Jalannya Sekali, Belajarnya Berkali-kali
Bunga tembakau. Besok sudah mau panen, lho... |
Perjalanan adalah perihal petualangan, bukan hanya tujuan.
Dua minggu lalu, seperti Jumat ini, adalah Jumat yang biasa di awal Oktober yang juga biasa. Denpasar sedang panas-panasnya, biasa. Ransel gendut 40 liter lebih yang menempel di punggung menjadi semacam tameng dari teriknya matahari saat bermotor sepanjang Tohpati-Ngurah Rai. ITU yang nggak biasa. Iya, ceritanya saya mau jalan-jalan. Jadwalnya sih 3 hari, dari berangkat sampai pulang. Tapi saya bawa perabotan lenong yang sepertinya untuk tinggal sebulan juga nggak kekurangan. Semua dibayarain PT Djarum bareng Jelajah Negeri Tembakau II. Duh, saya tersanjung. Nggak sia-sia selama ini ngeblog. Akhirnya ada yang khilaf nyuruh saya lancong, diempanin, dianter jemput pake bis dingin, dibayarin pulak! Saya merasa kaffah jadi blogger beneran. Ah!
Lalu drama dimulai...
Tiket Lion Air DPS-LOP yang dikirimkan panitia ke surel saya bilang pesawat saya terjadwal berangkat pukul 16.50 WITA. Saya yang datang dua jam sebelumnya dengan santai check in bagasi dong, lalu ke ruang merokok untuk sebats-duabats, kemudian nongkrong di kafe pas sebelah Gate 3. Lagi asyik ketak-ketik, mak bedunduk ujug-ujug saya kaget melihat jam di layar laptop. 16.30! Dan kelimpungan lah saya beres-beres meja dan melesat ke Gate 3. Tapi mbak-mbak di situ kayaknya bete gitu ngeliat saya setelah ngelirik boarding pass. Sambil lari-lari unyu mbaknya teriak, "Praya pindah ke Gate 2, ayo cepat!"
Sampai di Gate 2 dramanya belum selesai. Habis melihat pass saya beberapa orang mas-mas di sana berwajah sama betenya dengan Mbak Gate 3. Perasaan saya mulai nggak enak ketika mereka bolak-balik menelepon dan mengontak seseorang melalui HT dengan wajah diserius-seriusin. Tidak lama, seorang mas-mas penumpang berdiri di sebelah saya sambil mengacung-acungkan beberapa lembar kertas. Ternyata dia dan rombongannya yang 14 orang senasib dengan saya. Dan, sama seperti saya juga, mas penumpang yang ngakunya dari Pertamina itu ditolak dong sama Mas Gate 2. Ngotot-ngototan lah mereka selama 10 menitan. Untung aja nggak pada baper lalu ngetuit "aq d1t0laque~ Ced1eh~".
Sementara itu saya masih berusaha nrimo kalo di dunia ini yang namanya ketinggalan pesawat nggak cuma ada di film-film atau teman-teman saya yang frequent flyer but late sleeper. Dan selama 10 menitan itu, diantara omongan tegas Mas Gate 2 yang menjelaskan betapa pilot punya hak prerogatif untuk closed door dan gerutuan ngeselin Mas Pertamina dan rombongannya, si pesawat sengketa masih ngejogrok dengan belagu di sebelah. KAMPRET!
Pelajaran 1:
Kalo emang mampunya cuma beli tiket Lion Air atau maskapai-maskapai murah, atau dikasih jatah tiketnya dari yang kayak gitu-gitu, lupakan sebats-duabats. Puas-puasin pipis dan eek dan ngopi sebelum nyampe bandara, lalu nongkrong lah pas depan muka penjaga Gate. Kalo perlu sehari sebelum keberangkatan. Jadi, kalo mereka ngaku pindah gate dan last call teriak-teriak (iya, TERIAK-TERIAK, bukan diumumin di halo-halo), kamu bisa langsung dengar dan melesat secepat kilat. Tapi Lion sih seringnya delayed kan ya. Iya.
Versi Lombok Children of the Corn. Foto dari Mas Dona Roy kayaknya mah |
Singkatnya, saya sudah di restoran hotel di Mataram. Habis makan, kenalan, nanggap Mas Joni yang ceritanya nge-briefing, dll, dst. Saya agak-agak gimana gitu, karena dari 22 orang termasuk saya, yang saya kenal cuma 3 lembar. Lainnya muka-muka asing yang baru saya lihat saat itu, kinyis-kinyis, segar-segar, enak dibikin sop. Tapi nggak lama kemudian karena males naik ke lantai 3 tempat kamar saya dan Ncik berada, saya nongkrong sama Mas Dona, deh. Cerita-cerita Tuhan, anak-istrinya Mas Dona, kerjaan kami, macem-macem lah.
Ini Pak Iskandar. 60 tahun dan masih sehat, males pensiun, asyik diajak ngobrol. Keren lah! |
Besoknya kami ke PT Djarum Lombok Station, kenalan sama Pak Iskandar di ruang rapat paling keren karena ada asbaknya, dikasih rokok, dan boleh klepas-klepus! Hihi. Di ruang itu juga Pak Iskandar, atau biasa dipanggil Pak Is, membuat kami mabuk informasi karena presentasinya soal tembakau termasuk sejarahnya. Kata Kak Nuran, Pak Is ini Profesor Tembakau. 30 tahun bersama Djarum bikin si Bapak tahu betul seluk-beluk tembakau dan gimana-gimananya.
Ini paling seperberapanya dari total luas bangunan. Yang motret Kak Jawir lho, yang mukanya beda tipis ama Ahok tapi nasibnya beda banyak |
Habis manggut-manggut di ruang rapat kami ke gudang tembakau. Gudang ini... gimana ya bilangnya... Kalo kamu tahu tempat parkir pesawat atau hanggar, nah, kayak gitu lah. GUWEDHE. Lapangan parkirnya yang biasa dipenuhi truk Fuso sarat tembakau, bisa buat parkir 4 atau 5 Airbus. Di dalemnya ya... muat lah kalo cuma 6 atau 7 Airbus doang mah. Gudang inilah denyut jantung korporasi sebenar-benarnya yang mempertemukan petani dan perusahaan.
Pak Dawam, Dukun Tembakau! Se666an! |
Di gudang ini juga dikenalin sama Pak Dawan, "tangan kanan"nya Pak Is. Pak Dawam ini top markotop banget. Jadi ceritanya dari tiap tumpukan tembakau di atas, satu ikat sample dibawa ke bagiannya Pak Dawam untuk inventory sekaligus history hasil panen. Nah, dari yang satu ikat itu, cuma ngeliat aja Pak Dawam bisa cerita dari Lombok bagian mana si daun, irigasinya macam apa, sampai ke temperaturnya. "Kuningnya kan beda, Mbak," katanya. Astaga, Pak! Itu kuning butek semuaaa!
Ini oven buat ngeringin tembakau. Aslinya gede sak hohah. Tapi karena saya anaknya artsy-artsy Instagram-esque gitu, motretnya ngambil bagian itu doang |
Pelajaran 2:
Jadilah kosong supaya hal-hal baru, orang-orang baru, bisa kembali mengisi kepala penuh-penuh, lalu diam sebentar, endapkan, dan kembalilah bernapas seperti biasa.
Mblo... |
Pulau Lombok adalah bagian dari Nusa Tenggara Barat dengan latar belakang sejarah dan budaya yang berkelindan antara kerajaan Bali, adat kelautan masyarakat Bajo, dan tradisi Islam yang sangat unik dan tidak kita temukan di wilayah lain. Bentang alam yang indah, terutama pada garis-garis pantai, juga menjadi salah satu daya tarik bagi turis-turis asing dari negara-negara empat musim untuk berburu hangatnya matahari sepanjang tahun.
Gw kata juga apa... Kak Jawir mah fotonya kece badai |
Orang-orangnya juga ramah. Sama seperti di Bali, orang Lombok terbuka pada pendatang. Mungkin ini semacam SOP standar bagi para penduduk di wilayah tujuan wisata. Begitu pun penduduk Desa Karang Bajo di kaki Rinjani, tempat kami menginap di hari kedua.
Awal berdirinya desa ini tergolong unik dan sangat Islami sekali. Para penduduk desa yang suku Sasak kekurangan mukmin Jumatan, dan ada seorang nelayan dari Bajo berdiam tidak jauh dari desa mereka. Kemudian nelayan ini dirangkul, diminta tinggal di desa dan menggenapi ibadah setiap Jumat. Begitulah.
Pemuda-pemudi Karang Bajo dengan busana adat mereka. Mirip Bali, kan? Tiap bagian, dari ujung kepala sampai sarung, ada makna filosofisnya, lho! Ini yang motret Kak Miki nan keren, calon selebtwat kekinian |
Sampai di Karang Bajo kami disuguhi makan siang yang... Alamakjaaaang! ENAK BANGET NGET! Sebagaimana masakan Bali, semua berempah dan pedas. Ai sukak! Dan beberapa makanan juga serupa seperti Bali. Ada Jukut Undis yang di Lombok bernama Komak dengan bahan dasar semacam kacang tolo. Ada juga Sate Lilit, Sop Balung yang di Bali berbahan babi namun di Lombok sapi, urap, macem-macem, lah.
Daaaan... BREM!
Ini juga sama seperti brem Bali. Minuman beralkohol ringan yang biasanya dibuat dari fermentasi beras ini berjuluk Jaket--Jamu Ketan--dan biasa dibuat untuk menyambut acara adat besar. Ini agak aneh sih, mengingat tradisi mereka yang kental dengan Islam dan biasanya mengharamkan alkohol (Hai, Uni! *dadah-dadah*). TAPI ENAK! Jadi, nggak papa. Halah.
Pelajaran 3:
Kalo lagi jalan-jalan gretongan mending makannya ngambil dikit-dikit tapi cobain semua. Coba ya, agak diubah itu kebiasaan anak kos kere pegawai lepas UNDP (United Nation of Delayed Payment) yang makan sekali banyak untuk seharian. Sekali-kali ubah mindset. Di negeri orang bisa juga, lho, PGAK. Perbaikan Gizi Anak Kos-kosan.
Suguhan di acara makan-makan adat. Segini untuk dua orang, dan tempat lelaki dan perempuan juga dipisah. Ini yang motret juga Ahok KW itu |
Setelah semalam menginap di desa adat Karang Bajo besoknya kami bergegas untuk kembali ke habitat masing-masing. Termasuk saya. Di bandara Praya (yang selalu ada toilet), perabotan lenong untuk sebulan saya pandangi sambil menarik napas berat. Saya batal menjelajah sendirian.
Sejak kemarin, sepulang dari makan-makan Taliwang endeus, perut saya bermasalah. Nggak, saya nggak demam, nggak masuk angin atau semacamnya. Makan juga masih banyak, mumpung gretong. Cuma berasa ada Tiu Kelep aja di pantat, minimal 7x dalam 24 jam gitu deh. Ini memang cara tubuh saya ngasih tau kalo saya lagi nggak sehat. Nggak peduli lagi senang-senang di kampung orang atau leha-leha di kamar sendiri.
Sehari sebelum berangkat saya memang agak kelelahan lahir-bathin. Ditambah lagi rempongnya menyusuri Ngurah Rai yang guwedhe sambil agak panik nyari calo tiket buat berangkat nyusul bagasi yang terlanjur diangkut Lion Air ke Praya. Sekali lagi, KAMPRET KAMU LION AIR! Huh! Ketambahan lagi waktu mau ke bis di belakang saya terdengar seseorang nyeletuk, "gw 3 hari aja muat nih satu tas selempang, dibandingin ransel segede gitu..." Sini mukamu tak urek-urek sini!
Pelajaran 4:
DIAM KAMU!
membaca tulisan ini saya mendadak merasa gagal menjadi blogger *emang saya blogger? *nanya balik sama blogger* halagh**
ReplyDeleteeniwei saya suka pelajaran nomer tiga dan empat kui, asem sekali huahaha
Hiks banget )=
Delete