Posts

Showing posts from August, 2008

Another Weekend Shits

Destiny. Where motives and methods and everything is connected. Sometimes a little human collateral is the cost of freedom. For one person, they are only war casualties. For another, they are just evidence. Some people don't know what's coming. They don't have a clue. There is a purpose. Satan reasons like man but God thinks of eternity. Somehow, I prostrate myself before a world that's going to hell in a handbag, 'cause in all eternity, I am here and I will be remembered. That's destiny. A bomb has a destiny, a predetermined fate set by the hand of its creator. And anyone who tries to alter that destiny will be destroyed. Anyone who tries to stop it from happening will cause it to happen. We're not here to coexist. I'm here to win. So you'd better have some divine intervention. You're gonna need it. ( Caroll Oerstadt in Deja Vu . Oh, the monologue was happening in the interogation room where he stated those shit with pride but cried after Denze

La Vita è Bella

Berteman satu karton susu full cream dingin seliteran (yang saya tenggak langsung tanpa gelas) dan suara seksi Jonathan Davis menyumpal telinga sambil menunggu telepon dari Jin Laknat , saya mensyukuri hidup yang menurut saya amat sangat indah tak tergantikan. Tidak, saya tidak membandingkan dua puluh tahun sekian hidup saya dengan penjual angkringan yang tadi saya sambangi dan bercerita tentang pekerjaan barunya sebagai pesuruh kantor. Atau dengan tukang parkir asli Malang berwajah mirip Sujiwo Tejo yang saya pancing ngobrol dan berakhir dengan pembicaraan mengenai syariat-tarikat-hakikat-makrifat dan bagaimana akhirat sebagai hidup setelah mati (dan saya babak bundas mengikutinya). Atau dengan senyum di muka lelah mbak-mbak pelayan resto fastfood tempat saya mengganjal perut dengan nugget dan rootbeer di detik-detik menjelang tutup (dan saya santai merokok 3 batang sambil membaca). Atau dengan bapak supir taksi pendiam yang saya tumpangi dari pelataran Melawai hingga Radio Dalam d

Some Kinda Nothing

Hey Han! Sudah akan Ramadhan lagi dan kesalahanku masih membukit. Janji, niat, yang akan berujung entah, dan lagi-lagi Kamu masih selalu terlalu baik. Nggak bosen apa Han, tak kasih cuap-cuap semacam caleg cari dukungan? Sudah akan Ramadhan lagi dan waktuku hampir tak ada. UntukMu, untukku sendiri, dan untuk orang-orang terdekat. Sementara Kamu mencipta matahari dan bulan bukan tanpa arti (meski aku sunyi sendiri menggugat pengetahuan yang semakin ingin digali). Sudah akan Ramadhan lagi dan langkahku makin jauh. Apa yang sepertinya aku cari hanya berakhir pada ruang hampa kedap suara. Dan teriakanku semakin hilang, tenggelam bersama hiruk-pikuk kerumunan riuh. Sudah akan Ramadhan lagi dan kerja tak pernah selesai. Bagi tubuh, bagi jiwa, bagi benak. Ramadhan memang tidak akan membuat semuanya bertambah ringan. Namun Kau berjanji ini adalah pertempuran terberatku melawan nafsu untuk utuh mendapatkanMu. Han, Tolong...

Blah!

Well, now I'd like to babble about people called lunatics, loony, nuts, insane, mentally disorder, crazy, screwed-in-the-head, or whatevathefuckingnameis. Starts from... Him who had made an encounter with a piper who called himself Borneo from Kalimantan (got the pun? Go praise your stupidity if you don't. Haha!), scribed on a leftover name card that once belonged to someone. Who that someone is would be nothing of any importance in whatsoever. What I'm about to emphasize is how he wrote about this so called Borneo with respect, without any disgraceful tone in his most gentle manner and lifting this loony up by calling him a man with free soul though another person stated his/her gratitude for being way better than this poor Borneo and it sucked, big time. (I knew him well to call him gentle, so stop rolling your eyes or I'll stuck my fingers into your sockets and poke them out. Capiche?) And then, him who is so depressed he needs professional help and proud of it (

Siang Sunyi (?)

Sebentar... I'm the best? Really? Bukankah 'the best' adalah superlatif dimana harus ada pembanding sementara disini yang menjadi peserta satu-satunya adalah saya seorang diri? Wait... Hanya saya yang mengerti kamu? Oh, Please! Jika kamu menutup diri pada dunia bagaimana dunia akan mengerti kamu? Errr... I'm amazing? Yeah rite. You see me with the microscope on and I'm the only ear who'd like to hear So, what's the deal? Let me strip the plain, let me not give in. Free me of your life, inside my heart dies. Your dreams never achieved, don't lay that shit on me. Let me live my life (Korn - Dead Bodies Everywhere)

The Mother

Masih dalam rangka safari kondangan, saya berhasil menyasarkan diri ke pelosok Klaten dengan rok batik sematakaki dan blus putih tanpa lengan. Stupid memang, jauh-jauh dari Jakarta ke Klaten hanya untuk kondangan, apalagi mengenakan 'perabotan lenong' berupa rok dan blus. Tapi begitulah kode etik saya demi menghormati yang punya hajat. Namun (mungkin) karakter saya memang tidak terhormat. Pada pesta yang telah usai itu, pada hamparan makanan yang tertutup perabot metal, di depan panggung pelaminan terpampang megah di halaman rumah, di depan sepasang mempelai yang telah berganti baju rumahan beserta kerabat-kerabatnya, di hadapan seorang ibu berwajah bijak-bestari, saya yang hanya tentengan dan cuma kenal si wali nikah yang kebetulan teman saya mulai merasakan candu nikotin merambat perlahan dari urat nadi dan menggedor syaraf motorik untuk segera memasukkan asap jahanam ke dalam paru. Saya reflek menjangkau sekotak rokok dalam tas dan meminta izin sekedarnya. Dikasih atau nggak

A Journey, Anyone?

Kamu tidak memilih perjalanan, namun perjalanan yang memilihmu Zen si Pejalan Jauh Senin sore kembali saya jejak Stasiun Jatinegara. Melangkah mantap diantara kerumunan penumpang KRL Jabotabek yang berdiri menunggu kereta di peron. Berbaur bersama copet dan pengemis dan anak-anak dekil memanggul karung besar berisi gelas plastik bekas wadah air mineral. Menghirup kembali campuran aroma keringat, parfum merek abal-abal, dan asap knalpot yang melindap dari luar. Senyap dalam riuh halo-halo bapak petugas informasi dan pedagang asongan dan wajah penuh harap pengemudi taksi dan ojek dan bajay menawarkan jasa. Pada satu warung Sate Padang berornamen lalat di seberang saya labuhkan pantat, ransel padat dan tas hitam dengan logo salah satu provider GSM nyata tercetak di bagian muka berisi boots hitam setengah betis, salah satu 'perlengkapan perang' yang saya bawa dalam perjalanan. Fuck the flies, karena lapar adalah bumbu ternikmat untuk makanan apapun. Apalagi sedari dini hari menung

Stupidity, Anyone?

Rada gatal juga membaca masalah ini . Apalagi sampe Ndoro Sesepuh unjuk posting juga karena diamanahi 'imel pengaduan' (yang sayangnya juga mengadukan nama-nama 'korban' lengkap dengan link ke blog mereka masing-masing). Berkolaborasi bareng manusia gila mantan playa , ditengah tenggat yang nggak kalah gila, saya ikutan nyampah di situs begawan panatablogger itu (saya nggak akan link blognya karena beliau sudah terlalu ngetop!). Sungguh, kata adalah senjata. Berbekal semacam disclaimer yang menjelaskan bahwa beliau belum sempat crosscheck dan check dan recheck di penghujung tulisan, betapa manusia-manusia berumah maya tersebut seperti mesiu tersulut di padang gersang waktu kemarau dengan komentar-komentar yang tajam menusuk seperti belati segar tergerinda. Mereka lupa jika beliau HANYA POSTING dan bukan jadi curhat center. Beberapa nama yang ada dalam daftar 'korban' menolak pernyataan mbak pencurhat dan menyangkal jika mereka pernah kena tipu. Komentator yang b