Tentang Adzan
Ada yang selalu membuat saya terkesan pada senja, ketika siang bersiap masuk ke peraduan dan malam meraja. Seperti sakral dan mistis, seperti melihat berpadunya air dan api namun tidak saling mematikan.
Dulu, ketika saya masih (dipaksa) sekolah jauh dari rumah dan kumpul bersama beberapa kebo cantik (Hay Ooz, Idung, Ucok, Sumpel dan Tyan! *mendadah*), saya sering membawa mug berisi kopi dan naik ke lantai tiga. Menikmati pendar ketika matahari mengecup rembulan lalu aplusan. Meskipun saya tidak bisa melihat cakrawala karena tertutup atap rumah dan pepohonan, saya tersihir pada semburat langit yang seperti warna kesumba.
Namun saya sering tak boleh bermasturbasi dengan senja sendirian. Akan ada suara orang mengaji yang disetel dari mesjid terdekat, menjadi pengantar sebelum datangnya adzan. Padahal kepak sayap burung-burung berarak pulang ke sarang lebih merdu terdengar.
Si Babab, yang berjamaah di mesjid terdekat hampir tiap maghrib, pernah protes. "Kenapa sih adzan itu nggak gantian aja? Kan lebih enak didengernya," katanya. Menurut lelaki paruh baya yang kebetulan jadi bapak saya itu, akan lebih baik jika jadwal adzan pada mesjid di tiap RT dan RW dijatah masing-masing tiga menit, bergantian. Diawali dari yang paling barat. Jadi, tidak akan ada muadzin yang suara dan usahanya mubazir. Mereka juga nggak bakal balap-balapan kenceng-kencengan memanggil orang untuk shalat.
Sejak saya harus melacur untuk sebuah korporasi multinasional yang nggak gede-gede amat di Jakarta, senja bagi saya sudah tergadaikan. Apalagi kebiasaan 'shitting on the throne' saya jadi tambah berantakan sejak empat tahun lalu. Alhasil, saya hampir selalu mendengar pengantar adzan berupa lantunan ayat-ayat suci sambil mengejan membuang hajat. Berjuta maaf bagi mereka yang terlalu mengagungkan firman Tuhan dan merasa darah saya halal karena melakukan itu dan saya dianggap KAVIR (iya, bener, pakek PE bukan pake EP). Saya bukan ingin kurang ajar, karena bagi saya mengingat Tuhan dapat dilakukan dimanapun dan dalam kondisi apapun.
Anyway, ada yang menarik dari fungsi adzan itu sendiri. Apalagi bagi saya yang takut akan waktu. Iya, saya jujur. Saya agak-agak paranoid dengan berlalunya detik dan menit, apalagi saat saya bersama karib atau pada suasana nyaman. Namun yang paling saya takutkan adalah--ini benar-benar paradox--ketika waktu tidak berjalan sementara saya sedang bekerja. Karena itu tidak pernah ada jam dinding di kamar saya. Untungnya wajah bulat berjarum tiga di ruang saya memburuh berada di punggung, dan saya selalu bisa menyembunyikan jam digital pada ponsel dan komputer meja.
Tapi adzan adalah hal lain. Ia seperti tepukan lembut tangan ibu di pipi saya yang membangunkan dari mimpi untuk bersegera mandi lalu berangkat sekolah. Seperti pengingat halus bahwa masih ada tugas yang harus saya selesaikan. Meskipun tidak tepat-tepat benar, adzan ashar menandakan tenggat yang tersisa tinggal tiga puluh menit, maksimal, untuk saya menggeber pekerjaan memburuh. Subuh mengisyaratkan saya untuk segera tidur, sebisanya, meskipun kantuk tak juga berkunjung. Dzuhur adalah jam makan siang, dan isya adalah waktu pulang saat saya masih asyik di pabrik.
Namun maghrib adalah persoalan lain. Teman saya pernah berkata bahwa maghrib adalah contoh sempurna bagaimana waktu langit dan waktu bumi berkelindan menjadi satu irama. Dan saat sempurna juga bagi saya memulai hari.
picture taken from here.
Dulu, ketika saya masih (dipaksa) sekolah jauh dari rumah dan kumpul bersama beberapa kebo cantik (Hay Ooz, Idung, Ucok, Sumpel dan Tyan! *mendadah*), saya sering membawa mug berisi kopi dan naik ke lantai tiga. Menikmati pendar ketika matahari mengecup rembulan lalu aplusan. Meskipun saya tidak bisa melihat cakrawala karena tertutup atap rumah dan pepohonan, saya tersihir pada semburat langit yang seperti warna kesumba.
Namun saya sering tak boleh bermasturbasi dengan senja sendirian. Akan ada suara orang mengaji yang disetel dari mesjid terdekat, menjadi pengantar sebelum datangnya adzan. Padahal kepak sayap burung-burung berarak pulang ke sarang lebih merdu terdengar.
Si Babab, yang berjamaah di mesjid terdekat hampir tiap maghrib, pernah protes. "Kenapa sih adzan itu nggak gantian aja? Kan lebih enak didengernya," katanya. Menurut lelaki paruh baya yang kebetulan jadi bapak saya itu, akan lebih baik jika jadwal adzan pada mesjid di tiap RT dan RW dijatah masing-masing tiga menit, bergantian. Diawali dari yang paling barat. Jadi, tidak akan ada muadzin yang suara dan usahanya mubazir. Mereka juga nggak bakal balap-balapan kenceng-kencengan memanggil orang untuk shalat.
Sejak saya harus melacur untuk sebuah korporasi multinasional yang nggak gede-gede amat di Jakarta, senja bagi saya sudah tergadaikan. Apalagi kebiasaan 'shitting on the throne' saya jadi tambah berantakan sejak empat tahun lalu. Alhasil, saya hampir selalu mendengar pengantar adzan berupa lantunan ayat-ayat suci sambil mengejan membuang hajat. Berjuta maaf bagi mereka yang terlalu mengagungkan firman Tuhan dan merasa darah saya halal karena melakukan itu dan saya dianggap KAVIR (iya, bener, pakek PE bukan pake EP). Saya bukan ingin kurang ajar, karena bagi saya mengingat Tuhan dapat dilakukan dimanapun dan dalam kondisi apapun.
Anyway, ada yang menarik dari fungsi adzan itu sendiri. Apalagi bagi saya yang takut akan waktu. Iya, saya jujur. Saya agak-agak paranoid dengan berlalunya detik dan menit, apalagi saat saya bersama karib atau pada suasana nyaman. Namun yang paling saya takutkan adalah--ini benar-benar paradox--ketika waktu tidak berjalan sementara saya sedang bekerja. Karena itu tidak pernah ada jam dinding di kamar saya. Untungnya wajah bulat berjarum tiga di ruang saya memburuh berada di punggung, dan saya selalu bisa menyembunyikan jam digital pada ponsel dan komputer meja.
Tapi adzan adalah hal lain. Ia seperti tepukan lembut tangan ibu di pipi saya yang membangunkan dari mimpi untuk bersegera mandi lalu berangkat sekolah. Seperti pengingat halus bahwa masih ada tugas yang harus saya selesaikan. Meskipun tidak tepat-tepat benar, adzan ashar menandakan tenggat yang tersisa tinggal tiga puluh menit, maksimal, untuk saya menggeber pekerjaan memburuh. Subuh mengisyaratkan saya untuk segera tidur, sebisanya, meskipun kantuk tak juga berkunjung. Dzuhur adalah jam makan siang, dan isya adalah waktu pulang saat saya masih asyik di pabrik.
Namun maghrib adalah persoalan lain. Teman saya pernah berkata bahwa maghrib adalah contoh sempurna bagaimana waktu langit dan waktu bumi berkelindan menjadi satu irama. Dan saat sempurna juga bagi saya memulai hari.
picture taken from here.
Postingan kalong nih :|
ReplyDeletemengingat Tuhan dapat dilakukan dimanapun dan dalam kondisi apapun.<---------saya setuju markeju sampe keju2 inih..saya dari bayi sudah dibabtis, tapi ke gereja jarang2. Bukan karena saya endak percaya ato endak taat, saya bahkan lupa beberapa doa2 pokok di agama saya yang seharusnya dihapal oleh anak kecil yang baru bisa ngomong. Bukan karena saya murtad, kerinduan itu ada, tapi saya cumak nunggu saya siap mengeluh ke DIA, saya endak mau membuang waktu saya ke gereja cumak mau sebal sama orang yang mengganggu kekhusyukan saya bersapa tegur dengan NYA.
ReplyDeleteTerus soal waktu ktika bareng dengan orang yang kita sayangi, terasa singkat memang, dan menyakitkan ketika waktu bareng itu mesti selesai..Tapi, sepertinya, perpisahan itu yang membuatnya jadi indah.
Eru
ReplyDeleteyoi yoi! :D
Mbak nDaru
sak ngertiku tuhan akan selalu nerima kita dalam keadaan apapun, kok. abis mabok semaleman dan hangover pagi2 sekalipun. hihi. based on personal experience iniii... haha!