Posts

Showing posts from May, 2006

Kopi Lu Gimana?

Image
Kalo gwa di rumah, tiap hari terjadi diskriminasi pada suguhan kopi. Bokap gwa selalu bangun paling pagi, lalu masak air dan bikin minuman panas untuk anak, istri dan dirinya sendiri. Cuma gwa yang nggak pernah dibikinin. Padahal minuman pagi--dan siang dan sore dan malam--gwa paling gampang: satu setengah sendok makan kopi diseduh dengan air mendidih satu mug. Nggak usah nakar gula karena gwa ga suka kopi manis. Gwa mau ngopi, gituloh! Bukan minum sirup karamel panas! Sebenernya sih Si Babab bukannya diskriminasi. Tapi kayaknya beliau bete aja, kalah wibawa sama anak perempuannya dalam hal kopi-mengopi. Soalnya takaran Babab adalah 2 sendok makan kopi, 3 sendok makan (penuh!) gula, diseduh dengan air satu mug. Tapi kalo gwa udah bikin sendiri, gelas gwa yang paling aman dari gangguan seruputan lambe-lambe nggak bertanggungjawab karena nggak ada yang doyan. Biasanya Ibu yang komentar: "Siapa sih yang sudi ngembat kopi dukun kamu?!" Tadinya gwa masih suka kopi dengan sedikit g...

Numb Lagi, Numb Lagi... Bosen Ah!

Ya, ya, ya. Gwa berduka. Jogja-Jateng gempa hebat Sabtu lalu. Sewon dan Bantul rata dengan tanah. Beberapa tempat lain rusak, meskipun nggak terlalu parah. Ribuan orang harus kehilangan nyawa tertimpa tempat perlindungan mereka sendiri. Dan ribuan lagi luka-luka sampe mati karena jumlah korban jauuuuh lebih banyak daripada tenaga medis yang tersedia. Juga masih ada ribuan lainnya yang jadi tunawisma karena nggak punya tempat berteduh. ........ dan gwa nggak ada di tempat kejadian ketika bencana itu datang. ............. sementara di 'rumah' gwa orang bergelimpangan, sekarat, papa dan putus asa, gwa liburan ke Bandung dan menikmati waktu-waktu menyenangkan bersama sahabat. As if nothing happened. As if we're living in another reality. As if what we've seen on the news was just another show that meant to develop the viewers' sympathy. But yes, I grieved. I stunned. They were real. The blood spurted from the open wounds was not artificial. The sorrow they felt was not ...

Being Mature and Aware...

Ada seorang nenek yang merasa sudah melampaui segalanya dan bangga akan hal itu."Usiaku 74! Semua teman-temanku sudah berpulang dan aku masih bertahan dan sehat. Otakku masih bekerja sempurna karena aku suka membaca. Coba... Mana ada nenek segagah aku sekarang?!" Sementara anak dan cucunya hanya memandang getir dari balik jendela ketika mereka melihatnya sesumbar pada tukang ojek yang mangkal di depan rumah. Begitukah menjadi dewasa dan sadar akan kedewasaannya? ...................................................................................another procrastination moment of my life.

Adikku Pekerja

Dia pulang larut malam pukul sebelas. Ibu dan aku menunggu di teras depan, cemas. Apa jadinya hari pertama training si bungsu manja yang masih suka tidur di pelukan Ibu itu. Lalu dia datang bersama Babab yang menjemputnya. Wajahnya lelah. Rambutnya berantakan. Rias wajah tipis yang dipoleskan oleh Ibu tadi pagi memudar. Setelah menghempaskan diri di kursi, airmata tiba-tiba menetes tanpa mengindahkan tanya yang mengambang di wajah kami. "Capek... Kakinya lecet berat gara-gara pake sepatu baru... Sebel..." Duh, Dek. Berdiri di resto Cina yang ada di salah satu Mal besar Jakarta memang bukan hal enteng. Kamu harus menahan hati dengan senyum siap sedia, melayani dan memandangi orang-orang kaya yang bebas-merdeka menikmati makanan harga jutaan (meskipun kamu tahu ada banyak anak-anak pengojek payung kedinginan di luar). Dengan gaji 15,000 per hari--yang kamu dapat secara akumulatif setelah dua minggu disiksa dalam 11 jam kerja sebelum kamu diperas dengan bayaran lebih tinggi--b...