Tentang Maju

kita tak kan berhenti di sini
kita adalah doa yang menjelma
dari mimpi buruk alam semesta
menyesal lahirkan pemerkosa
yang tega gagahi ibunya sendiri
- Taken from here and written by Ichimusai, my Papap

Kami duduk berhadapan di meja sebuah warung tenda, sejam lepas tengah malam. Lelaki kecil berwajah tirus, berkacamata minus dan berhidung panjang di depan saya mengaku kelaparan. Pulang saya batal sepenggalan karena pengantar minta ditemani makan.

Saya mengenalnya Oktober tahun lalu, bertepatan dengan dibukanya tempat nongkrong tetap saya sejak saat itu. Dia, si konyol yang kerap bertingkah seperti anak sekolah. Orator hebat dan penikmat wisata kuliner dengan jam terbang tinggi. Terutama rendang, masakan khas daerah asalnya. Lelaki tiga puluh dua dengan meja kerja dan pakaian rapih tanpa cela, juga motivator sejati yang melihat semua hal dari kacamata bermain. Dia, si kecil dengan aura kakak menguar tak terbendung.

Di tengah Sapi Cah Kailan yang dia makan separuh, pernyataannya membuat saya tersentak.

“Lu inget tadi pagi keluar kamar kos pake kaki yang mana makanya kita bisa jam segini makan bareng disini? Lu tau apa yang bikin gue tau-tau mau nganter lu pulang? Gue sendiri juga nggak tau. Setiap detik, sadar atau nggak, kita dihadapkan oleh pilihan. Itu adalah hal terindah menjadi manusia!”

Saya berontak! Saya benci jadi manusia yang selalu harus memilih. Saya sedikit mengutuk Pak Adam yang lebih memilih ‘ada’ ketika Tuhan menyediakan pilihan hidup atau mati. Choosing is confusing!

“Pikiran, Pit. Let’s say, berapa orang sih yang bakal ngajak lu ngewe? Lu mau apa nggak, tergantung elu. Kalo lu cuma cari seneng-seneng, lu bakal mau. Tapi lu nolak! Kenapa? Cuma elu yang tau alasan sebenernya. Tapi gue percaya semua manusia pada dasarnya adalah baik. Dia yang milih sendiri mau masuk surga atau neraka. Itu kalau memang ada.”

Saya membenarkan. Dengan sangat berat hati.

“Belief. Itu yang bikin gue berusaha berpikir positif ketimbang caci-maki orang lain. I believe this country will turn into a great nation. Jangan salahin pemerintahnya. Salahin diri kita sendiri yang nggak bisa bikin perubahan. Lagi-lagi, kita mau apa nggak susah-susah buat bikin perubahan itu?”

Padahal beberapa jam sebelumnya saya mengirimkan SMS pada seseorang, mempertanyakan keraguan saya sendiri. SMS sebelumnya yang berisi ‘Insya Allah, keyakinan dan minat nilainya menyalip bakat’ terasa sangat mengganjal. Tak berbalas. Ternyata keraguan saya terjawab dengan hantaman keras ini.

Dan saya diingatkan untuk kembali percaya pada ‘believe’. Shit!

Pembicaraan kembali bergulir diseling jeruk dingin dan jus mangga, serta asap rokok yang tidak berhenti dari mulut dan hidung saya.

“Mereka, para penulis, nggak sadar kalo diri mereka sudah menjadi nabi. Bullshit itu, membiarkan pembaca mengintepretasikan apa yang tertulis. Kesimpulan baik atau buruk yang diambil pembaca dari sebuah tulisan, penulis punya tanggung renteng yang bakal dia panggul karena men-trigger pemikiran itu. Inget!”

Dan saya semakin menunduk.

“Tapi trigger adalah awal yang bagus untuk mengubah mindset. Lu bakal bisa bikin pembantu lu nanti nggak kurang ajar ketika lu ajak dia makan satu meja. Kita adalah orang-orang post-mo yang ngerti internet, yang tau dan melek informasi, yang punya wawasan terbentang luas. Jangan berpikir dengan otak lu untuk masuk ke dunia orang-orang yang bukan post-mo. Carilah kesetimbangan. Bertindak baik, bertindak benar, dan bertindak bijak adalah tiga hal yang beda. Yang terakhir yang paling susah. Dan itu beban kita sebagai orang yang lebih tau,” sergahnya lagi.

“Butet, yang ngajar baca bocah-bocah Suku Anak Dalam memang nggak bijaksana kalo cuma ngajarin baca-tulis. Mereka lebih butuh pelajaran hidup. Tapi kalo dengan itu mereka bisa dapet motivasi untuk tau bahwa dunia nggak sesempit hutan yang mereka huni dan rasa ingin tau mereka jadi tinggi, buat gue itu bukan hal bodoh. Still, it depends on them. Pilihan terletak di tangan mereka. Mau nggak mereka buka mata lebih lebar?”

Damn! Lagi-lagi saya dikemplang tanpa bisa melawan, karena kata-katanya adalah benar. Saya kerap ‘bicara dengan bahasa saya sendiri’, dengan mindset saya sendiri. Dan saya masih terkaget-kaget ketika pesan yang ingin saya sampaikan meleset dari target.

“Kita bisa bikin perubahan, Pit. Kita bisa melakukan sesuatu biar nggak dibego-begoin pemerintah. Jangan salahin pemerintah yang nggak bisa bikin apa-apa untuk Situ Gintung; Mega yang nggak capable; Prabowo yang arogan. Emang kita bisa bikin apa? Setidaknya orang-orang itu udah bikin beberapa gelintir orang punya nafkah. Makanya, kalo lu pinter, cari cara gimana nularin kepinteran elu ke orang-orang.”

Dan saya pun berceloteh tentang project titipan seorang putra Cilincing untuk mengajarkan Bahasa Inggris pada pengamen jalanan. Project yang membuat saya menghela napas berkali-kali namun bikin saya penasaran.

“Gilanya, Mas… Gue cuma dikasih waktu tiga bulan buat bikin anak-anak itu ngerti. Isn’t that nuts?!”

Sepasang matanya mendadak menyala terang mendengar kata-kata saya.

“Hey! That’s sexy, bukan gila! Kalo lu pinter dan disuruh ngajar orang-orang pinter, apa asiknya? Kalo lu pinter dan lu jungkir-balik bikin orang yang nggak ngerti apa-apa jadi tau, bukannya itu tantangan? Itu way beyond sexy, Sista!”

“Gue tau, Mas. Gue cuma bingung gimana mulainya. Dulu gue sempet punya project pribadi kayak gini. Gue ngajarin pengamen di Patas AC 05 buat bawain Top 40 dengan pronunciations yang bener biar nggak diketawain penumpang. You know what? Yang ada MP3 player gue diembat dan duit gue dibawa kabur. Gue udah nyoba masuk ke dunia mereka. Gue begadang bareng mereka di terminal. Mungkin gue masih berpikir cara gue. Gue bertendensi. Gue pengen mereka punya peluang. Sama seperti gue dapet kesempatan perbaikan hidup meski gue nggak jadi sarjana,” jawab saya.

“Harusnya lu kasih motivasi ke mereka. Coba pikir: kalo lu jadi pengamen, yang terpenting adalah live for today. Gimana caranya lu dapet duit lebih dari ngamen. Ajak mereka nge-logic, gimana duit gopek yang biasa mereka dapetin, bisa jadi dua ribu dengan gaya nyanyi yang beda. Bagus tuh, elu mau ngajar bahasa Inggris lewat lagu. Gue suka!”

“Jadi… Hajar nih?”

“Maju, Pit. Hajar! Just do it, kata tagline Nike,” tandasnya sambil nyengir.

“Satu hal yang lu perlu tau: jangan berhenti belajar meskipun lu ngajar. Bikin diri lu pada posisi nggak tau apa-apa, karena dengan itu lu bakal terus bertanya dan otak lu kepake.”

Saya mengangguk mantap.

Saya temani dia ke mobil dan menolak diantar karena kos saya tinggal beberapa langkah dari tempat makan.

“Makasih ya, Mas. You’ve enlightened me,” kata saya sambil bersandar pada jendela kendaraannya yang setengah terbuka.

“Pencerahan buat elu. Padahal tadi itu gue sampahin lu. Haha!”

Saya melambai ketika akhirnya klakson dia bunyikan dua kali lalu melaju ke kiri jalan. Aaaaaaahhhhh… benak saya orgasme berkali-kali…

Comments

  1. heh!! see????

    ngapain juga sekarang gw baca produktivitas lo yg ini?

    tetaplah memainkan lakon lo pit..

    ReplyDelete
  2. i write like nobody reads. masih protes? emang bakal gwa dengerin?

    ReplyDelete
  3. demokrasi, komunis, dan berbagai paham lainnya sudah gagal memanusiakan manusia. tinggal satu : TEOKRASI. satu-satunya harapan manusia. Saya ? saya kan bukan manusia ....

    ReplyDelete
  4. yeah.. bener juga sih.... hmmmm..... renungin dulu ah.... Thx untuk bahan renungannya... :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?