Tentang Mas Ipung

Mas Ipung, pada suatu masa. Photo courtesy of Anggara Mahendra


“Death ends a life, not a relationship.”
Mitch Albom in Tuesdays with Morrie

Lelaki kurus kecil murah senyum dan bermata ramah ini nama aslinya adalah Ari Wangsa. Entah bagaimana dia menyebut dirinya Mas Ipung. Kalau kamu sempat bercakap dengannya, seserius apapun, akan kamu dapati kejenakaan yang dia sisipkan dan memberi warna pada tiap ucapannya. Mungkin itu yang membuat siapapun betah ngobrol dengan lelaki lajang empatpuluhan dengan rambut dreadlock disanggul ke atas. Konon rambutnya itu bertuah. Pernah suatu malam dia kesal dan diurailah rambut keriting nan keramat itu. Hanya bertahan semalam. Keesokan paginya saat dia terbangun, si rambut kembali dreadlock seperti sebelumnya. Andai Marge Simpson ke Bali, dia pasti ingin tahu rahasia sanggul dreadlock Mas Ipung supaya tidak terlihat tinggi menjulang bersanding Homer jika ingin membuat foto keluarga.

Mas Ipung bukan orang asli Bali. Tapi sesuatu memanggil dan mengharuskannya ke Bali untuk berdiam di Subaya, sebuah desa kecil nan dingin di kaki Kintamani. Yang saya maksud dingin itu ya... dingin mampus. Jam dua belas siang saja turun kabut. Tidak seperti anak-anak twitter, matahari di sana jarang sekali eksis. Di desa yang hampir tidak ada sinyal ponsel itu, Mas Ipung adalah pemangku. Pemimpin adat, ujung tombak pelaksanaan ritual Hindu dalam satu pura di banjar sekaligus pelayan masyarakat dalam urusan adat. Dia hidup untuk orang-orang di sekelilingnya: warga desa--kanak-kanak hingga kakek-nenek--dan orang-orang kota yang ingin rehat sejenak dari kesibukan rutin membosankan (salah satunya saya).

Mas Ipung tinggal di rumah sederhana semi permanen berlantai semen. Katanya sih rumah itu dulunya kandang sapi. Menurut salah satu teman saya, tempat Mas Ipung itu adalah lokasi tepat untuk mempraktekkan the art of doing nothing. Dari pintu masuk, jika malam cerah, kami dapati secarik pemandangan laut dengan kelap-kelip lampu perahu nelayan di kejauhan yang diapit dua buah gundukan hampir sebesar gunung. Paginya, jika ingin membuat minuman hangat, seduh saja teh dan petik jeruk nipis dari halaman. Voila! Your own hot fresh lemon tea!

Saya nggak sengaja mengenalnya setahun lalu. Awalnya teman-teman baru saya di Bali penasaran bagaimana jadinya jika saya, sebagai skeptis-rasionalis (untuk tidak menyebut ateis), bertemu dengan spiritualis rock n roll van Subaya. Saya ditakut-takuti dengan kemampuan Mas Ipung yang lancar membaca pikiran orang lain seperti membaca koran. Saya nggak suka. Bagi saya, benak adalah benteng pertahanan terakhir paling pribadi bagi setiap manusia tempat dia bisa menyimpan segalanya yang tidak ingin diketahui orang lain. Dan membaca pikiran orang lain adalah sama dengan pembobolan privasi. Setipe dengan firewall breaching, security hacking, atau rooting gadget Android.

Suatu sore saya tiba di Subaya yang rasanya seperti berada di kulkas. Saya berhasil mendaratkan pantat di karpet buluk, nyempil di antara gerombolan begundal baik yang saya panggil teman, dan diberi gelas berisi cairan bening penghangat tubuh. Beberapa menit kemudian Mas Ipung sudah di sebelah saya, menyodorkan tangan dan senyuman lebar di bibir. Saya sudah agak tipsy, namun berusaha alert. Saya ingat betul tentang mind reading-nya. Tapi saya seperti hilang dalam sepasang mata teduh yang hampir selalu menyipit karena pemiliknya tak pernah berhenti tertawa lepas atau tersenyum.

Kemudian kekhawatiran saya terjadi. Entah bagaimana, dalam lingkaran besar kawan-kawan yang duduk bersila, saling bercanda, bernyanyi dan memetik gitar, dan dengan gelas arak yang teratur berkeliling, kami ngobrol berdua. Topiknya? Keyakinan! Dan itu bikin saya mendadak segar karena kepala saya terpaksa bekerja. Saya baru sadar beberapa saat kemudian bahwa saat itu juga saya sudah diretas. Namun bicara dengan Mas Ipung tentang ke(tidak)yakinan sama sekali tidak perlu berargumen atau memasang benteng virtual berupa autopilot mode iyain-aja-biar-cepet (hal yang sering saya lakukan jika bertemu dengan mereka-mereka™ dari Departemen Urusan Keyakinan Orang Lain). Dia mengerti. Dan baginya berkeyakinan atau tidak bukanlah yang terpenting. Namun menjadi orang baik, itu harus. Mas Ipung menyamankan. Perlahan adegan Miyabi yang saya replay berkali-kali di kepala saya pun memudar. Saya paham Occlumency Mas Ipung terhadap saya itu hanya salah satu cara mengenal tamu barunya. Dan saya yakin Mas Ipung juga paham bahwa Legilimency otomatis yang saya terapkan adalah bentuk insting bertahan.          

Beberapa hari yang lalu teman saya mengabarkan bahwa Mas Ipung meninggal dunia di Bandung akibat infeksi saluran pernafasan. Saya tidak tahu harus bereaksi apa. Untuk bersedih, saya sudah dari dulu bersedih karena medan ke Subaya perlu kemahiran lebih tinggi daripada kemampuan saya nyetir motor dan tidak memungkinkan saya mendamparkan diri sendirian ke sana, sementara saya terlalu belagu untuk minta diantar. Saya juga sedih melihat Mas Ipung bermata sedih melepas kami pulang satu persatu, mengingatkan saya pada almarhumah Nenek yang bersikukuh tinggal di dalam kamar saat semua anak-cucunya akan kembali ke Jakarta sehabis berlebaran di rumahnya. Kehilangan? Saya sudah lama rindu ketemu Mas Ipung lagi, nggak untuk ngobrol berat-berat, tapi untuk mentertawakan hal-hal konyol yang dia ceritakan tanpa malu. Ternyata pertemuan saya yang pertama itu hanya menjadi satu-satunya tanpa sempat berulang. Tapi saya ingat kehangatan kata-katanya ketika menawarkan kamar suci dengan banyak benda ritual dan harum wangi dupa mengambang dalam ceruk sejuk bertirai berat sebagai tempat saya "meditasi" berzikir lagu-lagu Homicide yang dia bilang "musik teriak-teriak". Dan meskipun saya bukan satu-satunya, saya bangga karena saya pernah dimintain cium di pipi Pak Pemangku yang keren tapi tirus, berkerut dan kering itu. Hihi. Rasanya itu lebih baik daripada diminta cium tangan.

Saya skeptis dengan kehidupan setelah mati, dengan surga dan neraka, dengan nilai benar-salah, dengan norma, dengan aturan, dengan hukum, dengan keyakinan. Semuanya bisa didebat. Semuanya bisa dibuktikan sebaliknya. Saya juga tidak mudah percaya dengan ketulusan dan kebaikan orang lain yang katanya tanpa pamrih, karena semua hal adalah transaksional, apapun bentuknya. Tapi bersama Mas Ipung dan teman-teman di Subaya, waktu seperti terhenti. Yang ada hanyalah saat itu, the moment, the laughter, the stories, dan beberapa celetukan nakal ketika dia "skimming" ke salah satu kepala kami, dan hanya si pemilik kepala yang terkejut kemudian salah tingkah. Dan dia, salah satu orang yang mengembalikan kepercayaan saya bahwa manusia bisa berbuat baik hanya karena ingin berbuat baik tanpa alasan apapun, sekarang hanya tinggal nama.

But still you live forever in our memory, Mas Ipung. We missed you already.  

Photo courtesy of Facebooknya Mas Hendra, bos Bali Orange slash Bali Outbound--asal semua hal bermula.





Comments

  1. Jancuk, keren ceritamu lho *seka-arimata*

    ReplyDelete
  2. yg keren poto2nya, Mas! =P

    ReplyDelete
  3. gautama5:24 PM

    Ini adalah salah satu blog terkeren yang pernah saya kunjungi. Tulisan-tulisannya jujur, apa adanya, dan menyentuh.

    Saya juga suka nulis, tapi saya ragu bisa menulis sejujur dan semenarik pemilik blog ini.

    kalo senggang sila berkunjung ke http://biroetjakrawala.wordpress.com/

    atau kalo butuh kawan mabuk dan tempat berteduh di jogja sila kontak rain_karnasi@yahoo.com

    ReplyDelete
  4. eh, halo! makasih komennya. dan makasih tawarannya. nanti kalo saya ke Jogja lagi tak hubungi dirimu dan tak tagih janji nemenin mabuk! hihi.

    ReplyDelete
  5. merindukan om ipung, bukit cinta dan desa subaya yang tenang dan damai. merindukan nyepi di rumah kecil itu. 😞😭

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?