Point of View, Anyone?
Ini lucu.
Suatu hari ada seorang teman yang mengeluh nggak punya baju padahal saya tau rata-rata seminggu sekali dia berbelanja di Zara. Entah blus atau celana kasual, meskipun mungkin yang dia belanjakan kurang dari seratus ribu rupiah. Well, saya menatapnya dengan raut wajah datar. Dia berasal dari keluarga berada dan bersuamikan lelaki kaya. Jadi, akan sangat wajar jika ia bisa seenak perut memburu benda bermerek yang diskonannya pun saya masih pikir-pikir membelinya. Saya? Setaun sekali pun belum tentu karena entah mengapa uang dan saya tak pernah bisa bersahabat dalam waktu lama.
Lalu ketika jari, mata, dan otak saya iseng di suatu siang pada jam seharusnya saya memburuh, saya kepentok lah sama blog salah satu teman saya. Di sana dia bercerita gegap gempita tentang bagaimana dia mendukung perubahan pribadi dengan memamerkan foto-foto anak kecil yang tinggal di kolong jembatan lewat Bahasa Inggris patah-patah. Ternyata dia ikut sayembara penulisan dimana peserta yang menang berhak atas jalan-jalan gratis dan menjadi duta dari negaranya. Menjual kesengsaraan untuk kesenangan pribadi, menurut saya. Mengabarkan tentang bagaimana orang seperti dia pun berpikir untuk merubah dunia jadi tempat yang lebih baik, menurut dia. Walau masih tataran wacana.
Sempat seorang lelaki setengah umur mengadu pada saya betapa anak angkatnya tidak setuju ia menjamu mantan guru dan kepala sekolahnya dengan uang setengah juta. Menurut si anak, akan lebih baik jika uang itu disumbangkan kepada fakir miskin dan duafa. Menurut si bapak, ia hanya berusaha menjamu orang-orang yang pernah berjasa padanya--dan pada rekan-rekan satu sekolahnya--dulu, karena mereka turut andil dalam menjadikan ia 'siapa'. Dan menurut saya, sumbangan duit yang nggak berkesinambungan hanya akan membuat mereka malas dan selalu ngarep dikasih.
Kemudian terbetik kabar beserta serangkaian foto-foto yang membuktikan bahwa konon tersangka kasus penyuapan memiliki ruang tahanan yang lebih mewah dari kamar kos-kosan lux. Mungkin ibu cantik--dengan banyak dempul itu--memang disiksa dengan cara hidup nelangsa seperti itu oleh hukum yang memberlakukan. Mungkin memang peraturannya membolehkan seperti itu. Peraturan dengan banyak sekali angka yang mem-backup di belakangnya. Saya nggak peduli dan nggak ambil pusing tentang itu. Saya nggak ngerti hukum. Namun logika bodoh saya mengatakan ada yang nggak beres dengan tiga kamar sel yang diperuntukkan bagi dia sendiri sementara ada beberapa perempuan berbagi satu ruangan dan tidur tanpa alas.
Ini hanya masalah perbedaan sudut pandang. Teman saya terbiasa tampil dan berangkat meeting dengan pakaian rapih dan serasi, komplit dengan perabotan dari bando, tas, sampai sepatu. Sementara saya hanya mengenakan jins, kaos, sneaker dan tas ransel yang sama kemana-mana. Mbak-mbak yang lain ingin pergi melihat belahan dunia lain melalui prestasi tulisannya, yang saya nilai tidak beda dengan media whoring. Dan bagi si bapak, penghormatan terhadap guru cukup dengan menempatkan mereka pada posisi layak jamu sementara bagi si anak adalah kemubaziran. Dan mungkin si ibu cantik yang saya pergunjingkan setelahnya akan gatal-gatal jika menggunakan fasilitas umum bersama dengan para perempuan kriminal yang tidak dari kastanya.
Namun ada satu hal yang membatasi semuanya: bahwa tiap kejadian memiliki alasan sendiri, dan bukan hak dan kewajiban kita mengorek setiap alasan--kecuali kasus kamar tahanan mewah.
Dan saya? Lagi-lagi hanya menghabiskan waktu di sudut sebuah warung hingga baterai Pektay saya terengah-engah lalu sekarat...
Suatu hari ada seorang teman yang mengeluh nggak punya baju padahal saya tau rata-rata seminggu sekali dia berbelanja di Zara. Entah blus atau celana kasual, meskipun mungkin yang dia belanjakan kurang dari seratus ribu rupiah. Well, saya menatapnya dengan raut wajah datar. Dia berasal dari keluarga berada dan bersuamikan lelaki kaya. Jadi, akan sangat wajar jika ia bisa seenak perut memburu benda bermerek yang diskonannya pun saya masih pikir-pikir membelinya. Saya? Setaun sekali pun belum tentu karena entah mengapa uang dan saya tak pernah bisa bersahabat dalam waktu lama.
Lalu ketika jari, mata, dan otak saya iseng di suatu siang pada jam seharusnya saya memburuh, saya kepentok lah sama blog salah satu teman saya. Di sana dia bercerita gegap gempita tentang bagaimana dia mendukung perubahan pribadi dengan memamerkan foto-foto anak kecil yang tinggal di kolong jembatan lewat Bahasa Inggris patah-patah. Ternyata dia ikut sayembara penulisan dimana peserta yang menang berhak atas jalan-jalan gratis dan menjadi duta dari negaranya. Menjual kesengsaraan untuk kesenangan pribadi, menurut saya. Mengabarkan tentang bagaimana orang seperti dia pun berpikir untuk merubah dunia jadi tempat yang lebih baik, menurut dia. Walau masih tataran wacana.
Sempat seorang lelaki setengah umur mengadu pada saya betapa anak angkatnya tidak setuju ia menjamu mantan guru dan kepala sekolahnya dengan uang setengah juta. Menurut si anak, akan lebih baik jika uang itu disumbangkan kepada fakir miskin dan duafa. Menurut si bapak, ia hanya berusaha menjamu orang-orang yang pernah berjasa padanya--dan pada rekan-rekan satu sekolahnya--dulu, karena mereka turut andil dalam menjadikan ia 'siapa'. Dan menurut saya, sumbangan duit yang nggak berkesinambungan hanya akan membuat mereka malas dan selalu ngarep dikasih.
Kemudian terbetik kabar beserta serangkaian foto-foto yang membuktikan bahwa konon tersangka kasus penyuapan memiliki ruang tahanan yang lebih mewah dari kamar kos-kosan lux. Mungkin ibu cantik--dengan banyak dempul itu--memang disiksa dengan cara hidup nelangsa seperti itu oleh hukum yang memberlakukan. Mungkin memang peraturannya membolehkan seperti itu. Peraturan dengan banyak sekali angka yang mem-backup di belakangnya. Saya nggak peduli dan nggak ambil pusing tentang itu. Saya nggak ngerti hukum. Namun logika bodoh saya mengatakan ada yang nggak beres dengan tiga kamar sel yang diperuntukkan bagi dia sendiri sementara ada beberapa perempuan berbagi satu ruangan dan tidur tanpa alas.
Ini hanya masalah perbedaan sudut pandang. Teman saya terbiasa tampil dan berangkat meeting dengan pakaian rapih dan serasi, komplit dengan perabotan dari bando, tas, sampai sepatu. Sementara saya hanya mengenakan jins, kaos, sneaker dan tas ransel yang sama kemana-mana. Mbak-mbak yang lain ingin pergi melihat belahan dunia lain melalui prestasi tulisannya, yang saya nilai tidak beda dengan media whoring. Dan bagi si bapak, penghormatan terhadap guru cukup dengan menempatkan mereka pada posisi layak jamu sementara bagi si anak adalah kemubaziran. Dan mungkin si ibu cantik yang saya pergunjingkan setelahnya akan gatal-gatal jika menggunakan fasilitas umum bersama dengan para perempuan kriminal yang tidak dari kastanya.
Namun ada satu hal yang membatasi semuanya: bahwa tiap kejadian memiliki alasan sendiri, dan bukan hak dan kewajiban kita mengorek setiap alasan--kecuali kasus kamar tahanan mewah.
Dan saya? Lagi-lagi hanya menghabiskan waktu di sudut sebuah warung hingga baterai Pektay saya terengah-engah lalu sekarat...
well, memang hampir separuh atau bahkan lebih orang yang seperti kamu tulis di atas, yang mungkin kadarnya sedikit beda.
ReplyDeletemaksud dia tidak punya baju mungkin lebih pada pengungkapan, "Aku pakai baju apa ya?", dengan cara yang salah.
masalahnya kebanyakan orang berjalan sambil tengadah terus, tidak pernah mau melihat ke bawah. Giliran terantuk dan jatuh...sakit sekali.
EM
Yaaa, kalo bicara soal point of view emang ga ada habisnya. Masing-masing orang pasti punya argumen masing-masing. Capek ngikutinnya, mending berbenah diri sendiri dulu aja kali ya...
ReplyDeletengga setuju dengan pendapat "berbenah sendiri dulu". Terkesan egois.
ReplyDeletePostingane apik, Pit
*kasih lapan* >:)
dan saya termasuk salah satu perempuan yang merasa ga pernah cukup dengan baju dan sepatu yang semakin lama semakin numpuk..*sigh*
ReplyDeletente em
ReplyDeleteiya sih. bener. cara ngomongnya aja yg salah. still, it's disturbing. ya with due all respect dengan perempuan-perempuan yg suka secara nggak sadar ngeluarin statement yg sama. hihi.
Riki
that's your point of view and this is mine (=
Ipung
my idea exactly. errr... KENAPA CUMA LAPAN?! *siap2 pecut berduri*
Mbak Stey
hihihi. bukan gwa yg ngomong lho yaaa...
Good girl...
ReplyDelete*pat* *pat*
there.. there.. Fetch!
*cuma mo balas dendam*
BTW dividinya uda gw burn tu, masi nunggu hari jadwal tukang pos ngambil ke kantor
Heuheu, tiap orang punya persepsi yang unik.
ReplyDeleteMasalah baju, gw beli baji baru kalau di lemari udah kosong, artinya: malas nyuci... :P
miris juga yah :D
ReplyDeleteEru
ReplyDeleteLha? bisa gitu?! haha! Eh, udah tau kan dikirim kemana?
Mangkumlod
wah! hebat! bisa nyampe sini! *Tepuktangan*
hal yg terjadi pada baju mamang juga terjadi pada jeroan saya =P
Bang Almas
katanya nyuci baju, kok malah maen kesini?
lha trus piye? *dikaplok* :D
ReplyDeletelha trus piye? *dikaplok* :D
ReplyDeletetouché....
ReplyDeleteSimbok V(agina)
ReplyDelete*udah lama ga manggil kek gini =P*
yo orak piye2 to ya...
Bro Id
hey! long time no see! *tos*
kayaknya gw gak asing dengan paragraf dua itu.
ReplyDeleteEh, gw yang beli celana dalam 5 tahun sekali aja gak sombong
*balikin CD ke side C*