s true, what they say fucking for love might be the last legal drug. Ini diambil dari istilah Perancis, la petite mort, karena orang sana merasa ‘mati’ sejenak ketika kontraksi otot genital tiga detik tercapai.

Sama halnya dengan berbagai update status di Facebook, ruang maha publik dimana orang bebas mendapat dan memberi perhatian pada akun siapa saja—dan orgasme eksistensi karenanya—dengan kata-kata kotor sekalipun. Namun apakah bijak jika beberapa akun di daftar teman ternyata berusia kurang dari tujuh belas?

Saya pernah nyasar ke salah satu iklan layanan masyarakat di Youtube tentang bahaya ke-publik-an Facebook. Ceritanya, seorang siswi SMU merasa heran karena hampir semua orang menyapa dan tersenyum. Dia GR luar biasa saat cowok terganteng di sekolah juga memanggil namanya. Ternyata dia dapati alasannya: salah satu foto tak senonoh yang menampilkan wajahnya telah menyebar di Facebook.

Ilustrasinya, Facebook itu seperti bulletin board virtual tempat orang menempel lembar-lembar pengumuman, foto, dan informasi apa saja. Semua orang bebas mencabutnya tanpa harus menghilangkan lembaran tersebut. SEMUA ORANG, yang benar-benar perlu atau sekedar iseng. Meskipun si empunya sendiri sudah menghapusnya, karena The Almighty Google masih menyimpan data tersebut pada cache yang disadur ke Bahasa Indonesia menjadi tembolok. Tinggal bagaimana pintar-pintar mencari saja.

Waktu saya ndéprok di deretan belakang acara Ignite, seorang presenter memberi materi tentang internet sehat untuk anak. Disitu dia bilang bahwa anak adalah sumber ide tak terbatas. Anda bisa saja memperketat proteksi perambah pada PC di rumah. Dalam satu jam, jika si anak cukup cerdik, akan Anda dapati ia kembali asyik berselancar di dunia maya. Di Amerika usia minimal seorang anak memiliki akun Facebook adalah empat belas, karena anak di bawah usia itu adalah mangsa bagi para predator pedofilia. Karena itu, akan amat sangat penting untuk mendidik diri sendiri sebagai orangtua untuk dapat mengajari anak bertahan dari gempuran informasi di era digital.

Saya bergidik ngeri membayangkannya. Sementara di sini banyak anak-anak kencur memasang gambar imut mereka, lengkap dengan nomer ponsel dan alamat rumah, mengajukan pertemanan pada orang-orang asing yang fotonya terlihat cakep meskipun tidak mereka kenal, dan menyetujui pertemanan dari orang-orang serupa.

Saya sontak kaget ketika slide presentasi menampilkan screenshot akun twitter seorang bocah dengan tulisan ‘Bokap ngentot!!! Nggak ngerti apa gue mau kerjain tugas?! Facebook-an dari tadi nggak udah-udah!”

Jika sudah begitu, mana yang salah? Anak kurang ajar atau orangtua durhaka?

Suatu hari saya dapati sebuah wall post antar pengguna yang saya duga dari adik kepada kakak. Pada dinding pesan si adik mengabarkan, dengan bahasa lugas tanpa tédéng aling-aling, bahwa ibu telah mentransfer sejumlah uang ke rekening bibi mereka dan meminta kakak mengambil sisa hutang bibi sejumlah beberapa ratus ribu. Tidak ada tanggapan di bawahnya, padahal si kakak ini cukup ‘nyeleb’. Namun saya yakin, seperti saya, teman-temannya juga membaca pesan itu. Kami mungkin terlalu sopan untuk tidak berkomentar apapun tentang perihal yang terlalu pribadi seperti itu. Atau, mengingat kebiasaannya, mungkin beberapa komentar usil cukup membuatnya repot menghapus satu-persatu.

Saya juga pernah éyél-éyélan dengan seorang teman yang meletakkan link Youtube tentang proses kelahiran melalui operasi Caesar. Caption video yang ditampilkan adalah gambar beku torehan pertama ketika perut calon ibu dibelah, menganga, lengkap dengan warna kekuningan dari lapisan lemak bawah kulit berbaur merah yang leleh karena pembuluh halus terputus. Sebagai pengantar, dia ketikkan ‘ini semacam pengingat bahwa proses lahirnya kehidupan baru adalah pertaruhan nyawa yang suci dan sakral agar saya tidak menyepelekan tubuh wanita’. Namun bagi saya ‘badai visual’ itu menerabas menghajar mata tanpa bisa saya cegah.

Saya menggugat melalui peranti ngobrol karena ia tidak memberi pilihan pada mereka yang kebetulan melihat setiap dia ganti status.


“Lo bisa taro link-nya di kolom buat update status instead of kolom link biar caption-nya nggak keliatan. Biar orang yang nggak mau liat nggak usah ‘dipaksa’ liat. Lo bilang sendiri kalo di friendlist lo banyak ABG. Gue rasa mereka belum cukup berani liat yang kayak gitu. Lagipula, belum tentu yang punya perut tau dan nggak keberatan dipelototin cyberians waktu perutnya diobok-obok dokter, apapun alasannya. Itu nggak pantas,” protes saya berapi-api.


“Well, mana yang lebih nggak pantas: Proses stepping up seorang perempuan menjadi ibu atau pembantaian hewan atas nama tuhan di public square dan dilihat banyak anak-anak?” sanggahnya.

Saya naik darah karena contohnya nggak sebanding sama sekali. Namun saya tidak bisa berbuat apa-apa karena dia bebas-merdeka seperti tuhan atas akun pribadinya. Untung lelaki ini cukup baik. Dia lenyapkan link sengketa tersebut dan menggantinya dengan status ‘baru saja menghapus video kelahiran melalui Caesar karena ada beberapa orang yang merasa lebih tau mana yang pantas dan tidak. Mungkin yang lebih pantas adalah pembantaian hewan di lapangan atas nama tuhan'.

Saya hanya bisa menghela napas tanpa bisa membalas, meskipun komentar-komentar di bawahnya membuat saya marah karena mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Satu hal yang saya tangkap adalah bahkan orang-orang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas sekali pun terkadang luput mencermati seberapa besar dampak jejaring sosial pada kehidupan mereka dan orang-orang sekitar. Kami—karena saya juga termasuk—hanya berpikir untuk menarik orang-orang masuk ke dalam network; mengembangkan pertemanan seluas-luasnya (dan menggalang pelanggan jika mampu); mengumpulkan mereka yang terserak dari masa lalu; menggapai eksistensi karena status berbalas komentar puluhan—meskipun terasa kosong sama sekali.

Banyak orangtua bangga ketika anak-anak mereka yang masih duduk di sekolah dasar sudah punya akun Facebook sendiri; sudah bisa memunggah foto ketika mereka berlibur di pantai atau kolam renang—saat itu juga setelah mereka selesai ceprat-cepret dengan kamera ponsel; punya teman hingga ratusan, dari dalam dan luar negeri, sebaya atau lebih tua, tanpa memahami siapa yang asing dan siapa yang dikenal si anak tersebut. Saya sedih melihat balita di kafe sebuah mall menangis ditenangkan pengasuh sementara ibunya asyik pencat-pencet perangkat BlackBerry atau laptop, memperbarui status dan membalas komentar (beranjak besar, mereka akan membuat puisi sarkas-tapi-lucu tentang kebiasaan itu berjudul ‘Ibu dan Facebook’). Dan saya miris ketika pelajaran multimedia untuk anak sekolah masih berkutat pada tata cara penggunaan perambah dan bagaimana mendaftar surel dan akun jejaring sosial semacam Facebook tanpa diimbangi pengetahuan yang dapat melindungi mereka di dunia maya. Ditambah dengan kemudahan berselancar melalui ponsel, butut sekalipun.

Yang lebih miris lagi adalah mendapati orang-orang seperti saya hanya berdiam diri tidak peduli.

Seperti pisau lipat yang kerap saya bawa kemana-mana, pengetahuan bisa menjadi alat untuk membunuh, bertahan, atau menyelamatkan nyawa. Ada banyak film seri yang membahas kekejaman pedofilia, seperti episode pertama Dexter atau CSI yang sempat saya tonton. Itu mungkin akan membuat orangtua atau siapapun jadi paranoid. But believe me, sometimes reality is stranger—and much more frightening—than fiction.

So, where do we begin?


—Updated:

Setelah sempat ‘adu kepala’ dengan salah satu belahan jiwa dari Jogja yang kebetulan bertandang, saya disuruh baca file pdf yang isinya ringkasan MEMO/10/33 dan disepakati di Brussels, 9 February 2010. Memo tersebut menyatakan sikap Uni Eropa terhadap pendekatan jejaring sosial bagi anak-anak di bawah usia 18.
Mereka juga mengajak beberapa jejaring sosial dan perusahaan yang bergerak di bidang layanan internet seperti Facebook, MySpace, Youtube/Google, Windows Live, Microsoft, Yahoo!Answer, Yahoo!Flickr, Yahoo!Europe, Netlog, dan berbagai perusahaan media online Eropa. Mereka menggodok dan menguji konsep yang tadinya absurd: bagaimana melindungi anak-anak dari cyber bullying dan predator maya.
Saat perusahaan-perusahaan menandatangani kesepakatan tersebut, tujuh butir prinsip dasar yang dikemukakan adalah:
  • Memunculkan kesadaran untuk bertukar pesan secara jelas, lugas, dan aman sesuai usia dan kepantasan
  • Memastikan bahwa layanan yang mereka berikan layak untuk audiens berusia dibawah usia 18
  • Meningkatkan kesadaran pengguna tentang keberadaan mereka di dunia maya melalui berbagai pilihan keamanan, misalnya membuat setting default ‘private’ dan tidak bisa dilacak bagi para pengguna berusia dibawah usia 18
  • Menyediakan tombol ‘report’ yang mudah digunakan dan dapat diakses siapapun sehingga pengguna dapat langsung melapor jika ada tindakan atau kata-kata yang tidak pantas dari pengguna lain yang ditujukan kepada pengguna dibawah usia 18
  • Melaporkan lewat notifikasi jika ada konten atau tindakan ilegal di situs tersebut
  • Memudahkan pengguna untuk dapat mengatur seting privasi sewaktu-waktu (misalnya dengan membuat setting tersebut terlihat jelas pada laman situs)
  • Meninjau konten atau tindakan illegal dan/atau terlarang melalui perangkat moderasi, filtering software, atau community alerts
Mengapa begitu rumit? Karena menurut survey di Eropa, pada tahun 2008, ada 75% anak-anak online di Eropa, dan 50% remaja mencantumkan informasi personal pada halaman online mereka. Menandai gambar atau tag yang kerap menjadi layanan sosial media juga memberi kesempatan bagi para predator maupun bully (saya nggak bisa nemu kata Bahasa Indonesia yang pas buat 'bully'. Penindas?) untuk melecehkan anak-anak dan remaja ini secara online. Besar kemungkinan, mereka juga akan menemukan konten dewasa dan penyalahgunaan informasi personal.
Informasi lebih lanjut mengenai kebijakan Uni Eropa tentang jejaring sosial dapat dibaca di sini dan di sini.

Comments

  1. You seem down, beib... :(
    is that what troubling you?

    ReplyDelete
  2. Kadang karena saking personalnya facebook, orang suka lupa kalo facebook itu jejaring sosial. Bukan rumah dengan pintu tertutup.
    Gue juga kadang lupa.

    dan ini... ada sesuatu hal lain yang membuat lo marah? ato bijimanah?

    ReplyDelete
  3. Anonymous5:18 PM

    Jangankan sama anak-anak itu, Sama diri sendiri saja saya sulit peduli. Kadang saya gemar memaksakan hal-hal yang saya pikir baik untuk anak-anak, padahal saya sendiri tidak mampu menjalaninya :P

    Tapi kalau emang niat, kita bisa mulai menilai keamanan setiap situs yang kita kunjungi. Install addon WOT di firefox Anda dan semua kenalan, lalu sempatkan menandai dan beri penjelasan setiap kali ketemu situs yang berbahaya.

    link WOT: http://www.mywot.com/

    ReplyDelete
  4. Nyunyu & Lea
    iya, troubled. ya.. gitu lah :D

    Teguh
    wah, tumben nongol di sini. as usual, infonya bermanfaat. semoga yang baca juga merasa dapet manfaat dari situ. amin ya robbal alamin =P
    oh, tentang 'memaksakan apa yang sampean pikir baik bagi anak2 dan nggak mampu njalaninnya', coba dibikin biar anak ga merasa 'dipaksa'. step pertama mungkin bisa dilakukan dengan latihan sama anak sendiri. gimana? menarik kan?

    ReplyDelete
  5. very insightful.

    Minor protection from cyber predator is a serious issue. It should concern our government.
    But what can we expect from a country that it's okay for a child to purchase a cigarette and even smoke it publicly???

    ReplyDelete
  6. mm...let’s start with this..sometimes the world is too much for humans, i guess. when new thing, labelled technology, shows up, they don't even send any signal how to be treated..perhaps, it's true what old people said that we have to stay wise..above all, humans themselves should be responsible of keeping the line on the right track,protecting the life itself, even from the cute little thing we call facebook..many people say it IS cute. but, i don’t think sharing ‘I am mad today’ or another expression is cute. let’s see..most of people wanna be looked ‘perfect’ in their facebook accounts. nobody uploads his/her ugly photos, everybody wants to present their best there. yet, i am afraid that it (facebook) is just a second world of their own. we live in the earth, not in facebook. how much we try to live in that second world, i don’t think it's worth to do.

    ReplyDelete
  7. Bro Id
    couldn't agree more, bro. but, as parents, couldn't you at least raise the awareness for Catherine and Clement to choose wisely when they grow up? i can't count on anyone but parents to protect the children.

    nDaru
    well, that's an apology, dear. as you know, technology grow rapidly that human evolution can hardly catch up the trend. so, i think it would be wise if we could consciously raise the awareness to protect children. CHILDREN, dear. that's the keyword.
    hey, thanks for commenting, though (=

    ReplyDelete
  8. wanjrit cek dowone sih pit, eh eh kesimpulan gara2 latah pesbuk :D

    ReplyDelete
  9. cuman numpang ninggalin jejak aja mbak, tandanya saya abis baca kekekeke

    ReplyDelete
  10. in fact, few people care about the life of children, the life itself, yet so many people devote their care on wars, politics, what guns they're going to shoot, what plane they're going to show, what computers the're going to introduce to the the market. So they're competing to be best on what they have produced without paying attention to the cause of what they've done, especially to children. Those are the seeds of the living, on the other hand, we flood them with so many tools and tech, without suggesting them how to use them wisely and appropriately.

    ReplyDelete
  11. Joko
    hayajelas!!! =P

    Rahmad
    terimakasih. sebenernya ga usah ngerepotin gitu lho, mas. beneran. ga komeng yo gak patheken.

    nDaru
    so, are you going to sit and mourn all day without doing anything? instead of flooding them with tools and tech, empower them with knowledge and wisdom. i believe it will be much more useful in their lives.
    don't even count those who devoted more to wars, politics, and guns. be the ones who against them, instead.

    ReplyDelete
  12. kata ndoro kakung dunia maya dan nyata seharusnya ndak dibeda-bedakan, kalo kita memang harus ati-ati dalam membeber sebuah informasi di dunia nyata, seharusnya di dunia maya pun sama. kadang yang disadari oleh anak-anak tanggung adalah dunia maya pun kadang bisa menyakitkan, sesakit yang kta rasakan di dunia nyata, bahkan memang sakitnya nyata.

    bedanya di dunia maya adalah lebih mudah untuk jadi penipu, berfantasi menjadi apa saja. ndak usah jauh-jauh pesbuk mbak, wong lewat sms ato telponan saja orang bisa ketipu kok...

    ReplyDelete
  13. This is another prove that Modern Life is Rubbish... :D
    Orang Indonesia kebanyakan gitu, gadgetnya canggih, tapi mentalnya masih mental telepon ongkel..

    ReplyDelete
  14. yang ini baru nyunyu, udah, mo komeng itu thok....bahaya nih, mulai ketuker2

    ReplyDelete
  15. Mas Stein
    um... saya lebih concern sama media online karena informasi yg ngalir lebih nggak terbendung. telepon atau SMS masih bisa ngasi pilihan, mau diangkat atau dibaca. sementara apa yg kamu liat dan baca di site jejaring sosial semacam facebook atau twitter sama sekali nggak ngasih pilihan itu. apalagi untuk anak2, meskipun, misalnya, ada proteksi default seperti butir 3 pada Memo/10/33.
    saya setuju sama ndorokakung. apalagi sebagai pemain lama, beliau lebih buanyak pengalaman ketimbang saya yang bau kencur. nah, pembelajaran seperti itu yang terkadang luput diperhatikan oleh orangtua dan diajarkan ke anak2nya. saya juga luput membahas online bullying yang sering dihadapi anak2, dan 'Think Before You Post' itu sepertinya susah sekali diaplikasikan. termasuk saya :D
    still, if you can't change the world, be the change you want to be. sesederhana itu aja sih. kalo mau lebih aplikatif, mungkin saran Mas Teguh dengan menginstall aplikasi WOT bisa dilaksanakan. lagi2, ini cuma saran :D

    Freak Dreamer
    lha makanya to, mbak. gimana caranya bikin sodara sebangsa setanahaer ini ndak bermental telepon ongkel :D

    Nyunyu
    NYUNYUUUUUU!!! MAAFKEUNNNN!!! secara nama frozzy itu ada di atasnya lea dan gwa langsung asosiatif, gwa pikir itu eluuuu!!! lagian dia juga aneh, tumben2an manggil gwa 'beib' segala. suwer, didn't mean it )=

    ReplyDelete
  16. kalo di facebook saya juga sering sekali berdebat.
    mulai dari masalah sepele dan iseng seperti status status berderet huruf yang dicampur angka alias alay sampai mereka yang notabene masih dibawah umur saya (saya 19 taun) namun statusnya sangat tidak pantas seperti menghujat ibu, minta untuk dicabut nyawa, menghujat Tuhan, dsb.
    dan ya mayoritas hasil yang saya dapatkan akhirnya hanya helaan napas karna sudah merasa lelah mau berdebat dengan mereka yang biasanya bebal dan berpikir punya dunia sendiri semau mereka
    hanya sebagian kecil yang mau mendengar dan tak lagi mengulangi.

    semoga tulisan mbak ini bisa dibaca banyak orang termasuk mereka yang facebookers.:)

    ReplyDelete
  17. ah, sekarang udah males debat2an di facebook. lebih enak di group. haha! padahal ya sama aja. wong group-nya di facebook juga =P
    kalo kata serenity prayer,
    "grant me the serenity to accept the things I cannot change,
    Courage to change the things I can,
    And wisdom to know the difference"
    kalo udah fed up dan muak, ga usah wisdom banyak2. cukup klik dan tutup window yg bikin muak dan lanjutkan hidup. masalah selesai ((=

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women