Berisik Semalam(an)
"Semua manusia adalah jahat sampai terbukti sebaliknya"
- Kakek Botak Penggerutu
Kutipan di atas itu sebenarnya sedang saya coba terapkan dalam kehidupan saya akibat beberapa kali mengalami kejadian nggak enak seputar mobilitas saya menggunakan transportasi umum. Demotivational banget ya, nggak kayak bacotannya Kakek Botak Berkacamata yang satu lagi itu, yang sekali ngomyang di depan seminar aja tarifnya jut-jutan. Tapi kebalikan dari "innocent until proven guilty" ini mesti-kudu-harus saya aplikasikan biar hidup saya lebih mudah. Ya harusnya sih nggak susah. Toh akan lebih gampang dan ringan menghakimi orang asing ketimbang orang yang kita kenal. Iya kan?
Dan saya punya "trauma" juga seputar penampilan saya yang mirip butchy hanya karena saya lebih memilih berpakaian nyaman dan jadi diri sendiri senyaman mungkin. Well, saya juga nggak harus selalu woro-woro ke seluruh dunia kalau saya perempuan heteroseksual yang lebih menyukai penis unyu slenthikable meskipun saya akan menoleh dua kali ke mbak-mbak langsing-tinggi-lencir-berambut-panjang-dan-wangi. Saya rasa saya masih "normal" karena menganggap perempuan adalah mahluk terindah. Ya sama seperti saya selalu menoleh dan teriak "iiih! Unyuuu!" setiap melihat anjing.
Lalu saya kenal mbak-mbak tomboy berperawakan kecil dengan sepasang mata seperti selalu bertanya dibalik lensa yang nangkring di hidung. Saya sedikit kaget waktu pertama bertemu dia. Bahasa tubuhnya seperti mengatakan ada hubungan lebih intim dari sekadar teman dengan perempuan di sebelahnya. Beberapa hari kemudian kekagetan saya terkonfirmasi: mereka memang pasangan.
Saya belajar banyak untuk nggak gumunan. Dari berbagai hasil bacaan dan tontonan dokumenter terpercaya saya juga paham bahwa kecenderungan homoseksualitas adalah alamiah, terdapat pada tetumbuhan dan binatang. Sayangnya, saya hanya bersentuhan dengan komunitas gay dan waria ketimbang para lesbian.
Jadi, tuduhlah saya kampungan sewaktu saya bertanya dengan (sok) polosnya: "So, how do you fuck?" Si mbak tomboy agak tergeragap menjawab. "Ya we use whatever we have lah!" Lalu kami kembali cekikikan menggosipkan para mantan, bertukar kisah kebodohan menghadapi gempa dan ketakutan karena gronjalan turbulensi pesawat.
Iya, kami berenam perempuan dan saya ada diantara mereka yang babak bundas mencari identitas seksual sendiri, mempertanyakan kisah penciptaan dan Tuhan dan kitab suci sambil berusaha keras untuk bisa fit in dalam masyarakat seragam nan penghujat. Tapi kami--mereka--tak beda dengan manusia lain. Kami bersenang-senang, membuat gaduh gerai kopi dan warung daging bakar. Tak perlu rumit memformukasikan bahagia itu sederhana: cerita/gosip seru, teman baik dan makanan enak. Itu saja.
Meskipun baru sekali itu saya bertemu mereka, saya seperti berada di lingkungan sahabat dekat. Terima kasih untuk "mengakuisisi" saya. You're never wrong. And there is no way to tell you're all guilty for being different.
Love you all, my newfound sisters...
"Kakek Botak Berkacamata yang... sekali ngomyang di depan seminar aja tarifnya jut-jutan."
ReplyDeleteSiapa tuh? *serius*
Lha? Mario Teguh lah! D'oh?
ReplyDeleteOh, ya ampun. Mario Teguh ya? Soalnya pikiranku nggak sampai ke sana. Haha, Mario Teguh memang kesunyian masing-masing.
ReplyDeletemakin hari makin asik tulisannya, nyleneh
ReplyDeletetirimikici…
ReplyDeletebukanya dr dulu udah nyeleneh yak? *lirik komen diatas* LOL
ReplyDeleteSAUDARA MAS DIDUT!
ReplyDelete*kethak*