Dear Dewi...

Gambar diambil dari akun Instagram-nya Dewi


… karena yang tidak membunuhmu hanya membuatmu lebih kokoh. 


Dear Dewi,

Kau harus tahu bahwa dunia tidak berputar mengelilingimu. Bahwa hidup tak pernah adil dan hal-hal yang kau inginkan tak selalu datang mewujud di depanmu. Bahkan dunia adalah satu kecelakaan maha besar karena seciprit bakteri iseng keukeuh berkembang biak lalu membuat Bumi berevolusi ratusan juta tahun hingga kita, ras manusia, berdiri tegak mengangkangi seru sekalian alam.

Kita tak lebih dari bakteri itu dibandingkan dengan apa yang menyesaki semesta. Apa yang kita miliki sekarang, saat ini, adalah hasil perjuangan kita untuk mendapatkannya. Sesuatu yang tidak kita miliki bisa kita raih nanti, setelah melalui berbagai pertarungan puputan jika kau menginginkannya lebih dari hidupmu. Jika di tengah pertarungan kau kalah, kau harus legawa melepasnya dari genggamanmu. Mungkin belum saatnya kau punya ‘sesuatu’ itu. Mungkin kau belum siap. Mungkin ini, mungkin itu. Akan ada banyak sekali ‘mungkin’.

Wi,

Kita sering lupa bahwa orang tua yang kita panggil ayah dan ibu, atau ayah, atau hanya ibu, adalah sama seperti kita, manusia yang punya mimpi, punya ‘sesuatu’ yang ingin diperjuangkan. Pilihanlah yang membuat mereka menyandang nama ‘orang-tua’, orang yang dituakan, yang harusnya mengayomi, menyediakan keperluan anak-anaknya, menjadi pulang jiwa-jiwa letih di akhir pertarungan yang meluluhlantakkan tiap ruas sendi. Seperti kita, mereka juga punya pertarungan sendiri. Seperti kita, mereka juga menghadapi rintangan di tengah jalan. Beberapa dari orang tua yang kita kenal mungkin punya hati seluas samudera untuk dapat menyimpan kegentaran hidup dan menguburnya dalam-dalam kemudian memancarkan cinta seterang mercu suar, memandu anak-anak mereka mencari rumah. Orang tua-orang tua lain mungkin tidak bisa sehebat itu. Apa yang mereka alami hampir tak tertahankan dan membuat perisai mereka retak dan memunculkan sisi ke-manusia-an individual, menjadi pribadi yang merasa sendirian, alpa dengan tugasnya sebagai pengayom, penyedia, dan menjadi tempat pulang.

Tapi ada hal yang harus selalu kau ingat, Dewi: bahwa tak ada yang benar-benar sendirian, dan tempat pulang tak selalu berjuluk ‘orang-tua’. Kita akan temui rumah di setiap jiwa yang kita sapa di perlintasan hidup. Mereka yang kita panggil teman, sahabat, stasiun, Si Monyet, pelabuhan, Bli Gung, Tukop, Seli, Tika, pasar, tukang nasi jinggo. Siapapun. Apapun. Mereka yang membuatmu nyaman menjadi dirimu sendiri, tak menuntut apapun darimu kecuali memintamu bahagia, dan mampu meredakan pikiran-pikiran liarmu yang tak mau diam itu. Mereka mungkin tak benar-benar ada ketika kau perlu, tapi mereka menyediakan pundak instan saat kau lelah dan butuh bersandar. Mereka yang akan tulus menerimamu, mereka yang rindu mendengarmu tertawa dan melihat matamu juga tertawa. Dan jika mereka tidak ada, mungkin mereka perlu kamu sebagai pundak tempat bersandar. Sebab semua elemen semesta raya memerlukan keseimbangan. Semua tentang memberi dan menerima. Mengusahakan dan legawa. Mengenang dan melepaskan.

Dan jika kau merasa benar-benar sendirian, dear Dewi, mungkin sudah saatnya kau cari kebahagiaan dari dalam dirimu sendiri. Aku tak akan bilang itu hal mudah. Tapi itu bisa dilakukan jika kau—lagi-lagi—mau usaha.

Hey Dewi,

Kau tahu kan kalau kau juga berhak bahagia?







Comments

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?