Tentang Adzan
Ada yang selalu membuat saya terkesan pada senja, ketika siang bersiap masuk ke peraduan dan malam meraja. Seperti sakral dan mistis, seperti melihat berpadunya air dan api namun tidak saling mematikan. Dulu, ketika saya masih (dipaksa) sekolah jauh dari rumah dan kumpul bersama beberapa kebo cantik (Hay Ooz, Idung, Ucok, Sumpel dan Tyan! *mendadah*), saya sering membawa mug berisi kopi dan naik ke lantai tiga. Menikmati pendar ketika matahari mengecup rembulan lalu aplusan. Meskipun saya tidak bisa melihat cakrawala karena tertutup atap rumah dan pepohonan, saya tersihir pada semburat langit yang seperti warna kesumba. Namun saya sering tak boleh bermasturbasi dengan senja sendirian. Akan ada suara orang mengaji yang disetel dari mesjid terdekat, menjadi pengantar sebelum datangnya adzan. Padahal kepak sayap burung-burung berarak pulang ke sarang lebih merdu terdengar. Si Babab, yang berjamaah di mesjid terdekat hampir tiap maghrib, pernah protes. "Kenapa sih adzan itu nggak gant