Day 9 - Dear Genduk
Nduk,
Mari kuceritakan kembali bagaimana ngelangutnya perjalanan lewat tengah malam di sepanjang trotoar pada selarik sudut Jogja hanya untuk mencari lelah.
Waktu itu terlalu banyak monster di dalam kepala, berteriak bersahut-sahutan tak ada yang ingin mengalah. Perlu waktu dua jam menyeret-nyeret kaki pada tubuh yang terjaga lebih dari tiga hari. Terlalu banyak yang harus dilakukan dalam setiap langkah. Meletakkan mata di belakang kepala hanya karena kau perempuan. Mendiamkan resah yang lasak di sudut benak. Menghitung butiran aspal dan kecoak yang melintas dan terinjak. Bergegas karena di kelokan depan seringkali satpam baik yang sedang patroli (dan sangat ingin kau hindari) akan menegurmu dan mengajakmu ngobrol di posnya lalu akan membuatkanmu kopi dan kau seperti harus menjawab semua pertanyaan-pertanyaan polosnya tentang mengapa ada perempuan yang bisa tidak tidur berhari-hari kemudian tujuanmu menyeret-nyeret langkah buyar sudah karena kopi, rokok, dan obrolan hangat tak kan mampu mengundang lelap. Dan di ujung pagi kau akan bersyukur karena semalam lagi cutter yang selalu kau raba di dalam saku kiri depan celanamu urung kau gunakan.
Nduk,
Mari kuceritakan kembali tentang bagaimana kau pernah jatuh dengan gagah.
Tentang bagaimana semua harapan dan keinginan tersemat di pucuk gemintang paling atas lalu terhempas tuntas dengan pinggiran compang-camping dan utas yang getas di lapangan berdebu depan rumah kos-kosan. Tentang badan yang rasanya ingin shutdown, tentang butiran bening yang selalu kau tahan namun akhirnya kau lepas ketika kau benar-benar sendirian, tentang tarikan napas yang selalu mandek di tenggorokan, tentang semua pertanyaan yang selalu kau jawab dengan geletar ujung bibir yang hampir membentuk senyuman karena bahkan "aku baik-baik saja" rasanya seperti konsep yang hanya bisa kau gambar di angan. Dan kau akan kembali membuka pintu kamar dan menyibak tirai di jendela setelah berhari-hari menjilati luka sendirian.
Nduk,
Mari kuceritakan kembali tentang bagaimana semua pintu terbanting di depan muka.
Mari mengingat banyaknya janji yang tak tergenapi, tentang lelah yang tak pernah punah, tentang kesedihan yang ternyata punya banyak wajah, tentang kehilangan yang juga hadir dalam banyak pertemuan, tentang kebohongan yang ternyata mampu datang pada sebaik-baiknya tindakan. Mari tundukkan kepala untuk setiap orang yang akhirnya pergi tak kembali, namun angkat dagumu lagi untuk setiap jiwa yang sempat kau dekap dalam diam.
Tapi Nduk,
Seperti berpasangannya semua hal yang hadir ke dunia, kegetiranmu pun punya manisnya juga. Pada setiap lirihnya tangis yang pernah terlepas akan kau temukan juga tawa yang seakan tak punya dosa. Setiap torehan merah menggurat jantung pun akan terganti dengan lapisan-lapisan baru. Pada setiap "kematian" maka kau temukan "kelahiran". Pada yang usang akan ada yang segar. Pada tatu akan kau temukan kenangan. Dan pada manusia-manusia lain yang kau jumpai akan kau temukan jawaban dan segala keperluan.
Nduk,
Istirahatlah jika kau lelah namun jangan sekali-sekali berhenti karena berhenti hanya untuk yang mati. Untuk seseorang yang menolak maut lebih dari sekali, haruskah kau serahkan denyut hidup pada langkah yang surut?
Terima kasih untuk pijakan dan sandaran yang selalu kutemukan sendirian.
Hei, badai seperti apa lagi yang akan kau hantarkan?
Comments
Post a Comment
Wanna lash The Bitch?