For the Love of Dog v0.1
Tau anjing? Iya, binatang berbulu berkaki empat, selalu ngos-ngosan meskipun nggak lari-lari, sering nggonggong nggak puguh, berliur segentong nggak abis-abis, (yang katanya) penghalang malaikat chicken buat masuk rumah orang Islam, dan jadi kata umum untuk memaki (dan biasa saya gunakan). Banner di atas adalah pengumuman kumpul anjing yang diadakan tanggal 8 November nanti, jam 7.30 sampai 12 siang di Taman Langsat, Kebayoran Baru. Dekat dengan tempat nongkrong saya, Wetiga.
Beberapa bulan belakangan ini saya jatuh cinta pada anjing. Dan seperti pecinta pada umumnya, sang objek akan selalu terbayang dimanapun saya berada. Gara-gara anjing, saya jadi kelewat sering menjenguk Oma Wiwik dan Mbah Gogo, mencari tau lebih banyak tentang sifat dan berbagai jenis mereka. Karena mereka pula saya sering mojok di pabrik sambil merokok di beranda, bertukar cerita dengan Pak HRD yang ibunya sering memungut anjing terlantar kemudian dipelihara di rumah.
Lagi-lagi, seperti pecinta pada umumnya, anjing menjadi kelemahan saya. Saya sering reflek tersenyum melihat anjing yang sedang diajak jalan-jalan pemiliknya. Pernah suatu sore saya dikejar seekor puppy jantan mix Siberian Husky dan Kintamani usia enam bulan hanya karena saya menyapanya dengan ‘Hay, Ganteng!’. Tidak, dia tidak mengejar saya karena saya berdaging banyak. Dengan ekor bergoyang riang, lidah jambon terjulur, dan mbak-mbak pemegang kekang pontang-panting di belakangnya, Gladi berlari dan meminta saya untuk sejenak bermain dengannya.
Dan saya bertindak sebagai pencinta—pada umumnya—ketika tau begitu banyak kisah sedih menimpa anjing-anjing tak bertuan. Saya menahan amarah pada para pemilik tak bertanggungjawab yang melemparkan anjing mereka ke jalan dan membiarkan mahluk-mahluk manis itu menggunakan insting purba untuk bertahan, melawan tukang ojek ringan tangan dan anak-anak kecil yang didoktrin bahwa anjing hidup untuk dilempari batu dan liurnya membuat seorang Islam mendadak Kristen.
Beberapa hari yang lalu seorang ayah dari tiga anjing bahagia menunjukkan sebuah alamat situs pada saya. Saya baru tau ada LSM seperti itu di Indonesia. Dari daftar berbagai kegiatan yang dipublish, tidak ada satu pun yang membuat saya tidak berdecak kagum. Penyelamatan, kebiri massal, edukasi, garage sale, semua dibabat habis. Salah satunya adalah artikel tentang kegigihan seorang ibu tua miskin bernama Mak Isa yang membaktikan waktunya melindungi sembilan anjing jalanan. Padahal orang-orang hebat itu tidak melulu ‘mengurusi’ anjing, tapi juga kucing yang jumlahnya lebih banyak. Di situs ini mereka malah sempat mengabadikan demonstrasi untuk dua lumba-lumba pentas, Lulu dan Lala, yang tidak mendapatkan perawatan secara layak dan ditangkap di perairan yang seharusnya menjadi suaka binatang hampir punah. Mereka pasti punya hati dan tekad baja untuk membuat organisasi seperti ini tetap bergerak.
Saya sayangkan orang yang tidak—atau belum—menemukan kebahagiaan mencintai binatang marjinal. Saya prihatin pada mereka yang menggilai anjing ras namun menyerahkan pengurusannya pada pembantu lalu membuangnya ketika bosan. Terlebih lagi, saya hanya bisa menghela napas berat pada mereka yang fanatik bahwa komitmen bertanggungjawab hanya ada antara lelaki dengan perempuan, dengan sesama manusia, dan bukan manusia dengan anjing. Karena kadang saya membuktikan anjing lebih manusiawi ketimbang manusia-manusia yang saya kenal.
Saya tau kendala sebagian besar orang yang takut dan pernah punya trauma dikejar anjing. Apalagi sejak kecil mereka—termasuk saya—sudah tercuci otaknya untuk menganggap anjing sebagai binatang terlarang dan harus dijauhi. Mungkin saya termasuk anak beruntung yang pernah memiliki tetangga depan rumah dengan anjing manis yang bisa saya kuwes-kuwes seenaknya. Dan saya lebih beruntung memiliki sepasang orangtua moderat yang tidak pernah melarang dan selalu menjawab pertanyaan saya—termasuk menegasi semua pendapat guru agama tentang anjing dan kerancuan antara haram dan najis. Ya, anjing haram jika dimakan dan liurnya adalah najis yang punya tata cara sendiri untuk membersihkan. Namun saya tidak memandang peraturan—yang entah didapat dari hadits atau ayat Al Quran—secara tekstual. Menurut saya, peraturan bebersih dengan air tujuh kali dan mengusap dengan pasir sekali diantaranya ketika terkena liur anjing memang harus dilakukan karena di masa itu belum ada sabun antiseptik. Sesederhana itu, atau saya hanya malas direpotkan.
Sungguh, saya tidak menjadi murtad dan kebarat-baratan hanya karena saya memutuskan untuk mulai berkomitmen pada anjing. Saya hanya menjalankan fungsi saya sebagai manusia: berbagi kasih dengan sesama mahluk.
Mari…
With dog like this, how could anyone say no?
(photo courtesy of Shiro's Daddy, taken in one fine Sunday afternoon)
Beberapa bulan belakangan ini saya jatuh cinta pada anjing. Dan seperti pecinta pada umumnya, sang objek akan selalu terbayang dimanapun saya berada. Gara-gara anjing, saya jadi kelewat sering menjenguk Oma Wiwik dan Mbah Gogo, mencari tau lebih banyak tentang sifat dan berbagai jenis mereka. Karena mereka pula saya sering mojok di pabrik sambil merokok di beranda, bertukar cerita dengan Pak HRD yang ibunya sering memungut anjing terlantar kemudian dipelihara di rumah.
Lagi-lagi, seperti pecinta pada umumnya, anjing menjadi kelemahan saya. Saya sering reflek tersenyum melihat anjing yang sedang diajak jalan-jalan pemiliknya. Pernah suatu sore saya dikejar seekor puppy jantan mix Siberian Husky dan Kintamani usia enam bulan hanya karena saya menyapanya dengan ‘Hay, Ganteng!’. Tidak, dia tidak mengejar saya karena saya berdaging banyak. Dengan ekor bergoyang riang, lidah jambon terjulur, dan mbak-mbak pemegang kekang pontang-panting di belakangnya, Gladi berlari dan meminta saya untuk sejenak bermain dengannya.
Dan saya bertindak sebagai pencinta—pada umumnya—ketika tau begitu banyak kisah sedih menimpa anjing-anjing tak bertuan. Saya menahan amarah pada para pemilik tak bertanggungjawab yang melemparkan anjing mereka ke jalan dan membiarkan mahluk-mahluk manis itu menggunakan insting purba untuk bertahan, melawan tukang ojek ringan tangan dan anak-anak kecil yang didoktrin bahwa anjing hidup untuk dilempari batu dan liurnya membuat seorang Islam mendadak Kristen.
Beberapa hari yang lalu seorang ayah dari tiga anjing bahagia menunjukkan sebuah alamat situs pada saya. Saya baru tau ada LSM seperti itu di Indonesia. Dari daftar berbagai kegiatan yang dipublish, tidak ada satu pun yang membuat saya tidak berdecak kagum. Penyelamatan, kebiri massal, edukasi, garage sale, semua dibabat habis. Salah satunya adalah artikel tentang kegigihan seorang ibu tua miskin bernama Mak Isa yang membaktikan waktunya melindungi sembilan anjing jalanan. Padahal orang-orang hebat itu tidak melulu ‘mengurusi’ anjing, tapi juga kucing yang jumlahnya lebih banyak. Di situs ini mereka malah sempat mengabadikan demonstrasi untuk dua lumba-lumba pentas, Lulu dan Lala, yang tidak mendapatkan perawatan secara layak dan ditangkap di perairan yang seharusnya menjadi suaka binatang hampir punah. Mereka pasti punya hati dan tekad baja untuk membuat organisasi seperti ini tetap bergerak.
Saya sayangkan orang yang tidak—atau belum—menemukan kebahagiaan mencintai binatang marjinal. Saya prihatin pada mereka yang menggilai anjing ras namun menyerahkan pengurusannya pada pembantu lalu membuangnya ketika bosan. Terlebih lagi, saya hanya bisa menghela napas berat pada mereka yang fanatik bahwa komitmen bertanggungjawab hanya ada antara lelaki dengan perempuan, dengan sesama manusia, dan bukan manusia dengan anjing. Karena kadang saya membuktikan anjing lebih manusiawi ketimbang manusia-manusia yang saya kenal.
Saya tau kendala sebagian besar orang yang takut dan pernah punya trauma dikejar anjing. Apalagi sejak kecil mereka—termasuk saya—sudah tercuci otaknya untuk menganggap anjing sebagai binatang terlarang dan harus dijauhi. Mungkin saya termasuk anak beruntung yang pernah memiliki tetangga depan rumah dengan anjing manis yang bisa saya kuwes-kuwes seenaknya. Dan saya lebih beruntung memiliki sepasang orangtua moderat yang tidak pernah melarang dan selalu menjawab pertanyaan saya—termasuk menegasi semua pendapat guru agama tentang anjing dan kerancuan antara haram dan najis. Ya, anjing haram jika dimakan dan liurnya adalah najis yang punya tata cara sendiri untuk membersihkan. Namun saya tidak memandang peraturan—yang entah didapat dari hadits atau ayat Al Quran—secara tekstual. Menurut saya, peraturan bebersih dengan air tujuh kali dan mengusap dengan pasir sekali diantaranya ketika terkena liur anjing memang harus dilakukan karena di masa itu belum ada sabun antiseptik. Sesederhana itu, atau saya hanya malas direpotkan.
Sungguh, saya tidak menjadi murtad dan kebarat-baratan hanya karena saya memutuskan untuk mulai berkomitmen pada anjing. Saya hanya menjalankan fungsi saya sebagai manusia: berbagi kasih dengan sesama mahluk.
Mari…
With dog like this, how could anyone say no?
(photo courtesy of Shiro's Daddy, taken in one fine Sunday afternoon)
gyaaaa cakepnya~ *kuwes2 mba pito eh... shiro*
ReplyDeletesaya juga pingin punya anjing, tapi yg auto-feed-and-bath yah? :p
ReplyDelete*feel the urge untuk menempelkan pipi sama Shiro >_<*
ReplyDeletembak, mbak.. engko lek aku nang omahe pean, aku nang jobo ae ya... aku wedi tenanan e. ndelok gambare ae wis mrinding i lho...
ReplyDeletebernat
ReplyDelete*plakeplakeplak*
alle
ah, kamu blom nemu betapa menyenangkannya mandiin dan ngempanin kirik
eru
hihi... emang beraniiii?
SiNyong
Shiro aja kamu ga brani? apalagi ntar ada wawa. oh, wawa itu yg bulunya item semua, matanya coklat tapi kayak kemerahan, kalo nggonggong bener2 dari hati. hihi.
So you demand freedom? Hate the religion, hate the government, hate the rules, hate the laws?
ReplyDeleteTrying to be free? They and us, are they that different? So many answers, all different in one mind.
You're very interesting.
Makin pikir makin seperti ketemu specimen baru aja haha..
i'm free already, with certain limit that i made myself because i don't believe in total freedom. i don't hate anyone or anything. it's the situation that made people hate each other that i dislike. i don't hate religion. it's God's fans club i despise. don't get me wrong: every single soul on the face of the earth is paradox. no, you're not meeting the new specimen. we're here all along.
ReplyDelete(=
Ada masanya saya punya 8 anjing, bukan ras. Sekali waktu, pernah juga punya german sheppard dan alaskan malamute bersamaan. Sama saja. Ras, bukan ras, mereka tetap menggongong, selayaknya anjing. Menyenangkan. (dadi pengen duwe waung meneh)
ReplyDeletehey! om ragil! thanks for dropping by. wah... kemana itu waung2nya? udah nda ada sama sekali ya? ntar kan bisa kenalan ama wawa. hayahhh... wawa lagi, wawa lagi...
ReplyDeleteaahh telat bacanya.. tgl 2 ya kumpul2 anjingnya itu. kelewatan deh..
ReplyDeletemaksudnya tgl 8 :p
ReplyDeletelha, el? elu kan udah gwa bilangin dari kapan hari ituuu... kelupaan mesti..
ReplyDelete"Menurut saya, peraturan bebersih dengan air tujuh kali dan mengusap dengan pasir sekali diantaranya ketika terkena liur anjing memang harus dilakukan karena di masa itu belum ada sabun antiseptik."
ReplyDeleteHahahaha...asli baru denger...nice thoughts..
hehe. itu si menurut saya. bener deh.
ReplyDeletehaloo mbk pito lam kenal yaa... :D
ReplyDeletewahh bener2 nice posting, sebenr e q jg tertarik pngn pny anjing cos mereka kan terkenal loyal ama majikan, tp kek nya sbg muslim cukup dilema jg dgn ke-najongan-nya :(
setuju, mba.. msh bnyk yg beranggapan anjing itu wajib dimusuhi..
ReplyDeletedulu gw pnah punya 2 anjing kampung, si deki & si mondi, & mereka b2 mati diracun oleh warga sekitar.. hiks..
btw, salam knal ya..
mampir jeng...begitu buka ada foto anjing....hehehehe
ReplyDeleteternyata jeng penggemar anjing!! di rumah gua klo lebaran bnyk anjing dititip bagus2 jeng mo liat???
perempuan
ReplyDeleteya... semuanya balik lagi ke pilihan masing2, yes?
vinna
keknya si mendingan kalo punya anjing sering2 aja diajak jalan2 atau dikenalin. tunjukin kalo anjing2 lo ramah sama orang, kecuali orang itu punya niat jahat. errr... keknya sih gitu ((=
isma
hwaaaaaaaaaaa!!! saya ndak mau liyat! maunya bawa! hehe.
Akhirnya... Gw nyerempet blog lu juga :D
ReplyDeleteIni toh tulisan yang lu maksud kemaren, Hmm aturan bebersih pake tatacara itu ada hadistnya, tapi sorry Gw lupa. Apapun alasan hadist itu, Gw lebih milih ngelakuinnya, toh gak sulit.
Gw gak benci anjing, Gw gak takut anjing, Gw gak jijik anjing, tapi kalo bisa gak nyentuh anjing, Gw lebih suka itu. Kalo pun harus nyetuh, jangan lupa bebersih, paling gak sebelum shalat.
pernah baca ini mbak pito http://www.goodreads.com/book/show/3153910
ReplyDelete