Posts

Showing posts from May, 2008

Tag-tag-an

Well, wokeh. Akhirnya ada yang nge-tag gwa juga. Nggak nyangka. Haha! Monggo dinikmati, Mbak Eve ! I’m Passionate About 1. Music Musik adalah seperti agama buat gwa. Dari situ banyak kebijaksanaan dan pelajaran instan yang bener-bener nemenin gwa menyendiri dalam keramaian atau riuh dalam kesoliteran. Musik itu temen setia banget, nggak bakal nagging kalo nggak diperhatiin dan nggak pernah menggurui. Bisa bikin tenang, bisa bikin semangat, dan sangat menginspirasi. Apalagi kalo yang maen U2, Dream Theater, Symphorce, dan the topmost: HOMICIDE. Buat ngelangut, gwa suka denger Dewa-dewa Gitar, Vai-Satriani-Hofmann-Roth. 2. Books Yang ini seiring sejalan, kayak tai ama kentut berpasangan sama musik. Tempat gwa menghilang dalam dunia paralel. Kadang ampe kebawa ke dunia nyata. Bener-bener menyesatkan. 3. Nongkrong Salah satu kegiatan yang can't live without. Kalo nggak gwa beneran bisa gila, captived b y my own thought. Mostly I say 1. Anjing! 2. Raimu! 3. WOI!!! 4. Yeah, rite 5. Fuck!

Afternoon Quote

... tapi bukankah itu sifat dasar dari keyakinan? Mempercayai tanpa jawaban, tanpa imbalan, tanpa bukti? Kutipan anjing dari buku Footprints of God-nya Greg Iles yang gwa baca sambil e'ek. Taek. Gwa boker aja Lu masih bisa ngemplang gwa ya, Han...

*You Speak of Signs and Wonders, I Need Something Other

From the brightest star comes the blackest hole You had much to offer, why did you offer your soul? I was there for you, Baby, when you needed my help Would you deny for others what you demand for yourself? Hey, You! Maaf untuk semalem. Saya sedang dalam modus self-centered. Mungkin masih banyak cerita yang kamu ingin sampaikan, selain gambar-gambar sahabat lama yang kamu tunjukkan pada saya, serta tuntutan berkedok kerinduan anggota keluarga melihatmu bahagia bersama pasangan jiwa. Saya memang bejat, datang ketika perlu dan kabur saat giliranmu tiba. Setelah nodong, kenyang menjejali perut dengan makanan, kemudian pulang karena bosan dan 'merasa' ngantuk. Padahal jam segini pun saya masih segar. Ya, saya bullshit doang isinya. Tapi kita masih berteman kan? Anjing! Udah adzan Subuh tapi gwa tetep diem, pasif, bengong, mati rasa, ditamparin Om Bono sambil digitarin The Edge untuk yang entah keberapa kali. *Taken from U2 - Crumbs from Your Table

A Slight of Gratitude

Terima kasih telah mengingatkan saya untuk menengok kembali beberapa perihal yang terlupa. Meskipun setelah itu rasanya seperti abis digebugin preman se-Endonesah, saya merasa tenang. Entah karena mantra suci yang terkandung di dalamnya atau memang murni kebetulan, saya mendapatkan kembali beberapa serpihan jiwa yang terserak lumayan jauh. Dan saya akan melampauinya dengan hebat: memutus siklus untuk dapat naik level. Mungkin sekarang saatnya kesombongan saya tiarap rela, bukan dengan paksa seperti biasa. Dan kutukan karena menjadi tau wajib ditertibkan sementara. Bantuin ya, Dhe. Kamu kan Pamei, as usual. Eh, tapi kamu bisa makan pake sumpit nggak to?

Tentang Perpisahan

Teriring Chords of Life meretas pada kisi-kisi malam, saya membungkuk rendah pada keputusanmu mundur teratur dari kalangan. Mungkin nafasmu sesak akan perhatian manusia-manusia tanpa wujud yang kamu sapa setiap persinggahanmu perlu ditengok. Atau kamu hanya lelah harus kunjungan balik kenegaraan ketika mereka meninggalkan jejak walau setitik. Saya tidak pernah tau karena saya belum mengenalmu sedalam itu. Namun satu hal yang kamu perlu tau: tidak ada kewajiban untuk memenuhi keinginan semua orang. Jadilah dirimu sendiri. Berbuatlah semaumu tapi jangan pernah lupakan what you give you get back. Puaskan dahagamu untuk meng'ada', membentuk diri sesuka hati, membiarkan kemana angin dan aliran air membawamu, menikmati desau dan denyut dan gelenyar yang teraba dan terasa pada semua indera. Karena kita anomali. Karena, nanti, kita mati sendiri. Dan teman yang baik adalah mereka yang selalu ada ketika kamu lungkrah, mengamati dari kejauhan ketika kamu sedang berproses, dan menangkapmu

Maaf...

Empat huruf dalam satu kata ini memang kadang susah kadang gampang terucap. Di bis penuh sesak ketika tangan jahil seorang mas-mas pura-pura nggak sengaja menjawil dada atau pantat mbak-mbak; copet di KRL superpenuh yang menginjak kaki korbannya sebagai pengalih perhatian dari lolosnya dompet yang berpindah tangan; tumpahnya minuman pada sebuah kafe karena sang waiter melamunkan betapa halus daging telanjang kastemer MILF di seberang meja; dan lain-lain, dan sebagainya. Saya terbiasa berucap 'sorry'--tanpa maksud--jika tas selempang yang saya kenakan mengenai wajah sebal ibu-ibu kinclong yang duduk di kursi Metro Mini karena saya mengganggu kenikmatannya ngantuk tekluk-tekluk sementara penumpang berdiri rapat berdesakan. Atau telat membalas SMS karena saya dan ponsel tidak selalu beriringan. 'Maaf' dan 'sorry' beda kasta buat saya. Saya hanya akan meminta maaf jika kesalahan saya begitu besarnya hingga membuat orang lain dirugikan lahir-bathin, dan bukan karena

A God-Forsaken Place Called JAKARTA

Tanpa membuka kamus, definisikan kata indah. Lalu, juga tanpa membuka kamus, jabarkan kata bobrok. Jika otakmu terlalu bebal diajak berpikir atau lidahmu tidak bisa merangkai apa yang ada di benak, datanglah ke Jakarta. Di sini keduanya mewujud, dalam sebuah kota dimana gemerlap dan muram bersanding nyata berpegangan tangan. Di tempat ini banyak orang mengais mimpi, datang berduyun-duyun dari pelosok daerah terjauh, mencari sepenggal harap dan sepotong pengakuan. Banyak dari mereka yang terhempas di tengah jalan, namun tidak sedikit yang melesat tinggi mencapai bintang--dengan cara halal maupun tidak. Saya? Hanya pengamat yang duduk di tengah, berusaha merunduk tak terlihat dan mengeraskan hati untuk tidak mengulurkan tangan seperti Kevin Carter memotret bocah Sudan sekarat yang kemudian fotonya menang Pulitzer tahun 94 (lalu bunuh diri). Bullshit jika ada orang bilang bahwa hanya orang di desa yang rajin bangun pagi. Disini orang bahkan tidak pernah tidur demi kerja. Coba ke Pasar In

Melankoli Dini Hari

Tengah malam, Nduk. Apa yang kau sesap sekarang? Kopi Sumatra yang getir luarbiasa itu? Atau Kopi Bali yang aromanya ramah? Buku apa yang sedang kau gumuli seharian ini? Novel psycho, sastra, atau buku teori tebal? Khatam kamu memamah Origin of Species yang telah kamu pinjam hampir setahun itu? Sudah berapa batang nikotin terbakar dalam dua puluh empat jam terakhir? Sebentar, biar kukira-kira. Mengingat sekarang adalah hari liburmu, pastinya sudah... dua setengah mendekati tiga bungkus? Betul? Ah, tidak percuma kau sebut aku belahan jiwa. Aku tau kamu hingga ke lubang taimu. Maafkan jika kusapa kamu saat jiwa sedang gulana. Sebagaimana azas manfaat yang kamu terapkan, aku hanya ikut alurmu. Aku sedang perlu kamu yang pemarah karena dendamku tidak pernah selesai. Aku sedang perlu kobarmu untuk menerangi kembali sudut-sudut terjauh liang hati kosong dan dingin yang kini gelap karena hanya bara kecil yang tersisa di tengah. Aku sedang lelah, Sayang. Otakku beku. Lidahku kelu. Jemariku kak

Immaterial Thing Called Happiness

"Kamu bahagia?" tanya seseorang pada saya berbulan-bulan lalu. Dengan mantap saya menjawab, "Ya. Saya sangat berbahagia." "Meskipun kamu protes memaki keadaan dan kenyataan yang nggak bisa kamu terima?" tanyanya lebih lanjut. "Ya." "Meskipun banyak hal yang ingin kamu raih tapi beberapa terhempas keras ke bumi?" "Ya." Absurd? Nggak juga. Kebahagiaan adalah mindset. Saya memutuskan dari awal bahwa apapun yang saya hadapi, bagaimana proses dan seperti apa hasilnya nanti, semua adalah kebahagiaan dari awal hingga akhir. Tidak hanya hasil akhir yang dapat menentukan seseorang itu bahagia atau tidak. Jika harapan tidak sesuai kenyataan, berbesar hatilah meski awalnya harus memaki demi menenangkan ego yang terinjak. Ketika nasi sudah menjadi bubur, buatlah bubur ayam yang enak. Sebutlah sesukanya. Silahkan stempel jidat saya sebagai 'tukang berapologi', karena seseorang pernah berkata bahwa manusia selalu bermain-main dengan

Malam Depan Istana

Setelah sukses menggondol dua buku dari si kerempeng sembelit anggota PKI tukang kelayapan yang tempo hari nyepeda onth é l bawa pipis setan, keluar dari my fortress of solitude berpintu tanpa kunci untuk ' ngaf é ' gratisan, flirting nggak jelas sama brondong ganteng-tinggi-gede tapi narsis dan duduk bareng cowok Purworejo gonjes manis ngobrolin tentang mahalnya punya anak, akhirnya pesta pun selesai. Saya dan Jin Laknat ini akhirnya bubar jalan menyusuri trotoar lebar menyenangkan karena masih kepingin ngobrolin apa sih pentingnya sejarah sambil merokok santai. Mak bedunduk mata saya tertumbuk pada lampu kristal menyala terang di langit-langit teras lebar yang saya lihat dari luar pagar besi dimana halaman depan seluas lapangan bola berada di sebaliknya. Meski besar di ibukota, saya akui saya amat sangat nd é sonya. Nggak tau apa-apa. Saya pun bertanya--dan menyesal kemudian karena saya menyadari sepersekian detik setelahnya bahwa jin yang berjalan di sebelah saya ternyata

The Art of Forgetting

... karena mengingatmu pun sudah tak pantas: kita tidak sepadan. bukan berseberangan. camkan baik-baik: TI DAK SE TA RA . tempatmu rendah, merunduk tekuk di bawah telapakku. mengucapkannya pun aku sesungguhnya enggan. kamu terlalu remeh. jadi, maaf. [dan ini adalah mantra]

Ode Buat Jo

Jo, Gue masih di pabrik, ngadep kerjaan seblejek butek yang rasanya nggak pernah selesai. Nahan kuping denger omelan mandor kita itu yang lidahnya lebih tajam dari samurai. Mencibir mandor satunya yang selalu mencela lelaki penyuka lelaki sebangsanya (padahal kita tau topeng seperti apa yang dia kenakan). Biasanya jam segini kita selalu pulang berdua, lo tungguin gue pake sepatu atau gue nungguin lo ambil air. Kita jalan berjingkat dengan suara sepelan mungkin, menghindari teriakan 'The Boss' supaya nggak dikasih kerjaan last minute. Biasanya kita cekakakan bareng lepas dari 'gerbang neraka', ngetawain semua yang terjadi seharian, cerita-cerita tentang harapan, ketakutan, kesedihan, dan perasaan kehilangan masing-masing. Kita nggak pernah punya tempat romantis, selalu di pinggir jalan, nunggu angkot atau makan mi rasa vetsin di warung tenda. Padahal lo baru pergi beberapa minggu, tapi gue kehilangan. Rasanya nggak ada alasan pulang karena nggak ada keharusan untuk itu.

Insignificant Thought

Okay. I've got another confession to make. I love to eavesdrop on my next door's idiot box. Well, actually it wasn't eavesdropping afterall. She turned up the volume so loud I could hear it clearly from a mile away, though. Not my fault, eh? Tonight's topic was about national holidays and the celebration behind them. From ajeb-ajeb music as the background and the breaks that sometimes presenting the station's jingle—a local Jakarta, I presumed—I daresay that it was a tekjing-tekjing program. Or AJAGJ, 'Acara Joget-joget Anak Gaul Jakarta' in my Babab's term. The host was asking some questions to female party animals in proper Bahasa Gaul Indonesia with too-damn-perfect-it-sounded-like-he-got-a-frog-stuck-in-his-throat English insertion here and there around what next week's harpitnas is all about. Most of those unimportantly giggling girls answered correctly, Hari Kebangkitan Nasional (National Resurrection Day? Like Jesus did?), and some didn't

Another Silver Lining in the Dark Cloud

M**** : nyun mPitz : wets! nama gwa ganti lagi M**** : alamad mana alamad mPitz : heh? buad paan? M**** : titipan elu, tadi udah dapet yg 1 ama 2 M**** : BURUAN! mPitz : Jl Y*** I V**** Z-1B Jakarta 12*** Phone: +62-21-7** **49/0477 (10 menit kemudian) M**** : nyun mPitz : ya? M**** : udah gwa kirim pake tiki mPitz : luv U Sepertinya liburan ini nggak parah-parah banget. Ada 3 buku tebel-tebel yang bakal nemenin gwa. Indah...

Cuk!

Gagal maning. Nggak jadi jalan-jalan. Di pabrik mau ada acara peluncuran topeng-topeng terbaru koleksi musim panas, pas gwa mau cuti. Jadi yah... Belum rejeki. Mungkin harus nunggu beberapa lama lagi biar liburannya enak. Buat yang kadung janjian, maaf. Lagi-lagi saya mangkir. Emang mending nggak janjian kali yah. Balungku nggak pernah terskedul. Harus dadakan semuanya. Maaf banget. @#$%^&*()+_)(*&^#$%^~~%^&&!^%@%#\ (itu pisuhan paling kasar, saking kasarnya sampe nggak bisa diketik)

Tuhan, Anyone?

Pada segulung asap nikotin dinihari, For the Love of God terasa ngelangut menggayuti langit-langit dunia kotak tempat melepas kepenatan dalam rongga kepala melayang bersama aroma primitif Kopi Aceh seduhan. Saya sedang mendengarkan versi live-nya bersama satu grup orkestra. Lengkap dengan denting piano dan harpa, gesekan biola, tiupan oboe, seruling dan saksofon serta cabikan gitar mendominasi. Tanpa polesan dan dia bermain indah, berkali-kali, karena hanya satu track itu saja yang saya niat dengarkan. Talenta luarbiasa, Steve Vai itu. Dia mampu mewujudkan ratap tangis rindu, harapan, dan cinta pada Sang Maha meski tak terlihat. Sebagaimana Cryin'-nya Kang Satriani mampu membobolkan kelenjar airmata saya karena rintihan lirisnya (okay, I'm a melancholic bitch when it comes to a good-looking guy who plays guitar like he's performing the art of making love, so fuckin' what?!), maka saya layaknya berdzikir bersama jemari Om Steve yang menari di atas fret dengan sempurna. D

*Coming Through from the Monastery of Hate

dialektika kami tanpa radio dan visualisasi anti-HBO tanpa agenda politik partai yang membuat Mussolini membantai D'Annunzio juga korporasi multinasional yang menjadikanmu lubang senggama kooptasi kultur tandingan yang berunding dalam gedung parlemen Partai Komunis Cina yang mereproduksi Walter Benjamin ke tangan setiap seniman Keynesian yang mensponsori festival insureksi dengan molotov cap Proletarian® instruksi harian dalam mekanisme kontrol pergulatan menuju amnesia lupakan Colombus, karena Bush dan Nike® telah menemukan Amerika® inkuisisi mikrofonik dalam kuasa estetika yang merevolusikan pola konsumsi menjadi intelektualisme organik seperti Gramsci Homicide - Boombox Monger Sepulang dari memburuh di pabrik topeng tadi malam saya berlama-lama duduk di kursi rotan pada teras, mendengarkan berita dari televisi di kamar sebelah. Mahasiswa Makassar menolak kenaikan harga BBM, kata mbak pembawa berita yang intonasinya kerap tidak sesuai, bikin muak dan digawat-gawatkan. Sambil mema

Another Introduction

Image
Skrinsyut diambil dari sini . Silahkan dicela. Emang buat buang sial. Hehe...

The Plan

Dulu, seseorang pernah protes pada saya karena saya dianggap sangat mencintai tempat saya mburuh . Jika dia bertanya dimana saya lepas Isya, jawaban saya selalu sama: masih di pabrik topeng, garap lilis atau laporan. Jika saya iseng telpon dia lepas jam dua belas malam dan bertanya sedang apa saya, jawabannya hampir selalu sama: capek kerjain lemburan di kamar. Mbok kamu jalan-jalan sana, jangan depan komputer terus, sarannya sambil setengah menggerutu. Ya... mau gimana? Kerjaan saya bersepupu dengan tenggat dan event. Kadang harus digarap malam ini karena acaranya pagi jam sepuluh dan yang saya kerjakan adalah materi acara yang sak bajeg kirik . Piye, jal? Respon saya selalu garuk-garuk kepala sambil cengar-cengir, meski dia tidak pernah melihat saya seperti itu. Lha saya bingung, mau jalan-jalan kemana? Di Jancukarta ini yang thing telecek dimana-mana cuma mall. Ya paling bisanya cuma nongkrong di kafe. Wah, nggak bisa ngeragati nya kalo harus nongkrong terus. Lagian saya nggak ba

Missing in Action

"Bu, kenapa aku boleh ngerokok di rumah? Dulu waktu masih SMP malah aku dibolehin mabuk dan ngeganja. Kamu kan ibuku, Bu," tanya saya suatu hari pada Mrs. Bambang berjilbab yang kebetulan adalah orang yang melahirkan saya. "Biar kalo tepar gampang nge-handle-nya. Lagian Ibu pengen tau kalo kamu mabuk jeleknya kayak apa." "Yah elah. Mbok normal kenapa sih Bu kayak ibu-ibu lainnya. Pit serius ini lho nanyanya." "Kamu aja nggak normal gimana Ibu mau normal?! Ngadepin kamu itu pake psikologi kebalikan. Biasanya apa yang Ibu bolehin malah kamu nggak lakuin. Kalo dilarang malah ndadi . Inget nggak dulu kamu Ibu gampar depan temen-temen kamu karena selalu nongkrong bareng cowok-cowok di pos depan komplek? Besok malemnya tetep aja kamu masih nongkrong, perempuan sendiri, genjrang-genjreng kayak anak pengangguran. Padahal besok pagi harus sekolah, tapi pulang manjat pager gara-gara kemaleman. Udah kayak gitu, bukannya tidur, masih aja nyolong-nyolong baca buku

Yet Another Fucked-Up Conclusion

Mabuk-mabukan itu enaknya di kamar, sendirian, denger MP3 nyomotan volume pol pakek hedset biar nggak ganggu mbak-mbak jilbaban di kamar kanan-kiri. Nggak usah pakek tarikan. Cukup rokok, asbak dan korek. Headbang dah sana ampe leher pegel. Kalo mau jekpot tinggal ke kamar mandi. Hangover? Tinggal bikin kopi pait di dapur. But nooo... Gwa malah iseng nyobain jekdi upeti honor nulisnya cowok kerempeng anggota PKI (Pemakai Kaos Ireng) yang kemaren dateng gerimis-gerimis bawa sepeda onthel nyandhang ransel. Hasilnya? Tripsy abis ampe susah pipis. Jalan nggak lempeng. Naek angkot bawaannya naek ke neraka. Sampe Blok M nemenin makan pengennya naro kepala di meja dan jangan dibangunin ampe abang mi ayamnya pulang. Udah kayak gitu, masih aja perut rasanya kayak diaduk-aduk. Di taksi malah nyender sama Jin Item buta Radio Dalem. Walhasil, sepanjang jalan harus melek liat jalan yang kayaknya bergelombang. Sampe depan pager nyelonong langsung ke depan kamar nggak nengok kanan-kiri, buka sepat

YM-an Geblegh

M****: lu fokus dong jeng, biar kelar tu atu mpitz: susah, bu. lu tau sendiri gwa kalo kerja aja gimana mpitz: mesti buka window 'pengalih perhatian', ceting ato milis. kalo ga gitu ga bakal rampung M****: sama kalo gitu ama gwa M****: di kantor juga gitu M****: demi duit aja makanya gue stay, kalo ga gitu mau makan darimana? mpitz: iya euy, tadi ada tes ADD di kampung , skor gwa ternyata 96! mpitz: gwa posting aja, berdalih kalo ngerjainnya sambil merem M****: lha lu mending segitu! M****: gue 110! ga berani posting di kampung! M****: hihihi mpitz: whoa! mpitz: *sujud syukur* ternyata elu emang lebih parah dari gwa mpitz: ((= M****: eh eh, jadi itu cowok medok akhirnya gimana? mpitz: *tepok jidad* MASIH DIBAHAS?!

Love Song for the Dear Departed

Hey, Pejantan! Saya tidak datang dengan cinta. Yang saya bawa adalah dendam pada para pembawa phallus di selangkangan, merupa kelamin, terpuja dalam pasangan lingga dan yoni di candi-candi, dan kemudian menjadi lambang pada menara-menara pencakar langit lengkap dengan sepasang skrotum dalam bentuk bangunan bersayap kanan-kiri. Saya tidak datang dengan kasih. Yang saya bawa adalah nafsu pembalasan sebagaimana konon Hindun memekik lantang pada perang di Jazirah Arab dahulu, memburu sebongkah jiwa pembunuh ayah, abang, suami dan putra lalu tersenyum puas saat tangannya teralir darah dari sebuah jantung yang masih berdenyut, terenggut dari nganga pada dada sang mujahid. Saya tidak datang dengan rela. Yang saya bawa adalah kesempatan licik memperdaya pikiran dimana kamu dapat saya tindas sesuka hati, membual tentang hal tak masuk akal, membenturkanmu pada ide-ide terliar, mengejewantahkan sundal dan binalnya sosok perempuan tanpa harus berpakaian ketat dengan tali G-string tersembul satu se

One Great Conclusion

I've got a confession to make. There was this hard lesson about 'the art of communication', about 'read between the lines' and about 'make a good partition' between rational mind and emotional feeling, started from April 12 to May 8. I'd been slapped in the face by the very shituation that I thought I could handle. I was wrong in pulling the leg of the person whom I thought could wipe all the clouds from my sky. Blah! What I've got from this less-than-a-month relationshit: a loony is still a loony no matter how high the appreciation is. And yes, men are easily provoked and threatened by ways of women think and do. Well, to tell the truth, I'm glad it's over. It's kinda underlining my own opinion about I'm so fucked no one could stand me for so long. [ Here I am, sipping marshmallowed Swiss Miss full of love and longing from your Mazbule, Jon, recollecting what you're saying on the other day. Woman needs a woman's girlfriend

Bad Morning Syndrome

I should've known this all along. I should've trusted the itsy bitsy tiny weenie voice deep within. IT'S ALL A BIG, FUCKIN, STUPID JOKE. Thanks for hardening my shell. (=

The Cosmopolitans

Lelaki itu baru saja mengejang kaku dan melenguh panjang bagai meregang nyawa di atas tubuhku, lalu layu. Untuk ketiga kalinya. Dinginnya AC tidak mampu mengeringkan peluh dari tubuh telanjang kami yang menyatu di atas seprai berantakan penutup spring bed berukuran raksasa. Kupeluk dan kuraba kumpulan otot liat pada punggungnya dan kubelai ikal rambut di kepalanya yang rebah di bahuku. Nafasnya memburu, terasa panas dan liar di leher. Kedua ujung bibirku menaik sinis. Hanya selintas, sementara mataku menatap nyalang pada langit-langit putih kamar hotel berbintang yang kami tempati dari dua jam lalu. "Terima kasih, Sayang. That was great ," bisiknya sambil memain-mainkan cuping telingaku dengan bibirnya yang hangat dan basah. Mau tau terusannya? Klik di sini . Gwa pindahin! Hehehe...