An Insomniac Writes Me A Letter Pt.2
Hi, Nduk!
Sejak kapan emosi bernama? Marah, sedih, kecewa, gelisah, kesal, senang, datar, sayang, suka, cinta... apapun lah. Apakah ini ciptaan Tuhan atau produk turunan karena manusia memiliki akal dan perasaan?
Dan sekarang aku kalut, Nduk. Dari semua sayang, kasih dan waktu yang kucurahkan untuknya kok ya rasanya jadi hampa aja di sini, di dadaku. Tapi menusuk. Aku nggak tau itu nama tepatnya apa, tapi yang jelas, aku nggak suka. Zona amanku terguncang begitu dahsyat.
Aku pernah curhat ke Si "Tomorrow", yang membuatku mati rasa terhadap lawan jenis manapun karena kelancangannya membawa seluruh hatiku bersamanya, tentang betapa sux-nya hidup dipenuhi masalah-masalah yang dipercayakan segelintir orang tapi bukan main beratnya untukku, karena sesungguhnya itu sama sekali bukan masalahku. Dia bilang itu talenta karena mereka nyaman menitipkan rahasia padaku. Aku bilang itu kutukan karena mereka adalah mahluk tak terjamah dan tidak mungkin kuraih, meski aku menyelamatkan hidup mereka.
Kamu tau, Nduk?
Aku layaknya Qais Si Majnun, mengais cinta Laila hingga ke kerak terdasar tanpa tau apa yang sesungguhnya kucari. Tapi aku merasa seperti Caesar Sang Penakluk ketika manusia-manusia indah itu patuh tunduk terhadap semua sabdaku dan menelan mentah-mentah apa yang kusarankan pada mereka. Tanpa bisa kujangkau secara fisik. Padahal aku ingin merayakan kemenangan tubuh, kepuasan badani, kebanggaan dangkal untuk bisa menggandeng salah satu dari mereka dan memamerkannya ke seluruh dunia bahwa AKU BISA MENAKLUKKANNYA tanpa rasa romantik dan sentimentil.
Salah satu sahabat yang kupercaya menjadi belahan jiwa pernah berkata bahwa melakukan sesuatu tanpa pamrih akan membawa balasan berlipat yang nggak akan kamu sangka, bahkan dalam imajinasi terliarmu sekalipun. Dengan membuat dirimu merendah hingga tiarap, dianggap nothing, atau mungkin hanya seonggok daging tak bermakna di hadapan orang lain tetapi selalu helpful akan membuatmu mengerti makna alam semesta dan bagaimana peranmu di dalamnya. Kurasa aku masih angkuh untuk menunduk. Atau megalomania kronis?
Bodoh? Memang. Aku hanya ingin hidup normal. Tapi apakah kamu normal jika kamu adalah satu-satunya orang waras ditengah jutaan psychomaniac? Apakah kamu bisa menjabarkan apa arti 'normal' di jaman hi-tech seperti ini? Tolong jelaskan padaku, Nduk. Aku lelah mencari hingga rasanya ingin menangis. Tapi itu pantangan untuk orang sepertiku, bukan? Aku perlu rehat. Panjang.
dan aku masih merindukan senyum, daging yang hidup, gairah terlarang, pelukan hangat, sentuhan lembut, manis bibir, geliat tubuh dan lenguhan nikmat yang pernah kukecap darinya dan kini kucari di belantara manusia bernama bumi. aku mati, Nduk. M A T I .
Dan apa yang kau temukan disana, Sahabat. Apa...?
Sejak kapan emosi bernama? Marah, sedih, kecewa, gelisah, kesal, senang, datar, sayang, suka, cinta... apapun lah. Apakah ini ciptaan Tuhan atau produk turunan karena manusia memiliki akal dan perasaan?
Dan sekarang aku kalut, Nduk. Dari semua sayang, kasih dan waktu yang kucurahkan untuknya kok ya rasanya jadi hampa aja di sini, di dadaku. Tapi menusuk. Aku nggak tau itu nama tepatnya apa, tapi yang jelas, aku nggak suka. Zona amanku terguncang begitu dahsyat.
Aku pernah curhat ke Si "Tomorrow", yang membuatku mati rasa terhadap lawan jenis manapun karena kelancangannya membawa seluruh hatiku bersamanya, tentang betapa sux-nya hidup dipenuhi masalah-masalah yang dipercayakan segelintir orang tapi bukan main beratnya untukku, karena sesungguhnya itu sama sekali bukan masalahku. Dia bilang itu talenta karena mereka nyaman menitipkan rahasia padaku. Aku bilang itu kutukan karena mereka adalah mahluk tak terjamah dan tidak mungkin kuraih, meski aku menyelamatkan hidup mereka.
Kamu tau, Nduk?
Aku layaknya Qais Si Majnun, mengais cinta Laila hingga ke kerak terdasar tanpa tau apa yang sesungguhnya kucari. Tapi aku merasa seperti Caesar Sang Penakluk ketika manusia-manusia indah itu patuh tunduk terhadap semua sabdaku dan menelan mentah-mentah apa yang kusarankan pada mereka. Tanpa bisa kujangkau secara fisik. Padahal aku ingin merayakan kemenangan tubuh, kepuasan badani, kebanggaan dangkal untuk bisa menggandeng salah satu dari mereka dan memamerkannya ke seluruh dunia bahwa AKU BISA MENAKLUKKANNYA tanpa rasa romantik dan sentimentil.
Salah satu sahabat yang kupercaya menjadi belahan jiwa pernah berkata bahwa melakukan sesuatu tanpa pamrih akan membawa balasan berlipat yang nggak akan kamu sangka, bahkan dalam imajinasi terliarmu sekalipun. Dengan membuat dirimu merendah hingga tiarap, dianggap nothing, atau mungkin hanya seonggok daging tak bermakna di hadapan orang lain tetapi selalu helpful akan membuatmu mengerti makna alam semesta dan bagaimana peranmu di dalamnya. Kurasa aku masih angkuh untuk menunduk. Atau megalomania kronis?
Bodoh? Memang. Aku hanya ingin hidup normal. Tapi apakah kamu normal jika kamu adalah satu-satunya orang waras ditengah jutaan psychomaniac? Apakah kamu bisa menjabarkan apa arti 'normal' di jaman hi-tech seperti ini? Tolong jelaskan padaku, Nduk. Aku lelah mencari hingga rasanya ingin menangis. Tapi itu pantangan untuk orang sepertiku, bukan? Aku perlu rehat. Panjang.
dan aku masih merindukan senyum, daging yang hidup, gairah terlarang, pelukan hangat, sentuhan lembut, manis bibir, geliat tubuh dan lenguhan nikmat yang pernah kukecap darinya dan kini kucari di belantara manusia bernama bumi. aku mati, Nduk. M A T I .
Dan apa yang kau temukan disana, Sahabat. Apa...?
curhat yang keren....
ReplyDeletesangat sangat manusiawi....
semua pasti pernah ngalamin...
solusinya...?
balik lagi pada diri kita...akan berapa lama kita ada pada fase ini...
uugghh...pasti susah banget...tapi pasti bisa....
(tulisannya keren bangett!)
Bunda Nila:
ReplyDeletethe credit goes to the writer and it wasn't me. i'm just an editor. kalo keren gini ga mungkin eke yg nulis, bun!!!
anyway, thx 4 the advice. he'll read. i'm sure (=