In The End, Everybody Dies

TRIGGER WARNING!

Dark. So dark even by my own standard.


Sudah hampir setahun ini saya berpikir keras--sesuatu yang sangat jarang sekali saya lakukan. Lumayan juga ini pageblug. Otak saya batal atropi.

Yang jadi keresahan saya paling utama adalah betapa pemerintah nggak ada serius-seriusnya menangani musuh renik tak kasat mata namun sangat mematikan ini. Betapa bercandanya statement yang dilontarkan di publik oleh para pengambil keputusan yang di tangan mereka hajat hidup dan nyawa orang banyak terletak. Isuk dele, sore tempe. Mencla-mencle, undlap-undlup koyok peli (melambaikan tangan pada Bapak Terawan yang saya ingin sekali dia dibuat mendadak gagu). Saat tulisan ini dibuat, sudah ada 196.989 kasus tercatat dengan 8.130 kematian, termasuk 105 dokter (yang sekolahnya susah dan lama, duitnya kudu buwanyak, dan kalau ambil spesialisasi udah perpaduan antara budak Afrika jaman kolonialisasi Amerika dan gencet-gencetan ala ciwi-ciwi populer jaman SMU), belum lagi kru nakes dan para pekerja penyangga operasional rumah sakit. Saat grafik terus menanjak, kementrian malah buka pintu untuk perjalanan dinas basa-basi. Demi mendongkrak pariwisata, katanya. Salah satu pemimpin daerah yang dicurigai positif pun malah ngajak para wartawan press conference rame-rame di rumahnya lalu mati beberapa hari kemudian. Nggak ada sense of crisis seitil-itil acan dari orang-orang penting yang dulu sumpahnya "dengan nama Tuhan", yang pada mereka pengejewantahan paling dasar terhadap KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA seharusnya dilaksanakan. Nggak ada satupun prilaku pejabat yang bisa jadi panutan. Masih kumpul-kumpul seremonial tai anjing (halo, tugu peti mati Sunter!) dan merasa superhuman anti virus karena swab test dan fasilitas tersedia sejangkauan tangan untuk mereka, sesering mungkin, sebanyak apapun. WFH? Apa itu?! Ayo pada ngantor! Persetan kamu demam sampai mati di kamar kosan, sunyi, sepi, tak ada yang peduli bahkan bosmu sendiri.  

Mungkin para pengambil keputusan di Indonesia lupa bahwa negara yang sering kita bela mati-matian sampai malu-maluin di depan tim sepakbola Malaysia dan Thailand ini terdiri dari ribuan pulau yang bahkan sampai detik ini saja listrik masih belum tersedia di beberapa wilayah terdepan Nusantara. Apalagi tower BTS. Ratusan mobil penyedia internet bergerak yang harusnya mampu menjaga keberlanjutan pendidikan anak-anak penerus generasi bangsa saat pandemi begini terparkir mangkrak bertahun-tahun karena mentrinya (saat itu) lebih fasih bicara langitan dengan pantun kacangan daripada bikin regulasi dan peraturan taktis bagaimana bikin akses informasi merata sampai ke pojokan paling jauh. Selangkangannya sendiri yang nakal, tapi berdalih "demi moral bangsa" dengan buang-buang duit negara dan bikin internet positif yang kebanyakan mudaratnya daripada manfaatnya itu.   

Sementara pesohor pun banyak yang ikutan jadi covidiot, menggunakan platform media sosial berpengikut banyak dan bicara layaknya nabi, menyangkal semua data dan fakta yang digali para ilmuwan yang bertaruh nyawa dan oyak-oyakan dengan waktu, menafikan benak-benak polos yang nanar mencari pegangan. Begitu pula para caleg yang kampanye menjelang pilkadal. Ayo kumpulkan orang sebanyak-banyaknya! Ayo sewa dangdutan dan bikin panggung besar-besar! Hey, setidaknya ada satu hal paling jelas yang bisa kita lakukan dalam pilkadal mendatang. Perhatikan media mainstream. Caleg-caleg yang sering ngadain donasi-donasi tai tardigrade yang katanya menyapa konstituen sembari ngumpulin massa tanpa peduli protokol kesehatan, JANGAN DIPILIH! Mereka cuma peduli banyak-banyakan surat suara, tapi nggak peduli kesehatan orang banyak, nggak peduli nasib rakyatnya ntar gimana. Palingan kayak yang udah-udah. Jadi pejabat demi proyekan dan pelanggengan dinasti kekuasaan. It's Indonesia Inc., anyway--what do you expect? CEO milih CEO. Direktur nunjuk Direktur. Begitu aja terus sampe tardigrade berak darah.

Maaf sebelumnya. Sekadar mengingatkan 🙏 Ini nyawa manusia loh, bapak-bapak dan ibu-ibu yang katanya anggota dewan yang terhormat. Mereka punya keluarga, sahabat dan kerabat yang mereka sayang. Mereka punya kisah, punya cita-cita, punya impian dan hidup yang kalian jegal semena-mena. Apalagi para dokter yang syahid pasang badan demi pasien. Mereka punya banyak ilmu yang harusnya bisa diturunkan untuk dokter-dokter muda generasi selanjutnya, demi orang-orang Indonesia juga (meskipun sistemnya sangat senioritas dan feodalistik abitch). Namun dengan menyebut Pertumbuhan Ekonomi Yang Maha Besar lagi Maha Kejam kalian perlakukan nyawa manusia sebagai angka statistik semata, sekadar sekrup disposable yang bisa diganti kapanpun kalian mau. Kalian buat Nusantara jadi pabrik maha besar yang bisa dieksploit demi kepentingan kalian sendiri. Sejak pendidikan dikomersilkan demi membina sekrup-sekrup yang lebih segar dan lebih nurut pada pasar dan investor, sejak acara kawinan seleb dirasa lebih genting untuk disiarkan di frekuensi publik ketimbang berita petani yang dihajar aparat demi pembangunan jalan/tambang/perkebunan, sejak sawit dirasa jauh lebih krusial ketimbang hutan-hutan Papua yang jadi tempat berlindung ribuan flora dan fauna liar dan sebagai paru-paru dunia, sejak suku adat dipaksa pindah agama dan lahannya dicaplok secara resmi demi kultuur stelsel gaya baru yang ditukar dengan sepetak tanah transmigrasi, sejak alokasi dana BuzzerRp jauh lebih banyak daripada budgeting penanggulangan bencana, ketika jargon KERJA-KERJA-KERJA(-TIPES!) sejalan dengan BELI-BELI-BELI tanpa melihat upah di tangan maupun tagihan di depan, sejak Omnibus Law lebih ganas dirapatkan di gedung pantat ketimbang pengesahan RUU-PKS dan membiarkan perempuan dan anak dibunuhi tiap tahun sementara penjagaan moral diserahkan pada KPI yang tugasnya meminta stasiun TV nge-blur bagian dada Sandy Squirrel temannya Spongebob, sejak mahasiswa kritis dibungkam dengan UKT yang terus menaik, sejak pemagaran alun-alun dirasa lebih penting daripada antisipasi tenaga kerja UMK mepet yang berteriak susah makan dan susah hidup, sejak itulah manusia nggak ada harganya di mata penguasa. 

Apa kalian segitu repotnya mroyekan, korupsi, membangun pondasi-pondasi oligarki dan menunjuk penerus dinasti kekuasaan sambil sesekali halan-halan ke luar negeri bawa keluarga sekompi pake duit rakyat, wahai Bapak dan Ibu Anggota Dewan yang Terhormat, sampai nggak sempat nonton film genre sci-fi apokalips? Liat noh, jika sains dan ilmuwan dibungkam sementara politisi dan pemuka agama dibiarkan buang abab sembarangan, maka rasakan pedihnya azab alam raya. No one gets out of it alive, anyway. So, why bother? Mungkin gitu kali ya si Bapak dan Ibu itu mikirnya. Anjay.

Mungkin banyak yang nggak sadar bahwa yang kita hadapi ini sama sekali nggak natural. Virus bukan berasal dari alam. Umurnya baru, sejak ada Spanish Flu itu. Dia bukan benda yang hidup karena kaidah-kaidah organisma saja tidak terpenuhi. Silakan cari jurnal atau riset wiki mengenai ini. Virus hanya punya inti protein, tidak perlu makan dan berak, tanpa perlu bergerak dan berkembangbiak. Ini dibikin, memang. Oleh siapa? Nggak tau. Saya nggak mau mikir teori konspirasi, karena pikiran-pikiran seperti itu lahir dari benak yang malas. Begini-beginian ini juga hasil diskusi saya dengan jebolan Kimia Terapan dari Jerman--satu-satunya sahabat keluarga yang masih saya pegang erat-erat karena benaknya yang tajam mirip robot AI.   

Saya saksikan sendiri cahaya yang makin lama makin memudar di mata-mata para tetangga dan kerabat, mereka yang berharap uang sedikit dari menjual benda-benda kesayangan, dan bahkan nekad menggadai 'mesin perang' mereka sendiri supaya mampu menyambung napas lebih panjang lagi sedikit. Pasangan muda sebelah kamar yang baru saja melahirkan semakin sering terpantik emosi satu sama lain. Suara mereka saling berteriak semakin keras seiring bertambahnya hari, berlatar teriakan bayi yang menjerit meminta ASI. Para pekerja seks di lokalisasi yang terjebak tak mampu pulang sebelum pageblug menghantam bertahan dengan mie instan setiap hari, bertopeng senyum tersungging ke lelaki-lelaki yang datang memanfaatkan ngewe diskonan, menatap maut tepat di mata karena tamu enggan pakai kondom, apalagi ngentot tanpa masker. Hanya di saat seperti ini maka manusia baru percaya bahwa pariwisata adalah pilar ekonomi yang terbuat dari pasir dan air, yang bahkan kalah kuat dengan batang korek api. But damage done. Kebiasaan puluhan tahun, bergantung pada sesuatu yang rapuh dan seketika dalam sekejap tercerabut begitu saja maka akan menyebabkan orang kehilangan arah, kehilangan kebiasaan, kehilangan mata pencaharian dan menghamba pada dolar, menukar tanah ijo royo-royo untuk dibangun villa meskipun kudu menghambat subak yang umurnya ratusan tahun, adalah lebih mudah ketimbang turut menggarap tanah dan menangkap ikan di laut karena dua profesi itu nggak seksi, nggak mantuable, penuh kerja-keras, dan nggak dibayar lebih banyak ketimbang mereka jadi driver atau bawa tamu bule ke toko oleh-oleh berharap susuk atau jadi partner pakenton liburan. Dan nggak kena juga dibayar pakai eksposure. 

Saya tinggal di tanah bertuah, The Island of The Gods, yang setiap sudutnya bernapas, tak terlihat, tak teraba, mendiami semua benda yang manusia anggap tak hidup, dihormati melalui dupa dan sesaji, yang konon karma baik dan buruk dibalas berkali lipat di sini. Hingga pada suatu malam yang tidak biasanya lengang, dengan motor perang butut yang plat nomer, STNK, dan BPKB-nya nggak ada yang sama itu, yang saya beli murah-murahan di marketplace medioker, saya dapati jalanan yang void. Sesak sekaligus melompong. Kosong. Menyakitkan. Confirmed, secara niskala, teman saya mengatakan bahwa Odahnya yang punya antena receiver built-in dan deviasi dari panca indera seluruh populasi manusia juga berpendapat yang sama. Entah ke mana "yang halus-halus" itu pergi. Dan sudah seharusnya kita semua waspada. 

Tapi melelahkan menjadi waspada setiap saat. Dokter-dokter jaga yang burnout dan rumah sakit yang bahkan 90% kapasitasnya penuh terisi sementara manusia masih lalu-lalang demi bergeraknya ekonomi, tanpa sadar menyediakan diri untuk jadi statistik semata, meninggalkan kerabat dan sahabat pilu meratapi mayat tersegel plastik atau marah dan bawa pulang penyakit demi ritual agama yang memuluskan jalan mendiang menuju surga namun meninggalkan pagebluk untuk diderita para pelayat di belakang. 

Saya juga burnout. Sumbu saya makin pendek seiring bertambahnya hari. Hidup pun percuma rasanya jika hanya menunggu mati yang sebenarnya sangat niscaya dan makin dipercepat dengan adanya wabah. Teman-teman yang saya kira mampu jadi penawar rasanya makin bangsat saja semakin ke sini. Dalam tiga hari ini saja sudah ada tiga orang yang saya blok dari semua kontak dan sosmed tanpa ampun, tanpa pikir panjang. Saya rasa saya harus menyelamatkan diri saya sendiri. Karena pada akhirnya kita pun sendirian, bukan? Percayalah pada cinta dan harapan, karena di novel-novel Orwel dan di film-film apokalips dua hal itu punya daya revolusioner dan kerebelan paling pungkas dan paling merusak, katanya. Ya monggo. Kalian yang masih percaya, silakan bercinta dan berharap, demi menyebut nama apapun yang kalian anggap paling suci dan paling mulia. Jaga kawan dan kerabat sebelah-menyebelah. Buka mata, telinga, dan hati lebar-lebar. Silakan kehilangan semuamua namun jangan kehilangan rasa kemanusiaan. Keto kone. Monggo, silakan saja. 

Saya menyerah.  

Like an army, falling, one by one by one...


ps. hey, kamu. jika wabah ini usai dalam dua tahun ke depan dan kita masih sama-sama hidup dan jomblo... kawin yuk kita menumbangkan oligarki yuk!




Comments

  1. saya pikir saya saja yg merasa sumbu saya memendek, terimakasih atas tulisan ini, walaupun isinya meledak-ledak tapi tetap ditulis denga rapi dan runut,

    dan lagi2 saya pikir cuma saya yang juga terpaksa ngeblok bbrp kontak kawan kok ya kalo ngomong jd nyebahi..

    smoga terus sehat2 di sana ya, pit
    dan ya smoga berlalu ini pagebluk, walau entahlah kapan

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, Om. we're in this shit together. aku capek pura-pura semua baik-baik saja. aku udah tahan berbulan-bulan, kupikir aku bisa. ternyata meledak juga. haha.
      aku ga ngerti juga, rasanya sejak Februari ini hidup becandaannya kelewatan, udah ga lucu lagi. tapi kan kalo udah terlanjur hidup ya jangan mau sembarangan mati.

      may the universe be in our favor.

      Delete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?