Posts

Showing posts from September, 2010

Surat (Cinta) Terbuka untuk FPI: Karena Kita Bersaudara

Image
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, ya Akhi. Semoga keselamatan, berkah dan rahmat Allah selalu dilimpahkan bagimu, Saudaraku. Begitu kan terjemahan Bahasa Indonesianya? Indah ya, salam orang Islam itu. Tidak egois sama sekali. Saya sering dibuat takjub saat tersadar betapa agung arti dari sekelebat salam yang mendoakan orang lain. Sepertinya tidak ada salam yang lebih indah dari salam para pemeluk Islam. Saya datang tak bersenjata sama sekali karena keinginan saya adalah bertamu. Sebagai tetangga satu bangsa, saya hanya bawa diri dan hati. Meskipun kata teman saya orang-orang seperti Akhi hanya bisa mengkafir-kafirkan orang lain yang tidak duduk bersama dalam taklim, saya tidak percaya. Karena itu, mari kita bicara. Hanya saja, begitu banyak pertanyaan sesak di dalam kepala saya. Tolong, jika Akhi berkenan, saya perlu jawaban. Begini… Saya sedih sekali tadi siang, mendengar kabar tentang kawan-kawan Akhi yang bersiap membawa parang dan asma Allah ke tempat-tempat Q...

Jakarta Adalah...

Image
“Ceritakan padaku tentang kota bernama Jakarta,” pinta seorang brondong yummy pada si sundal ngurban. Si sundal tersenyum, menatap jalang si lelaki ranum. “Owkey. Gini ya…” Lalu mengalir kisah tentang kota tempat si kere dan si makmur tinggal bersisian, bahu menempel dengan bahu, namun jurang kehidupan memisahkan mereka aduhai jauh. Di pemukiman si kere kau bahkan bisa mendengar suara napas teratur tetangga yang pulas bermimpi punya sebelas bini—atau lenguhan kenikmatan tertahan saat penat coba dihalau syahwat, tergantung hari. Sementara di perumahan mewah si makmur, jika kau hendak sekedar kenal siapa yang tinggal di sebelah, sudah untung kau bisa bertemu BMW atau Jaguar yang barusan keluar pagar. Biasanya, cukuplah kau tak diusir satpam atau disapa babu. Di Jakarta semua orang pemberani tak takut mati. Tiap detik nyali mereka teruji. Jika hidup adalah jihad, maka mereka adalah para mujahid bernyawa. Di sana, mati dan hidup bersahabat. Kebaikan dan kejahatan akrab ...

Tentang Ibadah

Image
"Seharusnya ayahmu tidak berhenti hanya untuk menyembah Yang Kuasa. Patung-patung yang beliau bikin adalah mahakarya. Ia menyembah Tuhan dengan cara itu, menggunakan talentanya untuk menghasilkan karya seni. Itu sembahyangnya. Sayang sekali jika ia akhirnya harus bersembahyang seperti orang-orang pada umumnya." Kata-kata itu diucapkan seorang om-om gondrong sepunggung yang kira-kira usianya awal empat puluh. Tanpa sengaja pameran lukisannya saya datangi, keisengan yang menjadi momentum ketika meninggalkan Jogja tahun 2006 silam. Takzim ia mengucap, seperti mengungkap penyesalan dengan tatapan penuh rasa prihatin pada teman saya yang ternyata ayahnya adalah seorang pematung legendaris di dunia seni. Lalu ia ucapkan duka cita ketika tahu paman saya (yang kini almarhum)--yang ternyata kawan kuliahnya di ASRI dulu--mengidap gagal ginjal kronis. Bertahun-tahun kemudian, ketika saya menetap di Kota Mayat , saya dapati berbagai orang dengan sembahyangnya sendiri-sendiri. Entah k...