Quo Vadis, Bali?

Salah satu ogoh-ogoh yang dilombakan sedang di-display di Pantai Mertasari, Sanur. 
Biasanya saat malam Pengrupukan sebelum Nyepi, ogoh-ogoh diarak keliling banjar, 
berputar tiga kali di perempatan, lalu dibakar. 

Jika kau biarkan suatu kekuasaan atau sistem mulai mengontrol caramu dekat dengan Tuhanmu, di situlah awal mula kau mulai menjauh dariNya.
- Pungkas, a badass friend of mine

Tahun ini Nyepi kelima di Bali dan saya selalu suka suasananya. Meskipun gelap-gelapan dan harus nyetok makanan untuk 24 jam, saya merasa sedang merayakan me time bersama seluruh saudara sepulau. Saya juga nggak masalah bergelap-gelap. Sekalian ngirit listrik. Lagipula, sama dengan semua teman pendatang yang pernah tinggal di sini, kami sangat menunggu-nunggu the greatest gig in the sky: jika langit cerah akan ada banyak bintang bertaburan, seperti beras tumpah di latar hitam.

Setiap tahun umat Hindu Bali melaksanakan Nyepi sebagai hari suci yang juga tahun baru Çaka dengan melakukan catur brata penyepian, yaitu:

Amati Geni: berpantang menyalakan api atau alat elektronik;
Amati Karya: menghentikan kerja atau aktivitas fisik dan lebih memusatkan pada kontemplasi diri;
Amati Lelanguan: berpantang melakukan kesenangan atau menghibur diri;
Amati Lelungaan: tidak bepergian.

Semua ini dilakukan untuk mengoreksi diri, melepaskan sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening, menuju jalan yang benar di tahun yang baru (sumber: intisari online). 

Tahun ini ada yang berbeda. Tambah satu lagi pantangan: Amati internetan dengan pemutusan koneksi internet selama 24 jam. Padahal ini baru himbauan PHDI saja untuk para operator telko. Alasannya? Biar umat Hindu bisa detox dari gawai dan melaksanakan Nyepi dengan lebih syahdu.

Well, gimana ya? Rasanya agak-agak mirip pulau sebelah yang mayoritasnya suka maksa nutup-nutup warung pas bulan suci mereka. Padahal internet putus kan nggak berarti mak bedunduk rantai reinkarnasi terputus njuk dapet moksa. Ya to?

"Ini kan cuma sehari, 24 jam. Mosok nggak tahan nggak dapet internet sehari doang?"

Duh, nggak tahu ya jaman sekarang ada tiga hal utama dalam hidup: harta, tahta, dan paket data? Kasihan loh, ibu-ibu penggemar drakor yang nggak melaksanakan Nyepi tapi harus terputus satu hari dan ketinggalan episode yang lagi rame-ramenya. Dan bagaimana dengan dedek-dedek cenik-cenik pecandu lagu-lagu Thomas and FriendsPedalem, nok. Dan bagaimana orang-orang yang bernasib seperti saya, pejuang tenggat dan pemuja invoice, yang masih harus kerja menggunakan internet karena masih harus riset literatur dan artikel secara online? Super, ultra, extra pedalem.    

Tapi daripada ripuh teu pararuguh, mari kita cermati satu-satu.

1. Antisipasi kejadian 2016 
Jadi, ternyata Nyepi tahun itu banyak sekali akun-akun sosial media berisi unggahan orang-orang yang selfie berlatar suasana sepi di tengah jalan, terlepas dari pantangan untuk amati lelanguan. Dan kebanyakan malah orang-orang Hindu Bali sendiri. Ini lumayan parah sih, dengan mempertimbangkan bahwa Nyepi adalah salah satu upacara besar di Bali.

Opini saya: Saya percaya tiap banjar punya kebijakan khusus untuk pelanggaran seperti ini. Saya nggak punya pendapat soal ini. Soal si pengunggah mengganggu pelaksanaan Nyepi, akan lebih bijak jika mereka diberitahu baik-baik. Saya percaya ucapan lembut akan jauh lebih bertenaga menggedor pintu hati orang yang bersalah ketimbang teriakan penuh amarah yang hanya akan membuat pemilik telinga menutup kuping.

2. 'Jualan' Pariwisata
Sebagaimana salah satu lagu Efek Rumah Kaca, dan dikutip dari sini bahwa Pasar Bisa Diciptakan, begitu juga dengan off grid internet. Jaman sekarang, apa sih yang nggak bisa dibikinin pasarnya? Tinggal nyari desainer mumpuni dan copywriter handal, minta mereka bikin bahasa visual yang menyublim ke alam bawah sadar melalui storytelling dan catchphrase menarik. Lalu voila! Konsumsi! Konsumsi! Konsumsi!

Opini saya: I'm in. What d'ya sell?

3. Politisasi Menjelang Pilkada(l)
27 Juni 2018 ini akan dilaksanakan Pilgub Bali, dan sepemahaman saya "mainan"-nya masih sama dengan Jakarta: identitas penduduk asli dimana hanya ada dikotomi kami dan liyan. Di Bali malah lebih tegas lagi, karena tidak ada calon selain dari Hindu Bali. Amati internet ini MUNGKIN akan dipakai sebagai alat plintiran yang asyik untuk menunjukkan siapa yang lebih "Bali" dari semua paslon dengan melihat siapa yang paling mendukung himbauan ini. Saya nggak tahu juga kapan dan bagaimana ini bermula, tapi sentimen ras mulai bergaung sejak adanya "senator" atau Paduka yang Dipertuan Agung Raja Bali atau akrab dipanggil (oleh yang sirik-sirik) Jik Pantau yang mantan anggota boyband (dan muka-mukanya 11-12 sama oppa-oppa K-pop). Silakan googling soal makanan sukla dan penobatan Raja Bali keturunan Majapahit. I dare you.

Opini saya: Penegasan batas antara "kami" dan "mereka" adalah ketika perbedaan itu mulai dipertajam, ketika tidak menjadi "kami" adalah salah. Padahal Bali adalah sebenar-benarnya melting pot di mana semua manusia dari seluruh sudut bumi, literally, datang dan tinggal di sini, tidak cuma dari seluruh penjuru Nusantara. Silakan cari artikel tentang Antonio Blanco atau video Charlie Chaplin tahun 1928. Rasanya akan terlalu panjang jika lika-liku rasisme dan alasan di belakangnya harus dijelaskan dalam satu posting blog (tanpa saya marah-marah). Jika berkenan dan masih ada, silakan cari buku "Bali Benteng Terbuka" aja deh. Tapi satu hal yang saya cermati, hasil ngobrol dengan Angga Jasintha, nak Bali pelahap buku, penonton film, dan tukang mencermati segala hal di sekelilingnya, ternyata pemutusan saluran radio, televisi, TV kabel, dan terakhir Internet, baru terjadi sepuluh tahun belakangan. Saya ogah ngomongin ini. Saya males ngompol, ngomongin politik. Ntar salah-salah kata bisa dirajam warga seluruh banjar di Sanur pun. Ngeri, pecalangnya guwedhe-guwedhe. Leaknya apalagi.

4. Pelaksanaan ibadah yang lebih bersungguh-sungguh
Jadi, Nyepi kali ini mematikan stasiun radio, sudah. Mematikan stasiun TV dan TV kabel, sudah. Mematikan sambungan internet, sudah. Melarang meceki dan metajen, sudah? Sudah rahasia umum di Bali jika Nyepi tiba maka ada beberapa titik yang menjadi basecamp para lelaki-lelaki dewasa berkumpul. Awal saya di Bali, saya yang sampai sekarang sangat naif menyangka seluruh Bali kompakan melaksanakan ritual suci setahun sekali dengan bersungguh-sungguh. Sampai suatu Nyepi ketika saya masih ngekos di Ubud, saya ke halaman belakang yang berbatasan dengan tetangga dan mendapati seorang bapak-bapak berpakaian adat melintas, basa-basi sebentar, dan masuk ke kawasan kos lalu ngobrol dengan induk semang. Kata ibu kos, si bapak itu pulang karena kalah meceki, judi kartu lokal. Seorang balian di Bedulu bahkan punya tempat khusus untuk ini. So...

Opini saya: coba googling cerita Arjuna Wiwaha. Kalau malas, saya yang cerita aja ya.
Jadi, Arjuna bersemedi memohon senjata kepada para dewa yang akan dia gunakan untuk membunuh raksasa sakti Niwatakawaca. Untuk menguji keteguhan hatinya, para dewa mengutus tujuh bidadari untuk menggoda Arjuna. Ternyata sudah diapa-apain Arjuna nggak goyang juga dong! Ketujuh bidadari ini akhirnya pulang dengan lesu karena merasa nggak well-performed (dan mungkin fee-nya juga terkondisikan kali ya). Tapi para dewa malah bertempik sorak karena berarti Arjuna yang determinasinya kuat memang layak dianugerahi senjata.
Sekarang bayangkan, waktu digoda-godain bidadari terus Arjunanya bete, berdiri, dan sambil marah-marah nyuruh para bidadari pulang dan nggak usah gangguin dia yang bersemedi. Bidadarinya pasti kesel juga dong, lah mereka lagi bertugas kok malah dimarah-marahin. Para dewa juga bakalannya nggak kalah bete, dan pasti mikir, "ni manusia belagu bener, baru semedi segitu aja kelakuannya kayak satpam mall dikasih baton. Sok berkuasa. Emang siape elu, nyeeet!" Terus dewanya ngambul, males memasrahkan senjata pemusnah raksasa yang sebegitu dahsyat ke seorang Arjuna pemarah dan sok paling bener.                      

So, pertanyaan terakhir saya untuk Bali, untuk pemerintahnya, dan untuk masyarakatnya, termasuk saya di dalamnya: kita ini mau ke mana?


Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Story of Women