Posts

Showing posts from March, 2008

Forgive Me for I have Sinned

Beberapa percakapan geblek antara saya dan dua orang mas-mas gila: Seseorang (Se) : Libur panjang kemaren ke Jogja, Pit? Saya (Sa) : Nggak, di kos aja, nonton anime ampe goblog. Se : Lho? Biasanya kamu kangen Jogja? Sa : Iya, tapi kemaren bener-bener bokek belum gajian. Lagian capek gawe. Mending kalo libur bikin Hari Malas-malasan Sedunia Se : Memutuskan jadi budak kerjaan nih sekarang? Sa : Masih butuh duit j é , Maz )= Se : Hah?! Seorang Pito masih butuh duit yang lebih kejam dari rezim Soeharto?! Sa : Halah! *ngedumel* Kalo nasi bisa dibeli pake idealisme, aku nggak usah kerja, Maz! Seseorang Lain (SL) : Aku sebenernya males masuk. Kalo nggak janjian ama klien juga aku nggak masuk nih. Saya (Sa) : Lha kenapa males? SL : Bosen di kantor terus. Pusing. Sa : Enak ya jadi pegawai negri, bisa bolos. Aku sih kadang ampe jam 3 pagi baru pulang. SL : Yah... kasian banget. Kamu diperbudak kerjaan itu namanya. Sa : Saling memperbudak kok, Maz. Aku juga abusive sama jam kerja, ngumpetin torre

Me and My Narcissist Mind

Should I be guillotined for each abominable book I read and for every single phrase I typed, then my head would roll merrily into the basket thousands of times The Quills adalah bukti pernyataan saya. Ya, ya, ya. Saya OOT, baru tau ada film judulnya The Quills yang bercerita tentang Marquis de Sade. Yes, *that* Marquis de Sade, si bangsawan fucked up yang hobi nulis pornografi sebagai pelepas rasa kesepian (dan kegilaan?). Buat saya, membaca, menulis dan nonton adalah pembebasan; dari kesepian, kesedihan, kegilaan, perasaan tertinggal, keterbatasan, kebodohan, apapun. Saya sangat tidak suka disebut hip atau keren atau mel é k karena buku yang saya baca atau film yang saya tonton, sebab saya sering OOT dan nggak ikut trend. Buku yang saya baca dan flm yang saya tonton nggak sebanyak manusia ini --orang yang lebih sering nulis daripada berak. Namun saya percaya bahwa buku dan film memilih saya, bukan kebalikannya. Karena apa yang saya saring melalui kelima panca indera saya adalah cara

Jilbab, Anyone?

Suatu siang, sambil makan, mandor saya yang lelaki metroseksual itu memberi pernyataan yang bikin alis saya bertaut: "Hari gini banyak ya perempuan berjilbab yang ngerokok di public area. Bete deh gwa." Dan saya, yang khatam sama bahasan perempuan dan jilbab sedari saya ngéngér di kawah Candradimuka berbentuk rumah kos di Sagan 844, menjelaskan bagaimana jilbab sekarang hanya menjadi mode karena perempuan terlihat lebih manis dengan hanya wajah yang tampak (lengkap dengan gundukan-gundukan yang membengkak di tempat-tempat yang tepat, tentu). Saya nggak habis pikir dengan pernyataannya. Ya, saya melakukan hal bodoh ketika dia membuat pernyataan itu: saya berasumsi. Bahwa lelaki muda profesional, yang mengoles masker wajah secara berkala; yang merasa dunianya berakhir ketika dia menemukan satu jerawat di hidung; yang perabot perawatan tubuhnya jauh lebih banyak daripada yang nangkring di meja saya; ternyata masih peduli dengan pakaian dan ekspektasi di belakangnya. Kayaknya em

Point Taken, Thanks

Image
Here is The Jakarta Post Weekender March edition that I read while sitting on my throne: Yo, Om Adrian ! You rawk! * jik ngguyu kemekelen *

My Times with the Bajingans

Di sebuah warung tenda pinggir jalan, dinihari. Gwa (G): Nyet, siniin lighter-nya. I wanna smoke. Empat hari nih bebas asep. Bajingan1 (B1): Katanya mo pulang? Muka lu udah kusut tuh kayak cucian kotor. Mata ama idung merah, beraer, keringetan gitu, masih mo ngerokok? G: Ya tapi kan sebatang aja, baru abis itu pulang B1: Pulang sekarang aja kenapa? Udah jam 2 nih. G: Sebatanggg aja. Sakaw... lighter gwa manaaaaaaa?! B1: ( Ngeloyor gitu aja ke tempat parkir sepatu tanpa ba-bi-bu ) G: Monyong! Itu lighter dikasih orang, Kampret! ( Tendang backpack B1 ke luar tenda ) B1: Heh! Tas gwa! Itu lagian angkotnya udah dateng... katanya mo naek angkot G: ( Narik kaos B1 ke arah angkot ) Lighter gwa! Mana lighter gwa!!! B1: ( Sambil jengkelitan berusaha lepas ) Di meja, tadi gwa tinggal. G: BO'ONG! Gwa liat di meja tadi ngga ada! B1: Ya lu periksa aja lagi kalo ga percaya! Sementara itu tukang angkot udah kesel nunggu. Klakson ditekan berkali-kali sampe bikin senewen. B1 ngibrit nyebrang jalan

Movie Time!

Di sela kesibukan saya yang sedang ikut menyepi di kamar, berteman mesin tik kelurahan nan butut bernama Dino, saya nikmati alunan nada klasik dari film Jerman berjudul Vitus : seorang anak luar biasa jenius yang jago piano, licik on good purpose , encer menjungkirbalikkan bursa saham, jatuh cinta pada babysitter nya yang jauh lebih tua, namun berusaha keras jadi bocah normal. Ibunya, Hellen, mencium bakat nggak umum yang dipunyai putranya ketika dia berulang tahun ke lima. Dalam hitungan detik, dimainkannya lagu ' Happy Birthday '--tanpa cela--pada piano mainan hadiah dari seseorang. Usia enam, setelah setengah tahun belajar pada guru piano biasa, Vitus ngéngér pada seorang profesor konservatorium yang berkata bahwa semua pianis kampiun yang terdeteksi di usia dini disebut wunderkind ( or wonderkid in English ). Usia dua belas Vitus mempermalukan guru-guru SMA di sekolahnya karena intelejensinya jauh di atas mereka. Gurunya menawarkan agar Vitus ke sekolah anak-anak berbakat

So Fuckin' Sorry

Hold your tongues, Earthlings. From now on I'd be silent and treat you merely as guests in my playground. I'm kinda tired of being nice. Aw, stop pouting and stop being a spoiled brat! And fuck you very much for the attentions. I don't deserve those flashy words. Do that to other cyberians, not me. I've had enough. *melirik syotboks yang isinya cuma pujian basi lalu menghela nafas sedih*