In Memoriam: The Novelist I Know Not Thy Name
“That’s the duty of the old, to be anxious on behalf of the young. And the duty of the young is to scorn the anxiety of the old.” Philip Pullman in The Golden Compass
Hari ini Google memperingati kelahiran Georges Perec, seorang novelis, pembuat film, penulis, dll dan jagoan bikin pun yang namanya nggak bakal saya kenal kalau saya nggak iseng baca di Wiki. Untuk mengenang the great, unknown man (dan merayakan procrastinating saya dari 4 file editan yang harus dikirim besok), saya mau nulis soal buku yang baru saya baca. Biar keren aja.
Judul aslinya adalah Northern Lights. Penampakannya bisa dilihat di gambar di atas. Di beberapa negara, buku tersebut disebut The Golden Compass, sebagaimana film bikinan Holywood-nya yang ada Tante Nicole Kidman, Om Daniel Craig dan Mbak Eva Green. Saya mungkin akan cerita sedikit bukunya isinya gimana. Tapi kalau sudah nonton filmnya yang gegap gempita dan cerlang-cemerlang itu, kamu akan kaget betapa gelap, lembab, sendu, dan sangat steampunk Philip Pullman bertutur. Penuh zeppelin, clockwork creature sebagai mata-mata, instrumen berkilat-kilat hijau dan beruap, pakaian salju dan boots dari kulit rusa kutub, dan semacamnya.
Dalam buku dengan judul besar His Dark Materials ini, Inggris seperti zaman medieval ketika Gereja (yang disebut Magisterium) berada pada kekuasaan puncak dan sekolah elit dikangkangi para Scholars berpakaian mirip pastur. Inggris di buku ini bercerita bahwa tidak seorang pun hidup sendirian. Mereka berteman dæmon, semacam binatang astral yang tersambung ke inti jiwa tiap orang dan kasat mata. Jika salah satu mati, mati juga lah yang lain. Jadi, menjomblo puluhan tahun pun nggak masalah karena masih ada dæmon yang nemenin. Gitu.
Di tempat itu seorang perempuan kecil bernama Lyra Belacqua berusia 11 hanya mengenal Jordan College sebagai rumah, karena di situ dia tinggal seumur hidupnya, di kawasan elit penuh lelaki tua yang mengajarkannya pengetahuan sepotong-sepotong dan selalu memerintah tanpa pernah mendengar. Kebijaksanaan jalanan dikenalnya melalui kawan-kawan main yang kebanyakan lelaki, anak-anak dari penjual ikan, pekerja dapur, pemilik toko, dan bahkan para Gyptian yang datang sesekali dan tinggal berkelompok di perahu masing-masing.
Perjalanannya diawali ketika Roger, anak seorang pekerja di darpur Jordan College, hilang. Lyra curiga Roger dimakan Gobbler. Kepanikan memuncak ketika ternyata anak salah seorang Gyptian juga hilang. Kelompok Gyptian yang sangat menyayangi anak-anak mereka ini akhirnya membentuk tim dan mencari mereka sampai ke Kutub, dipimpin John Faa sang kepala suku dan Farder Coram yang jalannya aja harus pake jemuran anduk tapi dæmonnya kucing cantik-lincah dan unyu sekali itu.
Singkat cerita, Lyra sampai ke Arctic, menyelamatkan Roger dan Billy dan Lord Asriel. Berbekal Alethiometer, kompas emas berlengan tiga dan hanya menunjuk ke simbol-simbol yang menuturkan kebenaran, Lyra akhirnya tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Dalam perjalanan itu pula terungkap bahwa pimpinan Gobbler Mrs. Coulter nan jelita tiada tara namun kejam tak terkira itu adalah ibunya dan Lord Asriel yang dikira pamannya adalah sesungguhnya ayahnya, dan betapa kedua orangtua Lyra adalah pihak yang berseberangan dalam "perang" menggali misteri Aurora Borealis.
Di akhir cerita, Lord Asriel yang dijunjung tinggi-tinggi oleh Lyra dengan penghargaan dan kekaguman luber-luber, ternyata khianat. Demi mendapatkan energi maha besar untuk menyeberang ke dunia di balik Northern Light, Lord Asriel menebas penghubung antara Roger dan dæmonnya. Buku berakhir dengan Lyra mengejar sang ayah sendirian ke dunia paralel di balik Aurora, meninggalkan dunia tempat Serafina Pekkala penyihir cantik yang ternyata mantannya Farder Coram, John Faa yang sebesar gunung namun memiliki sepasang mata hangat, Iorek Byrnison si beruang kutub berbaju zirah, Ma Costa pengasuhnya yang mempertahankan Lyra bayi dari pedang suami ibunya, dan lain-lain, dan sebagainya.
Saya sangat suka fiksi fantasi. Dan saya sangat suka fiksi fantasi yang sehabis membacanya membuat saya ternganga-nganga. Ini salah satunya. Semuanya saling kontradiktif, antara Gyptian yang hidup berkelompok di perahu tanpa pendidikan tinggi dan menjaga anak-anak orang lain seperti menjaga anak sendiri dengan Mrs. Coulter seorang Scholar perempuan yang melepas putri satu-satunya demi mempertahankan status sosial. Dan saya sangat suka karena jagoannya bukan lelaki madesu yang mendadak punya superpower, bukan cowok sotoy yang dikasih pelajaran, bukan pria dewasa yang ditinggal keluarga, tapi seorang perempuan kecil bermulut seperti kelasi!
Tapi yang paling saya suka adalah bagaimana ide tentang gereja/authority/orang tua/pengetahuan yang given dari diktat dan bukan gained dari pengalaman dibenturkan dengan apa-apa yang mentah, brutal, jujur, gelap, asing dan off-the-book. Dan bagaimana salah satu figur authority ini pun ternyata--entah sengaja atau tidak--membantu Lyra dalam perjalanannya mencari kebenaran dan memberinya bahan bakar dalam membebaskan ayahnya. Tapi sebagaimana (hampir) semua buku untuk pembaca muda, selalu ada harapan dari kemurnian niat dan kegigihan tekad. Saya belum nemu sih, buku-buku young adults yang nggak ada kayak gitu-gitunya. Mungkin ini semacam formulasi dasar yang harus ada di tiap buku dengan peruntukan young adults biar para pembaca muda itu gedenya nggak madesu.
Sebagaimana saya selalu percaya bahwa buku memilih saya dan bukan saya yang memilih buku, saya semacam diberi jalur untuk menempuh jalan lain. Jalan yang sebelumnya telah dibangun di atas Punk Rock Jesus, American Gods, Virus of the Minds, Dream, Persepolis, Portable Atheist, Hellblazer, Satanic Verses, Constantine, Habibi, Borgia, Origin of Species, Harry Potter, History of God, Artemis Fowl, Bartimaeus, dan lain lain, dan sebagainya.
Akhirul kalam, mengutip salah satu verse dalam buku kesukaan Pullman, Paradise Lost-nya John Milton: "find a paradise within thee, happier far".
I do have my own paradise. I do.
Diambil dari sini |
Judul aslinya adalah Northern Lights. Penampakannya bisa dilihat di gambar di atas. Di beberapa negara, buku tersebut disebut The Golden Compass, sebagaimana film bikinan Holywood-nya yang ada Tante Nicole Kidman, Om Daniel Craig dan Mbak Eva Green. Saya mungkin akan cerita sedikit bukunya isinya gimana. Tapi kalau sudah nonton filmnya yang gegap gempita dan cerlang-cemerlang itu, kamu akan kaget betapa gelap, lembab, sendu, dan sangat steampunk Philip Pullman bertutur. Penuh zeppelin, clockwork creature sebagai mata-mata, instrumen berkilat-kilat hijau dan beruap, pakaian salju dan boots dari kulit rusa kutub, dan semacamnya.
Dalam buku dengan judul besar His Dark Materials ini, Inggris seperti zaman medieval ketika Gereja (yang disebut Magisterium) berada pada kekuasaan puncak dan sekolah elit dikangkangi para Scholars berpakaian mirip pastur. Inggris di buku ini bercerita bahwa tidak seorang pun hidup sendirian. Mereka berteman dæmon, semacam binatang astral yang tersambung ke inti jiwa tiap orang dan kasat mata. Jika salah satu mati, mati juga lah yang lain. Jadi, menjomblo puluhan tahun pun nggak masalah karena masih ada dæmon yang nemenin. Gitu.
Di tempat itu seorang perempuan kecil bernama Lyra Belacqua berusia 11 hanya mengenal Jordan College sebagai rumah, karena di situ dia tinggal seumur hidupnya, di kawasan elit penuh lelaki tua yang mengajarkannya pengetahuan sepotong-sepotong dan selalu memerintah tanpa pernah mendengar. Kebijaksanaan jalanan dikenalnya melalui kawan-kawan main yang kebanyakan lelaki, anak-anak dari penjual ikan, pekerja dapur, pemilik toko, dan bahkan para Gyptian yang datang sesekali dan tinggal berkelompok di perahu masing-masing.
Perjalanannya diawali ketika Roger, anak seorang pekerja di darpur Jordan College, hilang. Lyra curiga Roger dimakan Gobbler. Kepanikan memuncak ketika ternyata anak salah seorang Gyptian juga hilang. Kelompok Gyptian yang sangat menyayangi anak-anak mereka ini akhirnya membentuk tim dan mencari mereka sampai ke Kutub, dipimpin John Faa sang kepala suku dan Farder Coram yang jalannya aja harus pake jemuran anduk tapi dæmonnya kucing cantik-lincah dan unyu sekali itu.
Singkat cerita, Lyra sampai ke Arctic, menyelamatkan Roger dan Billy dan Lord Asriel. Berbekal Alethiometer, kompas emas berlengan tiga dan hanya menunjuk ke simbol-simbol yang menuturkan kebenaran, Lyra akhirnya tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Dalam perjalanan itu pula terungkap bahwa pimpinan Gobbler Mrs. Coulter nan jelita tiada tara namun kejam tak terkira itu adalah ibunya dan Lord Asriel yang dikira pamannya adalah sesungguhnya ayahnya, dan betapa kedua orangtua Lyra adalah pihak yang berseberangan dalam "perang" menggali misteri Aurora Borealis.
Di akhir cerita, Lord Asriel yang dijunjung tinggi-tinggi oleh Lyra dengan penghargaan dan kekaguman luber-luber, ternyata khianat. Demi mendapatkan energi maha besar untuk menyeberang ke dunia di balik Northern Light, Lord Asriel menebas penghubung antara Roger dan dæmonnya. Buku berakhir dengan Lyra mengejar sang ayah sendirian ke dunia paralel di balik Aurora, meninggalkan dunia tempat Serafina Pekkala penyihir cantik yang ternyata mantannya Farder Coram, John Faa yang sebesar gunung namun memiliki sepasang mata hangat, Iorek Byrnison si beruang kutub berbaju zirah, Ma Costa pengasuhnya yang mempertahankan Lyra bayi dari pedang suami ibunya, dan lain-lain, dan sebagainya.
Saya sangat suka fiksi fantasi. Dan saya sangat suka fiksi fantasi yang sehabis membacanya membuat saya ternganga-nganga. Ini salah satunya. Semuanya saling kontradiktif, antara Gyptian yang hidup berkelompok di perahu tanpa pendidikan tinggi dan menjaga anak-anak orang lain seperti menjaga anak sendiri dengan Mrs. Coulter seorang Scholar perempuan yang melepas putri satu-satunya demi mempertahankan status sosial. Dan saya sangat suka karena jagoannya bukan lelaki madesu yang mendadak punya superpower, bukan cowok sotoy yang dikasih pelajaran, bukan pria dewasa yang ditinggal keluarga, tapi seorang perempuan kecil bermulut seperti kelasi!
Tapi yang paling saya suka adalah bagaimana ide tentang gereja/authority/orang tua/pengetahuan yang given dari diktat dan bukan gained dari pengalaman dibenturkan dengan apa-apa yang mentah, brutal, jujur, gelap, asing dan off-the-book. Dan bagaimana salah satu figur authority ini pun ternyata--entah sengaja atau tidak--membantu Lyra dalam perjalanannya mencari kebenaran dan memberinya bahan bakar dalam membebaskan ayahnya. Tapi sebagaimana (hampir) semua buku untuk pembaca muda, selalu ada harapan dari kemurnian niat dan kegigihan tekad. Saya belum nemu sih, buku-buku young adults yang nggak ada kayak gitu-gitunya. Mungkin ini semacam formulasi dasar yang harus ada di tiap buku dengan peruntukan young adults biar para pembaca muda itu gedenya nggak madesu.
Sebagaimana saya selalu percaya bahwa buku memilih saya dan bukan saya yang memilih buku, saya semacam diberi jalur untuk menempuh jalan lain. Jalan yang sebelumnya telah dibangun di atas Punk Rock Jesus, American Gods, Virus of the Minds, Dream, Persepolis, Portable Atheist, Hellblazer, Satanic Verses, Constantine, Habibi, Borgia, Origin of Species, Harry Potter, History of God, Artemis Fowl, Bartimaeus, dan lain lain, dan sebagainya.
Akhirul kalam, mengutip salah satu verse dalam buku kesukaan Pullman, Paradise Lost-nya John Milton: "find a paradise within thee, happier far".
I do have my own paradise. I do.
saya seneng tulisan ini, laksana hilir kali Progo: tenang, dalam & mematikan. ya Dan saya setuju kalo buku yg menemukan pembacanya
ReplyDeleteSaya seneng punya regular visitor kek Om Warm, laksana matahari pagi: duluan, anget & nyenengin. Hihi.
Deletesip...salam dari aceh
ReplyDelete